Emansipasi wanita,
suatu kata yang terus didengungkan. Konsep emansipasi berawal dari R. A. Kartini
sebagai buah dari belenggu adat yang membuat wanita kesulitan untuk
mengembangkan potensi. Kala itu, akses wanita untuk memperoleh pendidikan
sangat kurang karena bersekolah tidak dianggap penting untuk seorang wanita.
Terkabulnya
Gugatan
Gugatan wanita atas
pemenuhan hak terus digaungkan, pelan tapi pasti gugatan tersebut terkabul. Dahulu
bangku sekolah didominasi oleh laki-laki, namun sekarang secara kuantitas
perempuan sangat mendominasi. Menurut Kemdikbud melalui Direktur Pembinaan SMP,
Supriano dalam Diskusi Pendidikan di Kemdikbud, Jakarta, Rabu (16/3/2016) ada
13.572.756 pelajar laki-laki di jenjang SD dan siswa perempuan 12.331.427
orang. Fakta mengejutkan muncul pada data siswa SMA yaitu 2.445.589 pelajar
perempuan, sedangkan jumlah siswa laki-laki hanya 1.966.351 orang. Data
tersebut menunjukan bahwa orientasi kaum wanita untuk sekolah lanjut lebih
tinggi daripada kaum laki-laki. Fenomena serupa terjadi di bangku kuliah, menurut
Kemristekdikti tahun 2017 jumlah mahasiswa perempuan jauh lebih banyak yaitu
berkisar 2,6 juta mahasiswa sedangkan laki-laki hanya sekitar 2,3 juta.
Keterlibatan wanita
dalam pemerintahan juga turut mempertegas keberadaan emansipasi wanita. Pada
Pemilu Legislatif tahun 2014, keterwakilan kaum ibu di legislatif sebanyak 97
kursi (17,32 %) di DPR, 35 kursi (26,51 %) di DPD, dan rata-rata 16,14 % di
DPRD serta 14 % di DPRD kabupaten/kota. Kasus yang lebih nyata menandakan
kesetaraan gender adalah hilangnya anggapan bahwa pemimpin harus seorang pria.
Pilkada Serentak pada 9 Desember 2015 menghasilkan 35 kader dari kaum hawa yang
memenangkan hati rakyat. Bahkan beberapa tahun yang lalu, orang nomor satu
negeri ini pernah diisi kaum wanita yaitu ibu Megawati.
Realita eksistensi
wanita di dunia pendidikan, kerja, dan politik cukup menjadi cerminan
terkabulnya gugatan. Walaupun arti dari sebuah kesetaraan sangat subjektif
namun setidaknya wanita telah memiliki ruang untuk mengembangkan potensinya.
Saat ini wanita lebih bebas untuk berkompetisi dan berhak menantang kaum adam
untuk bersaing di dunia pendidikan, kerja, ataupun politik.
Pergeseran
Gugatan
Gerakan kesetaraan
gender yang saat ini terjadi bukan tanpa konsekuensi. Banyak sekali kaum hawa
yang memilih untuk membagi perannya sebagai ibu dengan wanita karir. Hal
tersebut tentunya menimbulkan tantangan lebih besar dalam mewujudkan
keseimbangan peran. Wanita harus dapat membagi dengan bijaksana antara fitrah
sebagai ibu dan mengembangkan karir.
Pembagian peran
merupakan isu hangat yang memunculkan banyak diskusi. Banyak pihak yang
mengingatkan bahwa saat ini emansipasi cenderung ke arah yang “kebablasan”.
Komitmen menjaga keseimbangan peran hanya terdengar samar-samar di kalangan ibu
karir. Tekanan luarbiasa dari dunia pekerjaan menyita perhatian mereka sehingga
peran utama sebagai ibu terbengkalai.
Isu yang paling sering
mengemuka adalah masalah ASI dan manajemen keluarga. Memberikan ASI eksklusif
dan melanjutkannya hingga usia 2 tahun tentu bukan perkara mudah, dibutuhkan perjuangan
hebat dalam prosesnya. Tekanan karir jelas memperberat perjuangan seorang ibu.
Banyak sekali ibu yang tumbang dan memilih alternatif susu formula untuk
mengganti ASI. Situasi tersebut jelas sangat merugikan bagi bayi dan ibunya
sendiri, sebaik-baiknya susu formula masih kalah dibandingkan dengan ASI dan
ibu melewatkan momentum membangun kedekatan batin lewat aktifitas menyusui.
