Social Icons

Pages

Rabu, 26 Desember 2012

MENELUSUR KONFLIK TUNANETRA DENGAN PENDIDIKAN SAINS



Oleh: Janu Arlinwibowo

Indera pengelihatan merupakan indera penangkap informasi dengan
proporsi yang paling tinggi 83% (Juang Sunanto, 2005:47)

Berangkat dari fakta di atas, maka dapat dibayangkan betapa berbedanya kehidupan tunanetra. Terdapat perbedaan mencolok alur informasi yang akan berimbas pada aktivitas keseharian tunanetra. Kekurangan fungsi indera pengelihatan mengakibatkan beberapa keterbatasan, seperti kognisi, mobilitas, sosial dan emosi. Keterbatasan tersebut membuat anak tunanetra mengalihkan fungsi pengelihatan (orang awam) ke rabaan. Namun, rabaan yang tidak memiliki jangkauan seluas pengelihatan sehingga mobilitas tunanetra pun sangat terbatas.
Lepas dari keterbatasan yang difitrahkan pada tunanetra, terdapat banyak potensi. Melalui suatu pendidikan potensi tersebut terus diasah menuju titik optimal. Formula pendidikan untuk tunanetra saat ini masih terus difikirkan, digodog, dan dimatangkan untuk menemukan bentuk ideal. Paradigma “kuno” seorang tunanetra adalah exceptional person mulai ditinggalkan. Pengembangan pendidikan menjurus pada paradigma baru yang memposisikan tunanetra sebagai person with special need.
Pendidikan Tunanetra di Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memper oleh pendidikan, termasuk tunanetra. UU ini menjadi landasan kuat tiap elemen terkait mengusahakan segala cara untuk memberi fasilitas tunanetra dalam belajar. Pemerintah menyediakan wahana formal untuk tunanetra dalam mengenyam pendidikan yaitu sekolah luar biasa (SLB).
Dikhususkannya wahana belajar bertujuan agar tunanetra (kasus ini juga terjadi pada disablelity lain) dapat belajar lebih kondusif. Namun seiring berkembangnya pemikiran, pengkhususnya memiliki suatu kekurangan, yaitu standar kemampuan lulusan yang disinyalir memiliki kesenjangan dengan siswa umum. Dengan pengususan maka pada proses belajar masih sering diselimuti unsur “pemakluman”. Ketidakbisaan tunanetra terhadap sesuatu sering dianggap pemakluman saja, minim pengupayaan agar bisa.
Selain itu pengkotakan ini juga menimbulkan permasalahan sosial bagi tunanetra. Volume interaksi dengan siswa umum menjadi sangat minimal dan mengakibatkan dalam kehidupan luar muncul pembatas dengan non tunanetra karena saling belum terbiasa. Akibatnya fatal, dalam kehidupan sosial seolah-olah tunanetra punya kehidupan sendiri dan non tunanetra pun segan untuk berinteraksi karena belum mengenal secara baik.
Muncul konsep pengembangan yaitu sekolah inklusi. Sekolah yang membaurkan semua siswa tanpa terkecuali. Konsep ini dinilai akan memberikan bekal lebih komplit, selain berkembangnya kemampuan sosial, tunanetra juga dididik dengan volume materi yang sama dengan siswa lain sehingga luaran yang dihasilkan pun standar.
Menelusur Masalah Pendidikan Tunanetra
Dengan pengembangan konsep pendidikan, masih saja menemui banyak kendala. Saat ini konsep education for all masih belum dapat sepenuhnya terwujud. Masih ada kesenjangan yang memagari tunanetra sehingga tidak dapat seperti siswa umum. Dalam penelusuran, fasilitasbelajarlah yang selalu menjadi tajuk utama. Akibatnya, tunanetra tidak dapat memenuhi standar kompetensi, sekalipun di sekolah inklusi.
Diskriminasi paling nampak adalah semua tunanetra yang bersekolah di sekolah inklusi dijuruskan ke ilmu sosial. Alasannya, karena ketidakmampuan tunanetra untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam. Jelas, asumsinya adalah ketidakmampuan, yang berarti konsep “kuno” exceptional person masih terpelihara. Usaha untuk pemenuhan kebutuhan belajar tunanetra masih jauh dari kata menyeluruh. Padahal fakta di lapangan menunjukan bahwa banyak sekali siswa tunanetra yang memiliki minat untuk menekuni ilmu sains, bahkan diantaranya memiliki kemampuan excellent.
Melihat fakta tersebut, dapat disimpulkan akibat dari tidak adanya arah sains untuk siswa tunanetra. Pertama adalah terpasungnya bakat dari setiap individu tunanetra. Kedua adalah tunanetra akan menjalankan pendidikannya tidak sepenuh hati. Ketiga adalah tidak adanya pemecahan masalah kompreherensif, karena tidak adanya tunanetra yang belajar ilmu sains maka tidak akan ada pemicu untuk identifikasi dan pemecahan kebutuhan tunanetra dalam belajar sains. Jika dibiarkan maka akan timbul lingkaran gelam yang membuat tunanetra susah untuk mengembangkan diri khususnya di dunia sains. Padahal diketahui bahwa ilmu sains sangat berguna dalam kehidupan. Alhasil masalah puncaknya adalah produktifitas dan tingkat kemandirian.
Konflik Tunanetra Dengan Sains
Kenapa tidak ada penjurusan sains untuk tunanetra? Itulah pertanyaan yang terbesit saat mengetahui fakta ini. Seiring meningkatnya volume pengamatan, masalah tersebut terjawab. Asumsi bahwa tunanetra tidak akan mampun menguasai standar kompetensi adalah jawaban. Pertanyaan berlanjut mengenai kenapa tunanetra tidak dapat menguasai standart kompetensi? Pertanyaan dapat terjawab setelah menelusuri standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianut oleh kurikulum. Banyak sekali kompetensi yang dikemas dalam materi visual. Bahkan untuk beberapa materi dianggap mustahil untuk dipelajari tunanetra.
Dalam beberapa waktu lalu penulis mencoba memecahkan masalah pendidikan tuanetra yang selama ini dianggap suatu materi mustahil untuk diajarkan. Dalam pelajaran fisika, pada materi pengukuran. Selama ini pelajaran pengukuran masih dianggap impossible untuk tunanetra. Bagaimana bisa seorang tunanetra dapat mengukur volume benda tidak beraturan? Bagaimana bisa seorang tunanetra dapat mengukur suatu masa jenis? Melalui berbagai penelusuran ditemukan metode pengembangan alat taktual yang dapat digunakan untuk mengukur alat tersebut dengan dilengkapi skala taktual. Proses pengembangan alat ukur ini penulis lakukan bersama dua rekan yaitu Delthawati Isti R dan Rina Supriyani Untuk mengetahui proses penelitian dan implementasinya dapat dilihat pada video dibawah ini.

 
Bersamaan dengan pemecahan masalah pengukuran, ditemukan pula beberapa pengembangan media belajar lain seperti termometer voice, LKS pythagoras, busur taktual, avo meter voice dan pengembangan lainya. Dari pengembangan-pengembangan tersebut mulai terbesit keyakinan bahwa semua bisa direkaiyasa untuk tunanetra. Namun sekilah berbincang dengan Bapak Setian Adi Purwanta sebagai pimpinan resaurce centre Yogyakarta, keyakinan tersebut sedikit goyah. Jika di rinci dalam pelajaran biologi hampir semua mengandalkan informasi visual. Untuk pelajaran kimia memang banyak hafalan akan tetapi materi yang yang dikemas secara visual pun masih mendominasi, ditambah dengan alat-alat lab dan pengamatan yang mengharuskan individu menangkap informasi secara visual. Ditambah dengan pelajaran matematika, pelajaran ini memang minim praktek dan berbasis pada imajinasi. Akan tetapi dapat kita lihat bagaimana bisa memahami bangun ruang, volume benda tak beraturan, sudut, atau materi lain bagaimana bisa memahami tanpa ada ilustrasi visual. Sedangkan saat ini pemerhati atau pengembang jumlahnya masih sangat terbatas. Butuh berapa waktu untuk mengembangkan semua media pembelajaran yang dibutuhkan agar tunanetra dapat seleluasa siswa umum?
Memang secara logika semua bisa diupayakan. Konversi dari visual ke taktual atau visual ke voice dapat diupayakan. Tapi ada satu hal yang masih sangat sulit dilogika yaitu warna. Bagaimana tunanetra dapat mengenal warna? Bagaimana cara mengonversi informasi warna kedalam voice atau taktual. masih sangat sulit untuk dilogika. Namun dengan bekal teknologi nampaknya kedepan semua yang masih diragukan akan menjadi mungkin. Beberapa tahun lalu banyak orang mentidakmungkinkan tunanetra mengidentifikasi suhu, nyatanya saat ini dengan termometer voice bisa. Beberapa tahun lalu banyak kesangsian bahwa tunanetra dapat mengukur masa jenis, nyatanya saat ini dengan gelas ukur braille dan neraca pegas braille kesangsian terbantahkan.
Beberapa kalimat terakhir adalah logika untuk meningkatkan semangat dalam mengembangkan terobosan pengembangan pendidikan tunanetra. Memang sudah pada tempatnya jika masalah belum terpecahkan maka dianggap tidak logis untuk dipecahkan.
Katalis: Kolaborasi Semua Sektor
Solusi yang harus dijalankan untuk mengembangkan pendidikan tunanetra, atau bahkan membuatnya berakselerasi secepat mungkin adalah adanya kolaborasi semua sektor. Menanggapi masalah yang saat ini terjadi, terbatasnya pengembang pendidikan tunanetra maka pemerintah atau instansi terkait harus sigap. Menyusun strategi-strategi agar ide-ide brilian dapat terkumpul dan tentunya direalisasikan.
Kenapa pengembang pendidikan tunanetra hanya sedikit? Selain jawabnya adalah karena keterbatasan informasi tentang tunanetra adalah kurangnya stimulus yang diberikan oleh pemerintah ataupun instansi terkait yang bergerak di bidang tersebut. Harus ada stimulan yang membuat masyarakat memperhatikan perkembangan pendidikan tunanetra atau bahkan menyumbangkan ide brilian. Harus ada wadah sebagai stimulan seperti lomba. Dengan adanya lomba dapat membuat masyarakat terangsang untuk memberika gagasan segarnya. Selain itu pemerintah juga dapat memunculkan komunitas pengembang pendidikan tunanetra. Dengan komunitas tersebut maka akan tersaring masyarakat yang mencitai dunia tunanetra dan berkeinginan membantu mengembangkan pendidikan.
Masalah klasik yang dapat diselesaikan oleh pemerintah dan instansi terkait adalah masalah pendanaan. Dalam proses pengembangan tentu membutuhkan dana dan melihat kondisi perekonomian masyarakat Indonesia jelas mayoritas masyarakatnya akan kesusahan untuk mengembangkan gagasan tanpa ada dukungan pendanaan. Pengadaan program hibah dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun instansi terkait. Strategi ini dipandang sangat menguntungkan karena dengan proses hibah maka pengembangan dapat dikontrol untuk menghasilkan sesuatu krusial yang sedang dibutuhkan.

**Mari membantu mengakurkan tunanetra dengan ilmu sains**
**Impossible is nothing**







DAFTAR PUSTAKA



Djunaedi. 2010. Tahun 2020 Jumlah Tunanetra Dunia Menjadi 2x Lipat. Diunduh dari http://rehsos.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid= 1077   pada tanggal 21 Desember 2012



Sunanto, Juang. 2005. Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Pengelihatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
 

1 komentar: