Social Icons

Pages

Rabu, 26 Desember 2012

MENELUSUR KONFLIK TUNANETRA DENGAN PENDIDIKAN SAINS



Oleh: Janu Arlinwibowo

Indera pengelihatan merupakan indera penangkap informasi dengan
proporsi yang paling tinggi 83% (Juang Sunanto, 2005:47)

Berangkat dari fakta di atas, maka dapat dibayangkan betapa berbedanya kehidupan tunanetra. Terdapat perbedaan mencolok alur informasi yang akan berimbas pada aktivitas keseharian tunanetra. Kekurangan fungsi indera pengelihatan mengakibatkan beberapa keterbatasan, seperti kognisi, mobilitas, sosial dan emosi. Keterbatasan tersebut membuat anak tunanetra mengalihkan fungsi pengelihatan (orang awam) ke rabaan. Namun, rabaan yang tidak memiliki jangkauan seluas pengelihatan sehingga mobilitas tunanetra pun sangat terbatas.
Lepas dari keterbatasan yang difitrahkan pada tunanetra, terdapat banyak potensi. Melalui suatu pendidikan potensi tersebut terus diasah menuju titik optimal. Formula pendidikan untuk tunanetra saat ini masih terus difikirkan, digodog, dan dimatangkan untuk menemukan bentuk ideal. Paradigma “kuno” seorang tunanetra adalah exceptional person mulai ditinggalkan. Pengembangan pendidikan menjurus pada paradigma baru yang memposisikan tunanetra sebagai person with special need.
Pendidikan Tunanetra di Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memper oleh pendidikan, termasuk tunanetra. UU ini menjadi landasan kuat tiap elemen terkait mengusahakan segala cara untuk memberi fasilitas tunanetra dalam belajar. Pemerintah menyediakan wahana formal untuk tunanetra dalam mengenyam pendidikan yaitu sekolah luar biasa (SLB).
Dikhususkannya wahana belajar bertujuan agar tunanetra (kasus ini juga terjadi pada disablelity lain) dapat belajar lebih kondusif. Namun seiring berkembangnya pemikiran, pengkhususnya memiliki suatu kekurangan, yaitu standar kemampuan lulusan yang disinyalir memiliki kesenjangan dengan siswa umum. Dengan pengususan maka pada proses belajar masih sering diselimuti unsur “pemakluman”. Ketidakbisaan tunanetra terhadap sesuatu sering dianggap pemakluman saja, minim pengupayaan agar bisa.
Selain itu pengkotakan ini juga menimbulkan permasalahan sosial bagi tunanetra. Volume interaksi dengan siswa umum menjadi sangat minimal dan mengakibatkan dalam kehidupan luar muncul pembatas dengan non tunanetra karena saling belum terbiasa. Akibatnya fatal, dalam kehidupan sosial seolah-olah tunanetra punya kehidupan sendiri dan non tunanetra pun segan untuk berinteraksi karena belum mengenal secara baik.
Muncul konsep pengembangan yaitu sekolah inklusi. Sekolah yang membaurkan semua siswa tanpa terkecuali. Konsep ini dinilai akan memberikan bekal lebih komplit, selain berkembangnya kemampuan sosial, tunanetra juga dididik dengan volume materi yang sama dengan siswa lain sehingga luaran yang dihasilkan pun standar.
Menelusur Masalah Pendidikan Tunanetra
Dengan pengembangan konsep pendidikan, masih saja menemui banyak kendala. Saat ini konsep education for all masih belum dapat sepenuhnya terwujud. Masih ada kesenjangan yang memagari tunanetra sehingga tidak dapat seperti siswa umum. Dalam penelusuran, fasilitasbelajarlah yang selalu menjadi tajuk utama. Akibatnya, tunanetra tidak dapat memenuhi standar kompetensi, sekalipun di sekolah inklusi.
Diskriminasi paling nampak adalah semua tunanetra yang bersekolah di sekolah inklusi dijuruskan ke ilmu sosial. Alasannya, karena ketidakmampuan tunanetra untuk mempelajari ilmu pengetahuan alam. Jelas, asumsinya adalah ketidakmampuan, yang berarti konsep “kuno” exceptional person masih terpelihara. Usaha untuk pemenuhan kebutuhan belajar tunanetra masih jauh dari kata menyeluruh. Padahal fakta di lapangan menunjukan bahwa banyak sekali siswa tunanetra yang memiliki minat untuk menekuni ilmu sains, bahkan diantaranya memiliki kemampuan excellent.
Melihat fakta tersebut, dapat disimpulkan akibat dari tidak adanya arah sains untuk siswa tunanetra. Pertama adalah terpasungnya bakat dari setiap individu tunanetra. Kedua adalah tunanetra akan menjalankan pendidikannya tidak sepenuh hati. Ketiga adalah tidak adanya pemecahan masalah kompreherensif, karena tidak adanya tunanetra yang belajar ilmu sains maka tidak akan ada pemicu untuk identifikasi dan pemecahan kebutuhan tunanetra dalam belajar sains. Jika dibiarkan maka akan timbul lingkaran gelam yang membuat tunanetra susah untuk mengembangkan diri khususnya di dunia sains. Padahal diketahui bahwa ilmu sains sangat berguna dalam kehidupan. Alhasil masalah puncaknya adalah produktifitas dan tingkat kemandirian.
Konflik Tunanetra Dengan Sains
Kenapa tidak ada penjurusan sains untuk tunanetra? Itulah pertanyaan yang terbesit saat mengetahui fakta ini. Seiring meningkatnya volume pengamatan, masalah tersebut terjawab. Asumsi bahwa tunanetra tidak akan mampun menguasai standar kompetensi adalah jawaban. Pertanyaan berlanjut mengenai kenapa tunanetra tidak dapat menguasai standart kompetensi? Pertanyaan dapat terjawab setelah menelusuri standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dianut oleh kurikulum. Banyak sekali kompetensi yang dikemas dalam materi visual. Bahkan untuk beberapa materi dianggap mustahil untuk dipelajari tunanetra.
Dalam beberapa waktu lalu penulis mencoba memecahkan masalah pendidikan tuanetra yang selama ini dianggap suatu materi mustahil untuk diajarkan. Dalam pelajaran fisika, pada materi pengukuran. Selama ini pelajaran pengukuran masih dianggap impossible untuk tunanetra. Bagaimana bisa seorang tunanetra dapat mengukur volume benda tidak beraturan? Bagaimana bisa seorang tunanetra dapat mengukur suatu masa jenis? Melalui berbagai penelusuran ditemukan metode pengembangan alat taktual yang dapat digunakan untuk mengukur alat tersebut dengan dilengkapi skala taktual. Proses pengembangan alat ukur ini penulis lakukan bersama dua rekan yaitu Delthawati Isti R dan Rina Supriyani Untuk mengetahui proses penelitian dan implementasinya dapat dilihat pada video dibawah ini.

 
Bersamaan dengan pemecahan masalah pengukuran, ditemukan pula beberapa pengembangan media belajar lain seperti termometer voice, LKS pythagoras, busur taktual, avo meter voice dan pengembangan lainya. Dari pengembangan-pengembangan tersebut mulai terbesit keyakinan bahwa semua bisa direkaiyasa untuk tunanetra. Namun sekilah berbincang dengan Bapak Setian Adi Purwanta sebagai pimpinan resaurce centre Yogyakarta, keyakinan tersebut sedikit goyah. Jika di rinci dalam pelajaran biologi hampir semua mengandalkan informasi visual. Untuk pelajaran kimia memang banyak hafalan akan tetapi materi yang yang dikemas secara visual pun masih mendominasi, ditambah dengan alat-alat lab dan pengamatan yang mengharuskan individu menangkap informasi secara visual. Ditambah dengan pelajaran matematika, pelajaran ini memang minim praktek dan berbasis pada imajinasi. Akan tetapi dapat kita lihat bagaimana bisa memahami bangun ruang, volume benda tak beraturan, sudut, atau materi lain bagaimana bisa memahami tanpa ada ilustrasi visual. Sedangkan saat ini pemerhati atau pengembang jumlahnya masih sangat terbatas. Butuh berapa waktu untuk mengembangkan semua media pembelajaran yang dibutuhkan agar tunanetra dapat seleluasa siswa umum?
Memang secara logika semua bisa diupayakan. Konversi dari visual ke taktual atau visual ke voice dapat diupayakan. Tapi ada satu hal yang masih sangat sulit dilogika yaitu warna. Bagaimana tunanetra dapat mengenal warna? Bagaimana cara mengonversi informasi warna kedalam voice atau taktual. masih sangat sulit untuk dilogika. Namun dengan bekal teknologi nampaknya kedepan semua yang masih diragukan akan menjadi mungkin. Beberapa tahun lalu banyak orang mentidakmungkinkan tunanetra mengidentifikasi suhu, nyatanya saat ini dengan termometer voice bisa. Beberapa tahun lalu banyak kesangsian bahwa tunanetra dapat mengukur masa jenis, nyatanya saat ini dengan gelas ukur braille dan neraca pegas braille kesangsian terbantahkan.
Beberapa kalimat terakhir adalah logika untuk meningkatkan semangat dalam mengembangkan terobosan pengembangan pendidikan tunanetra. Memang sudah pada tempatnya jika masalah belum terpecahkan maka dianggap tidak logis untuk dipecahkan.
Katalis: Kolaborasi Semua Sektor
Solusi yang harus dijalankan untuk mengembangkan pendidikan tunanetra, atau bahkan membuatnya berakselerasi secepat mungkin adalah adanya kolaborasi semua sektor. Menanggapi masalah yang saat ini terjadi, terbatasnya pengembang pendidikan tunanetra maka pemerintah atau instansi terkait harus sigap. Menyusun strategi-strategi agar ide-ide brilian dapat terkumpul dan tentunya direalisasikan.
Kenapa pengembang pendidikan tunanetra hanya sedikit? Selain jawabnya adalah karena keterbatasan informasi tentang tunanetra adalah kurangnya stimulus yang diberikan oleh pemerintah ataupun instansi terkait yang bergerak di bidang tersebut. Harus ada stimulan yang membuat masyarakat memperhatikan perkembangan pendidikan tunanetra atau bahkan menyumbangkan ide brilian. Harus ada wadah sebagai stimulan seperti lomba. Dengan adanya lomba dapat membuat masyarakat terangsang untuk memberika gagasan segarnya. Selain itu pemerintah juga dapat memunculkan komunitas pengembang pendidikan tunanetra. Dengan komunitas tersebut maka akan tersaring masyarakat yang mencitai dunia tunanetra dan berkeinginan membantu mengembangkan pendidikan.
Masalah klasik yang dapat diselesaikan oleh pemerintah dan instansi terkait adalah masalah pendanaan. Dalam proses pengembangan tentu membutuhkan dana dan melihat kondisi perekonomian masyarakat Indonesia jelas mayoritas masyarakatnya akan kesusahan untuk mengembangkan gagasan tanpa ada dukungan pendanaan. Pengadaan program hibah dapat dilakukan oleh pemerintah ataupun instansi terkait. Strategi ini dipandang sangat menguntungkan karena dengan proses hibah maka pengembangan dapat dikontrol untuk menghasilkan sesuatu krusial yang sedang dibutuhkan.

**Mari membantu mengakurkan tunanetra dengan ilmu sains**
**Impossible is nothing**







DAFTAR PUSTAKA



Djunaedi. 2010. Tahun 2020 Jumlah Tunanetra Dunia Menjadi 2x Lipat. Diunduh dari http://rehsos.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid= 1077   pada tanggal 21 Desember 2012



Sunanto, Juang. 2005. Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Pengelihatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
 

Rabu, 12 Desember 2012

OPTIMALISASI PERAN PAHLAWAN DEVISA SEBAGAI PEJUANG PARIWISATA


Oleh: Janu Arlinwibowo

Pengangguran, Realita Kebutuhan dan Oasenya
Indonesia saat ini masih terbelit dengan masalah klasik negara berkembang yaitu pengangguran. Ketidak seimbangan antara ketersediaan lapangan pekerjaan dengan jumlah penduduk jelas menjadi faktor utama. Pegawai pemerintahan sebagai primadona masyarakat jelas tidak dapat memfasilitasi semua orang untuk bekerja. Perusahaan swasta yang ada di Indonesia masih belum cukup pula untuk mengentaskan pengangguran. Ditambah dengan pemberian apresiasi kerja yang sangat minimal membuat kondisi masyarakat semakin miris. Bahkan saat ini, harga dari penjuangan menuntut ilmu hingga bergelar sarjana pun tidak dapat memberikan janji indah. Salah satu fenomena bahwa seorang pengajar honorer lulusan sarjana hanya mendapat apresiasi kerja kurang dari Rp 500.000 per bulan adalah pemandangan lumrah. Padahal kebutuhan hidup jelas semakin meningkat dimana perlahan tapi pasti harga dari kebutuhan pokok terus melambung seakan tanpa batas. Lain hal dengan sedikitnya industri kecil yang ada di Indonesia. Bukan karena masyarakat indonesia yang tidak kreatif, bukan juga karena masyarakat Indonesia yang pemalas. Akan tetapi karena perilaku ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian benci terhadap resiko. Menurutnya bergaji kecil sebagai begawai lebih nyaman dibandingkan berharap bergaji besar namun sebelum mencapai sudah terjungkal. Selalu, bayangan resiko muncul mendominasi paradigma sebagian besar masyarakat kreatif Indonesia.
Kebutuhan semakin meningkat dan kondisi lapangan pekerjaan di Indonesia tidak menjanjikan berbuah pada keputusasaan. Paradigma negatif masyarakat bahwa perubahan seperti halnya kiamat, tidak dapat diterka dan hanya Tuhan saja yang tahu kapan datangnya. Perubahan akan terjadi bukan karena suatu buah dari usaha melainkan mukjizat dari Yang Maha Kuasa. Itulah bentuk keputusasaan masyarakat kita dalam menanti. Hingga saat ini lebel “penantian” sudah bergeser menjadi “impian” atau mungkin “khayalan”.
Hingga akhirnya muncul solusi menggiurkan untuk meningkatkan taraf ekonomi tiap individu dengan bekerja di luar negeri. Selain kesempatan untuk tidak menganggur, iming-iming gaji bekerja di luar negeri juga sangat menggiurkan. Menjadi seorang tenaga kerja Indonesia beberapa tahun terakhir menjelma menjadi profesi idola masyarakat. Berbagai negara seperti Korea, Jepang, Malaysia ataupun Arab Saudi menjadi tujuan masyarakat kita dalam mencari kerja.
Di Malaysia rata-rata gaji yang diterima TKI Rp 2 juta, sedangkan di Taiwan rata-rata menerima gaji TKI sebesar Rp 4 juta. Nominal tersebut memang sangat menggiurkan. Relatif sulit untuk mendapatkan gaji dengan nominal sama di dalam negeri. Contohnya seorang dosen dengan pendidikan pasca sarjana saja hanya mendapatkan apresiasi finansial kurang dari 10 juta rupiah, sedangkan bekerja di Korea, dengan hanya berbekal ijasah sekolah menengah saja bisa mendapatkan gaji mencapai 14 juta rupian. Selain berkaitan dengan gaji, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di luar negeri pun bisa dikatakan lebih mudah dibandingkan dengan mencari pekerjaan layak di dalam negeri. Sehingga tidak mengherankan jika tempo melaporkan bahwa pada 2011 jumlah TKI informal sebanyak 316.325 (54 persen) dan TKI formal sebanyak 269.462 (46 persen) [i].
Banyaknya pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri memberikan dampak positif dari sudut padang devisa negara. BNP2TKI mencatat perolehan devisa TKI 2012 sampai dengan bulan Mei mencapai Rp 40 triliun. Perolehan ini sungguh besar. Jika dilihat dari persentasi pemasukan APBN, remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menyumbang 10% atau menempati urutan kedua setelah migas.

Cukupkah Menjadi Sejahtera dan Pahlawan Devisa?
Semua masyarakat sangat berharga, hanya saja belum seimbangnya jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan yang mengharuskan bangsa ini merelakan jiwa-jiwa potensial mengabdikan diri untuk bangsa lain.
Negara kuat karena rakyatnya, semakin banyak rakyat maka suatu negara akan semakin kuat. Ibarat sebuah proses membangun akan semakin cepat jika dikerjakan oleh banyak orang. Suatu angkatan perang dengan armada lebih banyak maka akan semakin kokoh. Sebuah logika yang logis dengan tetap mempertimbangkan variabel lain selain kuantitas, seperti kualitas, loyalitas dan banyak aspek lain. Lalu permasalahan adalah bagaimanakah nasib bangsa ini setelah melakukan ekspor besar-besaran tenaga. Banyak tenaga yang hingga di luar nusantara, membantu negeri sebrang dalam memajuka perekonomian, membuat negeri sebrang menjadi lebih produktif, sementara negeri sendiri masih berkutat pada peningkatan produktifitas yang seakan cuma merangkak.
Namun, belum mampunya negara ini memberika wahana bagi seluruh masyarakat untuk mendayagunakan potensi menjadi permasalahan besar. Tidak ada pilihan lain, memberikan akses masyarakat untuk bekerja di luar negeri merupakan salah satu opsi yang harus dipilih. Padahal tidak sebanding, potensi dan tenaga masyarakat dihargai dengan apapun. Menjadi sebuah ironi memang, di satu sisi dengan tenaga potensi yang mereka miliki, mereka dapat membantu mengangkat produktifitas negara. Tapi disisi lain, negara belum tau mau ditempatkan kemana potensi-potensi itu.
Bekerja ke luar negeri menjadi TKI memberikan pemasukan luar biasa pada negara. Jika dilihat dari persentasi pemasukan APBN, remitansi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menyumbang 10% [ii]. Namun, jangan terlena dengan kondisi ini. Sekali lagi ditekankan bahwa tenaga potensial kita memiliki harga yang jauh lebih tinggi dari apapun. Namun karena memang tidak ada pilihan lain, mari berhitung untung ruginya. Kerugian sudah jelas, produktifitas negara lain meningkat dengan bantuan tenaga potensial masyarakat Indonesia. Berbicara mengenai keuntungan adalah adanya penambahan devisa dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Peningkatan devisa jelas, tapi meningkatkan kesejahteraan menjadi tanda tanya besar.
Cukupkah keuntungan tersebut? Jawabannya adalah cukup bersyarat. Cukup jika sudah tidak ada keuntungan lain yang dapat dioptimakan. Mari kita cermati keuntungan lain yang dapat diperoleh. Pariwisata adalah salah satu bagian penting dari Indonesia yang berpotensi mendunia. Indonesia adalah suatu negara kepulauan yang memiliki banyak budaya dah keindahan alam luar biasa. Namun sayang, potensi ini masih kurang terekspos sehingga masih sangat sedikit budaya dan fenomena alam yang menarik wisatawan. Dari sini dapat kita cium keuntungan besar yang dapat kita dapatkan dari keberadaan masyarakat kita di luar negeri.
Fitrahnya semua masyarakat memiliki kecintaan dan kebanggaan luar biasa terhadap bangsanya, termasuk juga TKI. TKI berada ditengah masyarakat luar negeri sehingga dapat menyampaikan informasi pariwisata face to face. Cara penyampaian informasi seperti ini sangat efektif karena berjalan dua arah sehingga informasi dapat disampaikan secara menyeluruh. Dapat dikalkulasikan pula, misal kontrak kerja TKI selama 2 tahun, dan akan bertemu berapa orang selama 2 tahun tersebut, dapat dipastikan akselerasi sebaran informasi perpariwisataan negeri ini meningkat tajam.
Ramainya wisatawan manca negara akan memberikan dampak positif. Lapangan pekerjaan akan meningkat dan akan lebih meningkatkan lagi devisa negara. Selain itu dengan amanah sebagai duta pariwisata yang disematkan maka gairah masyarakat untuk bersosial dengan warga negara asing juga akan meningkat sehingga tiap TKI akan memiliki jangkauan relasi yang luas. Sehingga akan memudahkan para TKI untuk saling bertukar informasi, bahkan memberikan kesempatan untuk membangun bisnis, bisnis di bidang pariwisata ataupun yang lain.

Daerah Istimewa Yogyakarta, Pariwisata, dan TKI-nya
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kota yang berlebel istimewa di Indonesia. Buka main-main karena saat ini lebel “istimewa” karena melambangkan suatu keistimewaan luar biasa yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Istimewa budayanya, dengan masih tegapnya pemerintahan kraton. Banyak sekali peninggalan budaya berupa situs yang menjadi saksi perjalanan waktu.
Peta wisata Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan tempat lokasi-lokasi wisata sangat cantik. Terdapat wisata pegunungan, wisata perkotaan, dan wisata pantai yang membujur dari utara ke selatan. Dipandang dari segi jarak, antar lokasi sangat nyaman dijadikan paket wisata. Hanya membutuhkan waktu 3-5 jam untuk menempuh perjalanan dari daerah wisata pegunungan di utara ke daerah wisata pantai di selatan. Rute perjalanan pun dapat diatur sedemikian rupa sehingga dalam 1 hari dapat mengunjungi lebih dari 4 lokasi wisata.
Meningkatkan radius sedikit, terdapat banyak sekali situs peninggalan jaman kerajaan berupa candi yang sangat menarik wisatawan. Dua candi besar yang memiliki daya tari paling tinggi adalah Cando Borobudur dan Candi Prambanan. Lokasi-lokasi di atas menunjukan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya memiliki potensi pariwisata yang luar biasa.
Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitar memang sudah dijadikan sebagai andalan. Sudah banyak wisatawan mancanegara yang berkuncung untuk menikmati wahana pariwisata. Akan tetapi ekspos informasi perpariwisataan di Daerah Istimewa ini dirasa masih belum optimal. Metode-metode promosi yang saat ini digunakan masih berbasis pada publish media. Padahal dengan banyaknya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta yang tersebar diseluruh dunia dapat menjadi sarana getok tular yang luar biasa. Data menunjukan sedikitnya 5.000 masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta menyebar ke negara lain menjadi TKI [iii]. Pengetahuan warga daerah tentunya sangat dalam terhadap perpariwisataan daerahnya. Oleh karena itu, info melalui putra daerah akan memberikan informasi lebih dalam. Calon wisatawan membutuhkan banyak informasi mengenai lokasi wisata seperti cuaca, keadaan sosial, dan sisi lain dari tempat pariwisata, tidak hanya sekilas saja seperti informasi melalui benner, poster, ataupun film. Pemberian informasi akan meningkatkan ketertarikan dan kemantaban calon wisatawan untuk berkunjung.
Jika 5.000 warga dapat diefektifkan untuk mempromosikan pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta, maka dapat dibayangkan informasi yang tersebar. Kondisi ini sangat menguntungkan daerah. Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta akan lebih dikenal. Bahkan untuk daerah indah yang belum dipublikasikan pun dapat teridentifikasi oleh masyarakat mancanegara melalui warga kita yang berada di sana.

Ada Rencana, Ada Masalah
Untuk merealisasikan peran TKI sebagai duta pariwisata daerah harus memperhatikan banyak hal. Permasalahan yang nampak adalah belum terbukanya pikiran TKI bahwa publish pariwisata daerahnya merupakan suatu hal yang penting. Mereka belum berfikir mengenai imbas positif jika banyak wisatawan yang datang ke daerahnya. Jarang ditemukan perbincangan masyarakat dengan warga asing membahas tentang keunikan, keelokan, ataupun keindahan pariwisata di daerahnya. Padahal dengan perbincangan ringan tersebut tersebut dapat menarik minat lawan bicara yang semula tidak berfikir menjadi ingin datang berwisata.
Selain itu, wawasan mengenai perpariwisataan di daerah sendiri pun kadang tidak menyeluruh. Beberapa aspek penting yang menarik tidak terlalu dikuasai oleh putra daerah sehingga ketika ditanya oleh orang lain pun jawabanya tidak memuaskan. Membuat orang yang sebelumnya tertarik menjadi urung datang ke lokasi wisata karena meragu. Wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta sangat berpotensi untuk menarik perhatian wisatawan karena tidak hanya menarik secara mata tapi juga sangat menarik secara sejarah dan kekentalannya dengan mistik. Seperti halnya anak tangga menuju makam raja-raja Mataram di Imogiri yang tidak dapat dihitung, kisah mistik Nyai Roro Kidul di Parangtritis, Goa kecil tapi dapat dijadikan sebagai tempat persembunyian Pangeran Diponegoro, Candi dengan sejarah pembuatan yang sangat luar biasa dan masih banyak lagi.
Masalah lain adalah konsentrasi TKI saat berada di luar negeri adalah bekerja. Mengumpulkan materi sebanyak mungkin untuk dibawa pulang ke nusantara dan dijadikan modal. Kondisi ini membuat kesempatan mereka dalam mempopulerkan pariwisata terhambat oleh waktu. Ditambah lagi dengan tidak adanya mandat yang menyerukan TKI untuk mempopulerkan pariwisata. Dalam budaya jawa kita ketahui bahwa masyarakat akan merasa nyaman dan tanggung jawab ketika “diuwongke” atau dalam artinya di minta. Pada dasarnya masyarakat jawa senang membantu asalkan terdapat pembicaraan yang baik dan jelas.

Optimalisasi Pahlawan Devisa untuk Populerkan Pariwisata
Perluasan peran TKI untuk membantu mempopulerkan pariwisata harus segera dilakukan. Potensi banyaknya calon TKI yang akan berangkat pada tahun-tahun berikutnya harus disiapkan dengan memberikan misi turut mempopulerkan perpariwisataan daerah. Misi ini harus diberi tekanan, bahkan akan sangat baik ketika dikatakan sebagai tugas negara. Dengan adanya kata tugas daerah masyarakat akan lebih getol dalam mempopulerkan perpariwisataan karena inilah yang dimaksud dengan “diuwongke”.
Semangat yang dipacu dengan pemberian tugas pada TKI baru menjadi syarat perlu, belum mencakup seluruh syarat. Persiapan matang yang menyeluruh harus dilaksanakan guna ketercapaian misi. Mencermati masalah yang terpapar pada subbab sebelumnya maka perlu diadakan pembekalan untuk meningkatkan wawasan pariwisata daerah. Dengan kata lain, wawasan pariwisata merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh TKI. Penting karena dengan terpenuhinya kompetensi ini maka TKI dapat mempopulerkan lokasi wisata secara detail dan menarik. Pemerintah harus mengontrol kompetensi ini. Untuk mewujudkannya maka pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga untuk menyiapkan TKI yang memiliki wawasan pariwisata mumpuni. Pengukuran kompetensi dapat dilakukan dengan test tertulis ataupun presentasi yang kelulusannya akan dinyatakan dalam bentuk sertifikat.
Reward adalah sesuatu yang dapat melecutkan semangat individu untuk melakukan sesuatu. Adanya penghargaan akan membuat TKI bersemangat dalam mempopulerkan pariwisata. Adanya reward juga akan membuat TKI menyisihkan sedikit orientasi utamanya (bekerja) untuk membatu daerahnya dalam mempopulerkan pariwisata. Masyarakat menyukai reward materi yang diterima secara langsung. Oleh karena itu, pemerinta harus menyiapkan suatu produk berupa sistem yang dapat memberika reward pada setiap TKI yang berhasil mengundang wisatawan. Cara strategis adalah membuat produk paket travelling yang dapat mengidentifikasi siapakah tenaga kerja indonesia yang telah merekomendasikan wisatawan tersebut untuk diberikan apresiasi. Untuk meningkatkan semangat TKI dalam mempromosikan pariwisata, alangkah baiknya juga diadakan reward komulatif yang merupakan rekap hasil kerja selama setahun. Reward ini berupa predikat tahunan yang akan melecutkan semangat tiap TKI untuk berkompetisi mempopulerkan pariwisata daerah. Adapun bagan umum alur produk paket travelling adalah sebagai berikut,



Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keuntungan tourism memilih produk ini untuk travelling mereka. Produk ini harus dikemas semenarik mungkin agar torism merasakan suatu keharusan memilih produk ini. Misal dengan produk ini maka harga lebih terjangkau atau produk ini menawarkan guide profesional dan safety travelling yang menjanjikan. Dengan demikian maka akan memudahkan TKI untuk promosi wisata daerah dan perpariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta akan semakin jaya.