Masalah kedua adalah
mengenai ibu sebagai manajer keluarga. Permasalahan yang paling mencolok pada
ketidakmaksimalan peran ibu sebagai manajer keluarga adalah penjaminan gizi.
Ibu seharusnya memiliki program untuk mengelola keseimbangan asupan gizi keluarga
dan menggaransi bahwa segala hal yang masuk dalam tubuh baik untuk dikonsumsi.
Namun, sayangnya banyak kaum hawa yang terpaksa mengesampingkan hal tersebut
karena tersitanya waktu dan pikiran untuk kerja sehingga memilih untuk
menyerahkan urusan tersebut pada pembantu atau membeli makanan siap saji.
Padahal kualitas asupan gizilah yang menentukan kualitas dan kesehatan
keluarga.
Meluruskan
Gugatan
Perlu dipahami secara
mendalam dari cara berpikir R. A. Kartini, emansipasi yang diharapkan bukan
mengabaikan peran inti seorang wanita. Emansipasi lebih menyasar pada
pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual seorang wanita
sehingga dapat berkembang menjadi pribadi hebat sebagai anak, menantu, ibu, dan
istri. Semua orang menyadari bahwa wanita merupakan manajer dalam suatu rumah
tangga sehingga kualitas dari suatu keluarga tersebut sangat bergantung pada
kemampuannya dalam mengelola.
Kalau hanya untuk
mengurus keluarga, kenapa wanita harus setara dengan pria dalam menuntut ilmu?
Pertanyaan klasik tersebut pasti sering muncul. Jawabanya adalah pertama, untuk
menjadi istri yang baik harus mampu berkomunikasi dengan suami. Komunikasi yang
baik adalah ketika istri dan suami dapat berbicara dalam frekuensi yang sama.
Saat suami mengalami masalah, istri dapat memberikan masukan. Jika wawasan
istri senjang dengan suami maka komunikasi yang baik akan sulit terjadi.
Kedua, untuk mendidik
anak yang hebat dibutuhkan ibu dengan wawasan yang luas. Kasus ini sudah nampak
dari anak dalam kandungan, ibu dengan wawasan yang luas tahu bagaimana menjaga
kandungannya agar tumbuh dengan sehat. Jika terdapat permasalahan, ibu cerdas
akan mengambil sikap yang tepat dan cepat sehingga imbas dari permasalahan
dapat diminimalkan. Kemudian saat anak telah lahir, aktivitas ibu dan anak
sangat banyak termasuk saat menyusui. Ada banyak hal yang dapat diajarkan
melalui lagu, cerita, atau obrolan, dan hanya ibu yang cerdas yang dapat
memaksimalkan momentum tersebut sebagai sarana memasukkan hal-hal positif pada
anak.
Ketiga, ditengah isu
pola makan sehat tentu dibutuhkan manajer keluarga yang mampu mengatur
kebutuhan makan dengan baik. Ibu yang berpendidikan tentu memiliki kesadaran
yang tinggi dalam mengelola keluarganya agar tetap sehat.
Keempat adalah
menanggapi curhatan anak dengan baik dan mendidik. Anak merupakan sosok
sensitif dengan permasalahan yang kompleks, kadang diluar dugaan. Kemampuan ibu
dalam menanggapi curhatan sehingga anak dapat merasa puas dan dapat mengambil
nilai positif adalah ketrampilan yang dimiliki oleh ibu yang terdidik.
Bekerja dan berkarir
bagi seorang wanita sebenarnya sah-sah saja namun peran intinya sebagai seorang
ibu dan istri harus menjadi poin utama. Peran wanita sebagai ibu dan istri
merupakan anugrah yang sangat istimewa dari Sang Pencipta sehingga tidak dapat digantikan
oleh kaum pria. Sebaiknya
ego kesetaraan dikelola dengan lebih baik sehingga tujuan emansipasi dapat
tepat sasaran. Emansipasi harus membentuk generasi kaum hawa yang memiliki
wawasan luas dan terdidik sehingga dapat membangun suatu keluarga berkualitas.
Dari sanalah akan bermunculan banyak bibit-bibit unggul dari sentuhan ibu-ibu
hebat yang kedepan dapat menjadi generasi emas bangsa Indonesia. Ibu adalah kunci sukses kebangkitan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar