Social Icons

Pages

Minggu, 21 Mei 2017

Keberpihakan UNBK pada Difabel Netra



Pada dasarnya Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) bukan hal baru, tahun 2015 diselenggarakan oleh 554 sekolah dan tahun 2016 dilaksanakan di 4.382 sekolah. Tahun ini menjadi lebih heboh karena hampir seantero nusantara yaitu 30.813 sekolah menyelenggarakan UNBK. Ujian Nasional dijadwalkan pada tanggal 3-6 April 2017 untuk SMK, 10-13 April 2016 untuk SMA/MA dan 2-16 Mei 2017 untuk SMP.
Difabel netra dan UNKP
Difabel netra sering menjadi sorotan dalam penyelenggaraan tes. Selama ini, Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil (UNKP) tidak dapat terakses oleh difabel netra sehingga harus ada modifikasi perubahan huruf visual menjadi huruf taktual (Braille). Namun faktanya, penggunaan huruf Braille oleh difabel netra bukan tanpa kendala. Menurut Mani dan rekan-rekan dalam buku mathematics made easy for childern with visual impairment, salah satu masalah membaca huruf timbul adalah membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan membaca huruf visual. Maka alokasi waktu ujian yang logis untuk siswa umum menjadi tidak presisi jika dikerjakan oleh difabel netra, pasti ada keluhan sempitnya waktu mengerjakan. Fakta tersebut dikuatkan dengan hasil riset penulis yang menunjukan data bahwa difabel netra lebih nyaman mengerjakan soal audio dibanding soal dengan huruf Braille karena dapat dibaca dengan lebih cepat dan relatif mudah untuk mencari soal nomor sebelumnya.
Menguntungkan? (Teorinya)
Terdapat dua jenis difabel netra yaitu low vision yaitu orang yang pengelihatannya sangat terbatas, bahkan kacamata tidak mampu membantunya untuk melihat secara normal sehingga dalam proses belajar menggunakan huruf yang diperbesar secara ekstrim dan buta total yaitu orang yang sudah tidak dapat mengakses informasi visual sehingga dalam belajar harus menggunakan huruf Braille.
Pemanfaatan TI memiliki potensi besar untuk mengondisikan ujian mudah terakses oleh difabel netra. Teknologi membuat setting menjadi sangat luwes sehingga sesuatu yang tidak mungkin di UNKP menjadi mudah di UNBK.
Dewasa ini sudah tidak kaget melihat difabel netra mengoperasikan handphone dan laptop. Perkembangan teknologi menelurkan suatu perangkat lunak screen reader yang memfasilitasi difabel netra mengakses telepon genggam ataupun komputer. Prinsipnya adalah mengonversi tulisan dan simbol yang ada dilayar monitor menjadi suara. Demikian maka siswa buta total dapat mengerjakan UN dengan mudah karena soal dapat disuarakan dengan bantuan software screen reader. Low vision juga mendapat keuntungan dengan dipaparkannya soal dalam komputer karena soal dapat diperbesar sesuai keinginan. Kemudahan tersebut adalah hal yang mustahil dilakukan pada format UN terdahulu. Dengan demikian maka secara teori UNBK ramah pada difabel netra.
Fakta Kekinian
Dalam praktiknya, masih ditemukan kendala implementasi UNBK. Seperti contoh kasus aduan dari SMKN 2 Surabaya dan SMKN 5 Surabaya yang menyampaikan bahwa beberapa soal yang tidak muncul atau tidak muncul secara utuh. Kepala Pusat Penilaian Pendidikan, Prof. Nizam menduga bahwa kejadian itu disebabkan oleh hardware dan software kurang mendukung sehingga tidak mampu menampilkan soal audio dan video secara baik.
Berkaca dari kasus di Surabaya yang notabene kota besar, beralasan jika ada dugaan bahwa di sekolah pinggiran dengan fasilitas yang lebih minim muncul kendala pula. Padahal justru kecanggihan dalam menampilkan gambar, audio, ataupun videolah yang menjadi penentu utama agar UNBK menguntungkan bagi difabel netra.
Kelola Potensi
Nasib difabel netra menjadi sangat baik saat semua potensi dikelola dengan benar sehingga semua keuntungan dapat terwujud. Kesanggupan sekolah dalam menyiapkan segala fasilitas pendukung merupakan kunci sukses pelaksanaan UNBK yang ramah bagi difabel netra. Hal yang pertama harus dijamin oleh sekolah adalah fasilitas hardware dan software termasuk ketersediaan software screen reader pada komputer dan headphone sebagai piranti difabel netra dalam mengakses output audio. Kedua, harus ada pembekalan kemampuan mengoperasikan komputer secara intensif. Sekolah harus memastikan semua siswanya telah terlatih sehingga tidak gagap dalam menjalani ujian. Ketiga, pemerintah harus memastikan gambar dan tulisan pada soal memiliki resolusi yang baik sehingga jika diperbesar oleh siswa low vision tidak “pecah”. Keempat, gambar harus dilengkapi oleh deskripsi untuk memfasilitasi siswa buta total. Pada umumnya, difabel netra diberikan fasilitas seorang pendamping untuk mendeskripsikan gambar, namun jika sudah ada fitur dalam soal yang menyediakan deskripsi maka akan lebih baik. Kelima, dalih mahalnya pengadaan perangkat yang canggih oleh sekolah merupakan perhatian khusus dalam kasus ini. Harus ada komitmen khusus antara pemerintah dan sekolah dalam menyediakan fasilitas UNBK sehingga dapat memfasilitasi memfasilitasi dengan baik.
Tidak ada kata minoritas dalam merawat Bhinneka

Dimuat pada Harian Bhirawa, 15 Mei 2017 [klik]

Jalan Tengah SM-3T



Sejak bulan April 2017, program sarjana mengajar di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (SM3T) yang identik dengan pendidikan profesi guru (PPG) menjadi perbincangan hangat. Kedaulatan Rakyat (21/04/2017) menyebutkan bahwa akan ada revisi regulasi oleh Kemenristekdikti. Seminggu sebelum berita tersebut muncul, Jawa Pos (15/04/2017) menyiarkan bahwa ada kemungkinan SM3T akan dicukupkan sehingga tahun ini menjadi seri pamungkas. Alasan pemerintah adalah bahwa selama lima tahun ini program PPG hanya dapat diakses oleh alumnus SM3T (3000 personil per tahun) saja, padahal kebutuhan nasonal mencapai 300.000 guru. Secara kalkulasi matematis maka dibutuhkan 100 tahun tanpa menghitung angka pensiun. Untuk menggantinya, pemerintah menyiapkan program gabungan yaitu penyiapan 3.500 guru produktif SMK, 3.500 guru SD dan SMP, dan menuntaskan proses pendidikan 3.007 peserta SM3T. Alasan kedua adalah SM3T dianggap tidak sejalan dengan UU Guru dan Dosen yang mengatakan bahwa guru harus memiliki sertifikat profesi.
Namun, pada tanggal 25 April 2017, Tribun Jateng memuat pemberitaan bersumber dari Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) yang menyebutkan bahwa program SM3T tidak jadi dihentikan. Prof. Rochmat Wahab, mantan rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyayangkan jika SM3T dihentikan. Pemerintah harus melakukan hitung-hitungan matang mengenai keterlaksanaan suatu program berdasarkan kesesuaian dengan hukum, kebermanfaatan, dan peran pada ketercapaian tujuan bangsa.
Peran nyata serdadu SM3T nampak pada hasil penelitian Subarkah tahun 2016 dengan responden peserta PPG di UNY memuat kesimpulan bahwa SM3T telah membantu daerah dalam menyelenggerakan pendidikan. Selain itu, Sekertaris Daerah Kabupaten Lanny Jaya, Papua, Kristian Soholait dalam acara Silaturahmi Nasional SM3T di Jakarta mengaku bahwa program sarjana mengajar sangat membantu daerahnya yang kekurangan guru.
Nawa Cita
Salah satu poin dari nawa cita adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Pada poin inilah SM3T memiliki peran strategis karena membantu meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terpencil dan pinggiran nusantara. Namun masalahnya, 3T adalah lokasi dengan citra menyeramkan, mulai dari minimnya sarana dan prasarana, perbedaan kultur, hingga keamanan. Hal tersebut mengakibatkan rendahnya minat calon guru untuk mengabdi. Bahkan dengan iming-iming tunjangan pun mereka tetap tidak bergeming.
Sarjana mengajar adalah strategi untuk mempublikasikan bahwa citra negatif hanyalah mitos tak berdasar. Satu tahun di daerah terpencil tampaknya cukup untuk melunturkan ketakutan hingga memunculkan rasa bahwa kehidupan di 3T itu adalah hal biasa, tidak ada bedanya, atau justru mengasyikan. Banyak sekali curhatan mantan sarjana mengajar di media online yang mengisahkan perjalanannya, sangat inspiratif dan persuasif. Dengan demikian maka negara sangat merugi jika SM3T tidak dilanjutkan.
Alumnus SM3T merupakan kelompok potensial yang dapat diandalkan untuk membangun daerah terpencil. Pengalaman mengabdi membangun ikatan emosional yang membuat mereka jauh lebih mudah untuk memutuskan pergi mengabdi ke 3T. Jiwa dan tekat demikian jarang sekali dimiliki oleh orang yang belum pernah merasakan hidup di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal. Keuntungan kedua adalah, guru SM3T menjadi agen rekruitmen pejuang perbatasan. Tidak ada strategi yang lebih massive dalam menggaet pemuda-pemudi untuk mengabdi di 3T selain melalui sharing pengalaman pelaku yang notabene adalah teman sebaya. Dengan demikian maka penguatan Indonesia melalui pinggiran dapat terealisasi.
Solusi Lukir
Harus diakui bahwa terdapat ketidaksesuaian antara SM3T dengan UU Guru dan Dosen. Namun, mengingat peran positifnya, sangat disayangkan jika program tersebut harus dicukupkan. Untuk mempertahannya, harus ada modifikasi sehingga selaras dengan peraturan yang berlaku. SM3T terdiri dari dua paket, pertama adalah mengabdi sebagai guru di 3T kemudian dipulangkan untuk menempuh PPG. Modifikasi yang dapat dilakukan adalah merubah urutannya, mahasiswa diberikan kuliah PPG terlebih dahulu dan memperoleh sertifikat profesi kemudian ditempatkan magang di 3T. Dengan demikian maka SM3T dapat terus memberikan pengaruh positifnya sebagai salah satu ujung tombak nawa cita tanpa harus berseberangan dengan Undang-Undang. Menuju meratanya kecerdasan di Indonesia.
Dimuat pada tanggal 15 Mei 2017 di Kedaulatan Rakyat 
 

Rabu, 03 Mei 2017

Meluruskan Gugatan Kartini



Emansipasi wanita, suatu kata yang terus didengungkan. Konsep emansipasi berawal dari R. A. Kartini sebagai buah dari belenggu adat yang membuat wanita kesulitan untuk mengembangkan potensi. Kala itu, akses wanita untuk memperoleh pendidikan sangat kurang karena bersekolah tidak dianggap penting untuk seorang wanita.
Terkabulnya Gugatan
Gugatan wanita atas pemenuhan hak terus digaungkan, pelan tapi pasti gugatan tersebut terkabul. Dahulu bangku sekolah didominasi oleh laki-laki, namun sekarang secara kuantitas perempuan sangat mendominasi. Menurut Kemdikbud melalui Direktur Pembinaan SMP, Supriano dalam Diskusi Pendidikan di Kemdikbud, Jakarta, Rabu (16/3/2016) ada 13.572.756 pelajar laki-laki di jenjang SD dan siswa perempuan 12.331.427 orang. Fakta mengejutkan muncul pada data siswa SMA yaitu 2.445.589 pelajar perempuan, sedangkan jumlah siswa laki-laki hanya 1.966.351 orang. Data tersebut menunjukan bahwa orientasi kaum wanita untuk sekolah lanjut lebih tinggi daripada kaum laki-laki. Fenomena serupa terjadi di bangku kuliah, menurut Kemristekdikti tahun 2017 jumlah mahasiswa perempuan jauh lebih banyak yaitu berkisar 2,6 juta mahasiswa sedangkan laki-laki hanya sekitar 2,3 juta.
Keterlibatan wanita dalam pemerintahan juga turut mempertegas keberadaan emansipasi wanita. Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, keterwakilan kaum ibu di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 %) di DPR, 35 kursi (26,51 %) di DPD, dan rata-rata 16,14 % di DPRD serta 14 % di DPRD kabupaten/kota. Kasus yang lebih nyata menandakan kesetaraan gender adalah hilangnya anggapan bahwa pemimpin harus seorang pria. Pilkada Serentak pada 9 Desember 2015 menghasilkan 35 kader dari kaum hawa yang memenangkan hati rakyat. Bahkan beberapa tahun yang lalu, orang nomor satu negeri ini pernah diisi kaum wanita yaitu ibu Megawati.
Realita eksistensi wanita di dunia pendidikan, kerja, dan politik cukup menjadi cerminan terkabulnya gugatan. Walaupun arti dari sebuah kesetaraan sangat subjektif namun setidaknya wanita telah memiliki ruang untuk mengembangkan potensinya. Saat ini wanita lebih bebas untuk berkompetisi dan berhak menantang kaum adam untuk bersaing di dunia pendidikan, kerja, ataupun politik.
Pergeseran Gugatan
Gerakan kesetaraan gender yang saat ini terjadi bukan tanpa konsekuensi. Banyak sekali kaum hawa yang memilih untuk membagi perannya sebagai ibu dengan wanita karir. Hal tersebut tentunya menimbulkan tantangan lebih besar dalam mewujudkan keseimbangan peran. Wanita harus dapat membagi dengan bijaksana antara fitrah sebagai ibu dan mengembangkan karir.
Pembagian peran merupakan isu hangat yang memunculkan banyak diskusi. Banyak pihak yang mengingatkan bahwa saat ini emansipasi cenderung ke arah yang “kebablasan”. Komitmen menjaga keseimbangan peran hanya terdengar samar-samar di kalangan ibu karir. Tekanan luarbiasa dari dunia pekerjaan menyita perhatian mereka sehingga peran utama sebagai ibu terbengkalai.
Isu yang paling sering mengemuka adalah masalah ASI dan manajemen keluarga. Memberikan ASI eksklusif dan melanjutkannya hingga usia 2 tahun tentu bukan perkara mudah, dibutuhkan perjuangan hebat dalam prosesnya. Tekanan karir jelas memperberat perjuangan seorang ibu. Banyak sekali ibu yang tumbang dan memilih alternatif susu formula untuk mengganti ASI. Situasi tersebut jelas sangat merugikan bagi bayi dan ibunya sendiri, sebaik-baiknya susu formula masih kalah dibandingkan dengan ASI dan ibu melewatkan momentum membangun kedekatan batin lewat aktifitas menyusui.
Masalah kedua adalah mengenai ibu sebagai manajer keluarga. Permasalahan yang paling mencolok pada ketidakmaksimalan peran ibu sebagai manajer keluarga adalah penjaminan gizi. Ibu seharusnya memiliki program untuk mengelola keseimbangan asupan gizi keluarga dan menggaransi bahwa segala hal yang masuk dalam tubuh baik untuk dikonsumsi. Namun, sayangnya banyak kaum hawa yang terpaksa mengesampingkan hal tersebut karena tersitanya waktu dan pikiran untuk kerja sehingga memilih untuk menyerahkan urusan tersebut pada pembantu atau membeli makanan siap saji. Padahal kualitas asupan gizilah yang menentukan kualitas dan kesehatan keluarga.
Meluruskan Gugatan
Perlu dipahami secara mendalam dari cara berpikir R. A. Kartini, emansipasi yang diharapkan bukan mengabaikan peran inti seorang wanita. Emansipasi lebih menyasar pada pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual seorang wanita sehingga dapat berkembang menjadi pribadi hebat sebagai anak, menantu, ibu, dan istri. Semua orang menyadari bahwa wanita merupakan manajer dalam suatu rumah tangga sehingga kualitas dari suatu keluarga tersebut sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengelola.
Kalau hanya untuk mengurus keluarga, kenapa wanita harus setara dengan pria dalam menuntut ilmu? Pertanyaan klasik tersebut pasti sering muncul. Jawabanya adalah pertama, untuk menjadi istri yang baik harus mampu berkomunikasi dengan suami. Komunikasi yang baik adalah ketika istri dan suami dapat berbicara dalam frekuensi yang sama. Saat suami mengalami masalah, istri dapat memberikan masukan. Jika wawasan istri senjang dengan suami maka komunikasi yang baik akan sulit terjadi.
Kedua, untuk mendidik anak yang hebat dibutuhkan ibu dengan wawasan yang luas. Kasus ini sudah nampak dari anak dalam kandungan, ibu dengan wawasan yang luas tahu bagaimana menjaga kandungannya agar tumbuh dengan sehat. Jika terdapat permasalahan, ibu cerdas akan mengambil sikap yang tepat dan cepat sehingga imbas dari permasalahan dapat diminimalkan. Kemudian saat anak telah lahir, aktivitas ibu dan anak sangat banyak termasuk saat menyusui. Ada banyak hal yang dapat diajarkan melalui lagu, cerita, atau obrolan, dan hanya ibu yang cerdas yang dapat memaksimalkan momentum tersebut sebagai sarana memasukkan hal-hal positif pada anak.
Ketiga, ditengah isu pola makan sehat tentu dibutuhkan manajer keluarga yang mampu mengatur kebutuhan makan dengan baik. Ibu yang berpendidikan tentu memiliki kesadaran yang tinggi dalam mengelola keluarganya agar tetap sehat.
Keempat adalah menanggapi curhatan anak dengan baik dan mendidik. Anak merupakan sosok sensitif dengan permasalahan yang kompleks, kadang diluar dugaan. Kemampuan ibu dalam menanggapi curhatan sehingga anak dapat merasa puas dan dapat mengambil nilai positif adalah ketrampilan yang dimiliki oleh ibu yang terdidik.

Bekerja dan berkarir bagi seorang wanita sebenarnya sah-sah saja namun peran intinya sebagai seorang ibu dan istri harus menjadi poin utama. Peran wanita sebagai ibu dan istri merupakan anugrah yang sangat istimewa dari Sang Pencipta sehingga tidak dapat digantikan oleh kaum pria. Sebaiknya ego kesetaraan dikelola dengan lebih baik sehingga tujuan emansipasi dapat tepat sasaran. Emansipasi harus membentuk generasi kaum hawa yang memiliki wawasan luas dan terdidik sehingga dapat membangun suatu keluarga berkualitas. Dari sanalah akan bermunculan banyak bibit-bibit unggul dari sentuhan ibu-ibu hebat yang kedepan dapat menjadi generasi emas bangsa Indonesia. Ibu adalah kunci sukses kebangkitan bangsa.
Dipublikasikan dalam Harian Analisa, 21 April 2017 [klik]