Social Icons

Pages

Sabtu, 19 Februari 2011

BANK SYARI’AH, KARENAMU AKU MAMPU GENDONG ANAK ISTRIKU


BANK SYARI’AH, KARENAMU AKU MAMPU GENDONG
ANAK ISTRIKU
Oleh: Janu Arlinwibowo

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, syari’ah berarti hukum agama yang diamalkan menjadi perbuatan-perbuatan, upaya, dan sebagainya. Segala perbuatan tersebut mutlak bertalian dengan hukum Islam.
Secara etimologi syari’ah merupakan madzhab jalan yang lurus. Dari arti tersebut, syari’ah dapat diibaratkan sebagai jalan menuju sember air minum karena hukum yang berlaku mampu untuk menghidupkan jiwa dan akal manusia layaknya air minum yang mampu untuk menyejukkan jiwa manusia. 
Secara termologi syari’ah berarti segala sesuatu yang ditetapkan oleh Alloh SWT untuk hamba-hamba-Nya dalam bentuk agama, yaitu berupa hukum yang sangat beragam dan bervariasi. Dapat disimpulkan bahwa dengan hukum tersebut kita menyerahkan diri untuk menghamba kepada Alloh SWT.
Bank Syari’ah merupakan Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan).
Bank syari’ah merupakan suatu instansi keuangan yang terkenal dengan sistem bagi hasilnya. Bank syari’ah dalam pengoperasiannya selalu berlandaskan pada Al Quran dan Al Hadist. Bank syari’ah juga sering disebut sebagai bank Islam karena segala kegiatan yang dijalankan selalu berlandaskan pada agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank syari’ah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan dan keadilan.
Disadari atau tidak, kita kini hidup dan menikmati sistem kapitalisme global. Sistem kapitalisme global ditopang oleh tangan-tangan perusahaan multinasional, dengan alokasi sumber daya yang didasarkan atas mekanisme pasar, diakuinya hak-hak milik individu. Boleh dikata, jaringan perbankan global merupakan jantungnya. Dalam sistem semacam ini, bunga ibarat darahnya perekonomian. Sayangnya sistem kapitalisme berbasis bunga ini ternyata rentan terhadap krisis. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dan negara Asia lainnya, telah memporak-porandakan sistem perbankan dan seluruh sendi-sendi perekonomian. Industri perbankan yang tengah dilanda krisis agaknya membutuhkan “obat” yang nonkonvensional dan tidak sekedar menelan “obat generik” yang dianjurkan IMF. (Drs. Muhammad, M.Ag.)
            Uraian di atas menerangkan bahwa sistem perbankan yang diterapkan oleh bank konvensional akan menjadi boomerang. Apabila tetap didiamkan, maka bukan tidak mungkin sistem tersebut akan semakin mendekatkan bangsa kita kepada kehancuran.
Di dalam struktur organisasi suatu bank syari’ah diharuskan adanya Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. DPS ini dibawahi oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keuangan syari’ah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sangsi. Adanya DSN menjadi kemantapan tersendiri bagi masyarakat. Kemantapan yang dikarenakan eksistensi badan organisasi yang mengawasi dan bertanggung jawab apabila terjadi penyelewengan.
            Riba  
Pada suatu hari penulis melihat tayangan televisi. Ketika itu penulis melihat film yang berlatarkan kenidahan gunung salju. Film itu berjudul legend of the condor heroes. Film itu menceritakan seorang pendekar yang sedang berkelana bersama burung besar. Ketika itu sang pendekar bertemu dengan musuh. Dengan kecerdikannya sang pendekar yang berada di atas gunung salju menggulingkan salju seukuran bola sepak kearah bawah tepat pada posisi musuh. Tanpa disadari oleh musuh bola salju itu berubah menjadi besar dan menimpanya.
Uraian cerita diatas mengandung hikmah bahwa bola salju yang berwarna putih bersih sebesar bola sepak berubah menjadi berkali-kali lebih besar. Hal itu mengingatkan penulis kepada sistem riba yang digunakan oleh bank konvensional.
            Riba berarti bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Ketidak adilan yang ditimbulkan oleh riba tersebut dengan tegas ditampik oleh hukum Islam. Dimana riba yang diharamkan dan sistem yang dihalalkan tertera jelas. Seperti pada firman Alloh pada surat Al-Baqarah ayat 278 yang berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
            Sistem riba yang diterapkan oleh bank konvensional tersebut menjadi momok tersendiri bagi nasabah. Mimpi buruk menjadikan kebingungan pada setiap orang untuk mengambil sikap. Hal tersebut berimbas pada keragu-raguan untuk berkembang dengan bantuan dana dari bank. Keberadaan riba menjadi kendala yang serius kerena dengan diberlakukannya sistem riba nasabah akan dibebankan pada bunga. Hal tersebut akan mematikan semangat masyarakat untuk melakukan sebuah perkembangan.
            Bagi hasil
            Bagi hasil merupakan sistem yang diterapkan oleh bank syari’ah. Sistem bagi hasil merupakan sistem yang secara nyata mengutamakan keadilan. Sistem bagi hasil menentukan besarnya resiko bagi hasil pada waktu akad dengan pedoman pada kemungkinan untung dan rugi. Begitu pula pada rasio (nisbah) berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
            Sistem bagi hasil sangat istimewa apalagi dengan sistem ini bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika tidak mendapat keuntungan bagi hasil akan tiada atau bahkan ketika proyek mengalami kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua pihak. Sistem bagi hasil merupakan sistem yang paling relevan di terapkan karena dengan sistem ini akan memacu semangat masyarakat untuk berkembang.
            Sistem bagi hasil yang telah diuraikan di atas  memperlihatkan begitu bertolak belakangnya sistem ini dengan sistem bunga yang selalu memberatkan setiap nasabahnya. Sistem ini begitu fleksibel dan memberi kesempatan kepada semua kalangan untuk berinvestasi. Hal tersebut akan menguatkan obsesi seseorang untuk berkembang melalui bantuan instansi. Dengan obsesi yang memang telah didukung oleh potensi merupakan titik terang permasalahan ekonomi. Dunia industri yang berkembang layaknya laju sepeda dan kadang berhenti ketika lelah akan berubah menjadi laju kendaraan bermotor yang tak kenal lelah.
Perilaku bisnis masyarakat
Dari sudut ekonomi, sebenarnya ada tiga pihak jenis perilaku pihak terhadap dunia bisnis dan usaha. Pertama adalah risk loving (sangat menyukai resiko usaha). Perilaku ini menyebabkan semakin tinggi resiko, maka semakin tinggi pula kepuasan yang diterimanya. Sehingga jika pendapatan yang diterima semakin kecil pun tidak menjadi persoalan bagi pihak tersebut. Perilaku ini lebih cocok dialamatkan pada penjudi, karena sangat menyukai taruhan yang beresiko tinggi.
Perilaku kedua adalah risk neutrally (netral terhadap resiko). Pihak ini bersikap konstan dan netral terhadap resiko, sehingga semakin tinggi resiko usaha yang terjadi, bukan masalah bagi pihak tersebut selama pendapatan yang diterimanya konstan dan tetap. Menurut hemat penulis, bank konvensional memiliki perilaku seperti ini, karena apa pun yang terjadi, pendapatan yang diterima dari pembiayaan usaha adalah tetap, yaitu sejumlah bunga yang diterimanya.
Prilaku terakhir adalah risk aversion (tidak menyukai resiko). Perilaku ini menyebabkan suatu pihak bersikap menghindari resiko usaha, sehingga semakin tinggi resiko suatu usaha, maka dibutuhkan tambahan pendapatan yang lebih tinggi lagi sebagai kompensasi dari pilihan yang diambil. Perilaku inilah yang lebih dekat dan sesuai dengan Islam. Perilaku mutualisme ini membutuhkan suatu pihak membutuhkan pihal lain untuk berbagi resiko usaha. Prinsip ini dikombinasikan dengan berbagi resiko usaha dapat diintrepretasikan menjadi pendapatan yang semakin tinggi dan resiko usaha ditanggung bersama.
Prinsip Syari’ah
Sistem yang diaplikasikan oleh bank syari’ah memiliki tiga prinsip yaitu, pertama prinsip pertanggungjawaban. Prinsip ini sangat berkaitan dengan prinsip amanah yang berarti hasil transaksi antara manusia dan Sang Khaliq. Prinsip itu sendiri berarti bahwa setiap manusia yang terlibat dalam dunia bisnis harus mempertanggungjawabkan amanah yang telah diemban.
Kedua yaitu prinsip keadilan. Prinsip keadilan merupakan nilai yang secara intern melekat pada diri manusia. Dalam konteks perbankan keadilan merupakan pembukuan yang diadakan setiap adanya transaksi. Lain arti keadilan yang dijunjung pada sistem syari’ah ini merupakan sistem yang sebisa mungkin mengkondisikan seadil-adilnya layaknya simbiosis mutualisme. Selain itu kata adil memiliki sifat fundamental yang berarti akan selalu berpijak pada nilai-nilai syari’ah.
Ketiga yaitu prinsip kebenaran. Dalam perbankan akan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran dan pelaporan. Aktivitas tersebut akan berjalan dengan baik jika berlandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran akan menghasilkan keadilan  dalam pengakuan, pengukuran dan pelaporan transaksi-transaksi ekonomi.
Keempat yaitu prinsip Univeralitas. Bank syari’ah dalam operasionalnya tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil'alamiin
            Bank syari’ah dan Indonesiaku
            Pancasila merupakan landasan berbangsa dan bernegara di negara kita. Kita cermati pada bunyi pancasila sila pertama “Ketuhanan yang maha esa” kalimat tersebut bermaksud bahwa segala yang berjalan dalam negara kita berlandarkan pada nilai-nilai agama. Hal tersebut sangat erat dengan bank syari’ah yang memang berpegang teguh pada nilai-nilai agama seperti yang telah disebutkan diatas pada prinsip pertama.
            Pada sila dua berbunyi ”kehidupan yang adil dan beradab”, begitu juga pada sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam sila ini diterangkan bahwa keadilan dijunjung tinggi. Bank konvensional yang menerapkan sistem bunga jelas memberatkan nasabah dan hal tersebut membuktikan bahwa nilai keadilan tidak dijunjung. Lain peristiwa ketika kita menengok ke bank syari’ah. Sistem bagi hasil yang diterapkan secara tegas menjunjung tinggi nilai keadilan. Hal tersebut sangat erat dengan prinsip kedua dan ketiga bank syari’ah yang menjunjung prinsip keadilan dan kebenaran.
Keadaan Indonesiaku
Carut merut ekonomi bangsa kita ini dipicu oleh banyak faktor. Carut merut ekonomi yang berawal dari runtuhnya masa orde baru berimbas pada menyusutnya lapangan pekerjaan sehingga grafik pengangguran di Indonesia melambung tinggi. Banyak pengusaha-pengusaha yang bangkrut. Karena keadaan ekonomi yang tidak stabil menjadikan banyak jutawan yang tak mampu untuk membeli sepatu.
Permasalahan demikian bertambah panas dengan sistem riba yang populer. Masyarakat yang mempunyai nyali bertaruh nyawa dengan sistem itu. Memang ada beberapa yang berhasil dengan uang pinjaman tersebut tetapi juga tidak jarang kita lihat orang bernyali yang akhirnya dipasung oleh sistem perbankan yang diterapkan oleh bank konvensional ini.
Trauma pun terjadi pada sederet manusia. Trauma tersebut menjadikan rasa hati-hati dan ragu untuk berkembang. Banyak orang yang hanya pasrah dengan pengahasilah yang ibarat untuk makan saja pas-pasan karena mereka tidak mau semakin terpuruk. Kematian obsesi dan ambisi masyarakat tersebut menjadikan faktor utama ketidak inginan mereka untuk berkembang.
Perilaku risk aversion merupakan perilaku yang telah mendarah daging di dalam masyarakat. Banyaknya realita kegagalan membuat masyarakat manganut paham risk aversion yang tidak menyukai adanya resiko. Munculnya bank syari’ah merupakan solusi tepat sebagai pembenahan ekonomi bangsa. Keberadaan bank ini kembali memacu semangat berkembang masyarakat.
Adanya semangat masyarakat untuk berkembang meyakinkan penulis bahwa dengan kontribusi bank syari’ah keadaan ekonomi akan semakin membaik. Semangat berkembang akan berimbas pada bertambahnya lapangan pekerjaan. Dengan bertambahnya lapangan pekerjaan secara otomatis pengangguran yang ada akan semakin menyusut.
Bank syari’ah
Bank syari’ah dengan sistem bagi hasilnya mulai menuju ke titik kepopuleran. Hal tersebut terbukti dengan respon positif masyarakat terhadap sistem bagi hasil. Pilihan opini lain masyarakat tentang sistem perbankan yang lebih baik (better system), masyarakat memilih sistem bagi hasil adalah pilihan yang paling disukai banyak masyarakat. Pada pilihan sistem bagi hasil ini sekitar 59% masyarakat memilihnya. 17% sisanya masyarakat memilih sistem bunga. Kemudian 11% masyarakat tidak berpendapat (Jakarta, Pkes Interactive 16.30 WIB)
Data diatas menunjukan bahwa sistem bagi hasil merupakan sistem yang memiliki keidealan yang lebih dibanding sistem bunga yang selama ini telah digunakan oleh bank konvensional. Dengan resiko yang ditanggu oleh kedua pihak menjadikan semua kalangan tidak berpikir panjang untuk bekerjasama dengan bank.
Seperti yang telah terjadi di pada petani di daerah Tulungagung. Hasil penelitian menunjukkan biaya produksi yang dikeluarkan untuk usahatani padi rata-rata sebesar Rp 4.016.551,61/ha, penerimaan usahatani rata-rata sebesar Rp 8.137.754,84/ha. Selisih dari penerimaan dengan biaya total produksi diperoleh keuntungan usahatani rata-rata sebesar Rp 3.968.582,26/ha dan keuntungan bagi hasil (60 % dari nilai keuntungan bersih usahatani) adalah 1.997.373,87/ha.
Efisiensi usahatani dalam penelitian ini sebesar 1,96 ini berarti usahatani yang dibiayai oleh bank Syari’ah efisien dan layak diusahakan. Kontribusi bank Syari’ah terhadap pendapatan petani padi relatif kecil yaitu 21.14 %, namun demikian mempunyai arti yang besar bagi petani yang membutuhkan.
Pengembangan jaringan dan sosialisasi harus dilakukan
Saat ini memang bank sayri’ah mulai berkembang pesat. Banyak bank syari’ah mulai bermunculan. Bahkan banyak juga instansi keuangan yang semula bersistem konvensional mulai melirik sistem syari’ah. Hal tersebut terbukti dengan adanya bank syari’ah di dalam bank konvesional. Misal Bank  Permata Syari’ah, Bank BNI Syari’ah, BII Syari’ah, Bukopin Syari’ah, Danamon Syari’ah dan Niaga Syari’ah. Tetapi seiring pesatnya perkembangan dan kontribusinya, bank syari’ah masih meninggalkan tanda tanya besar pada banyak kalangan yang mempunyai notabene mempunyai pendidikan rendah dan tinggal di daerah-daerah jauh dari perkotaan. Untuk itu adanya sosialisasi ke daerah-daerah tersebut perlu diadakan. Seiring dengan sosialisasi, perluasan jaringan juga perlu diadakan. hal tersebut bertujuan agar sistem syari’ah mampu mencakup ke segala penjuru. Dengan demikian akselerasi perkembangan dan kontribusi bank syari’ah akan semakin cepat dan nyata di mata segala kalangan.

DAFTAR PUSTAKA

 

14.45 WIB Minggu, 26 Agustus 2007
            14.30 WIB Minggu, 26 Agustus 2007
14.24 WIB Minggu, 26 Agustus 2007
14.49 WIB Selasa, 28 Agustus 2007
http://library.gunadarma.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2003-ulfatilael-54 Peranan Bank Syari’ah Dalam Pemberdayaan Petani Padi ( Studi Kasus di BMT Permata Tulungagung )
14.55 WIB Selasa, 28 Agustus 2007

HARUSKAH ISTRIKU BERKUMIS?


Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendeka kaum ibu
Se-Indonesia
Beranjak dari potongan lagu karangan W.R. Supratman diatas, dapat kita resapi bahwa Kartini merupakan sosok wanita yang sangat diagungkan dan dipuja oleh kaumnya karena perjuangannya. Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Upaya-upaya keras Kartini untuk melepaskan wanita dari diskriminasi telah membuka penglihatan kaumnya di seluruh daerah nusantara. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Potret Tertindasnya Kaum Hawa
Banyak sekali hal yang terjadi selama ini dapat dijadikan sebagai refleksi tertindasnya kaum hawa. Penindasan tersebut terjadi terhadap hak-hak yang dimiliki oleh kaum hawa untuk beraktualisasi diri. Siti Nurbaya, contoh cerita popular yang sangat fenomenal kerena ceritanya disadari merupakan refleksi dari kondisi sosial bangsa kita sendiri. Kisah Siti Nurbaya pun kembali muncul dengan … dan syeh Puji sebagai pemerannya.
 Usia sekolah yang seharusnya menjadi sarana pengembangan diri telah terpasung dengan sumpah mereka di depan penghulu. Siti Nurbaya abad millennium ini memiliki tanggung jawab besar sebagai bunda dalam usian belia yang seharusnya masih mendapat kasih sayang seorang bunda. Tanpa disadari orangtua dari Luthfiana Ulfa yang menerima lamaran Syeh Puji telah menjadi salah satu “eksekutor pancung” terhadap pengembangan diri anaknya.
 “Mereka Bilang Saya Lemah! Mereka Bilang Tanpa Pria, Bisa Apa Saya? ”
            Kata-kata diatas dirasa cukup untuk menggambarkan ratapan kebanyakan wanita. Merasa kecil hati dan beranggapan bahwa dirinya selalu bergantung pada sosok “Adam” dengan segala kedigdayaannya.  Begitu pula anggapan pria dengan segala kedigdayaanya merasa besar hati karena sebagai tulang punggung keluarga dan merasa menjadi satu-satunya penerima wahyu Tuhan sebagai kepala keluarga dan satu-satunya jalan rizki bagi keluarga. Anggapan sempit seorang pria tersebut mencetaknya menjadi seorang ditaktor kejam yang apatis terhadap kebutuhan bidadarinya.
Tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah membawa dampak hebat pada kehidupan seorang wanita. Diskrimanasi terjadi dalam proses perkembangan kaum hawa. “Bocah wadon rasah sekolah duwur-duwur, sesuk dadi tanggungane wong lanang”. Kalimat tersebutlah yang sangat akrab di telinga kita ketika orang tua melarang anak gadisnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kondrat fisik wanita memang lebih lemah dibanding pria, masih ditambah dengan kapasitas ilmu melengkapi anggapan “wanita itu lemah”. Ujungnya saat berkeluarga rutinitasnya hanya memasak, mencuci, merawat rumah, merawat anak, dan harus berpenampilan manis ketika suami pulang dari tugasnya mencari nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Rutinitas itu membawa desakan hebat pada pribadi seorang wanita, bahkan terkadang suami melakukan tidakan kasar pada istri dan istri hanya diam saja karena rasa ketergantungannya dan merasa dirinya sangat lemah.
Kondisi tersebutlah yang lama-kelamaan menyulut kemarahan beberapa kaum hawa atas ketidak adilan perlakuan pada kaumnya. Amarah sedikit orang tersebut membakar seluruh kaum untuk melepaskan diri dari segala diskriminasi sehingga sosok Siti Nurbaya yang dulu biasa menjadi yang sangat tabu. Munculah banyak gerakan emansipasi kaum wanita dengan segala tuntutannya agar dipersejajarkan dan terlepas dari cengkraman kaum pria.
Emansipasi Wanita Indonesia: Kisah Ibu Prof. Dr.  dan Aktifis
            Emansipasi merupakan kata yang selalu terkait dengan nama seorang R.A Kartini. Emansipasi secara umum dipahami sebagai sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat. Seringkali pemahaman itu dipahami secara “mentah” sehingga timbul perilaku-perilaku yang jauh dari kata “wanita seutuhnya”. Coba kita lihat contoh ketimpangan-ketimpangan kasus berikut,
            Kasus pertama, seorang perempuan tengah baya berdiri di atas mimbar di depan kelas, menyampaikan materi kuliah kepada mahasiswanya. Di sampingnya terdapat onggokan buku literatur yang berjubel sebagai landasan apa yang sedang disampaikannya. Buku-buku itu sudah jarang dibuka karena semua yang tertuang dalam buku itu sudah terekam dalam otaknya. Ia seorang dosen, Prof Dr, yang rajin dan cerdas, dan mampu mentransfer ilmu-ilmu berkualitas dengan baik. Penyampaiannya fasih, logis, dan sistematis. Kata mahasiswanya, penyampaiannya ilmiah banget. Tapi sayang, sampai setua itu ia belum berumah tangga.
Kasus kedua, seorang ibu rumah tangga yang mempunyai kegiatan padat pada banyak organisasi. Selain ketua PKK di kampungnya, sekretaris LSM perlindungan wanita dan anak, ketua kumpulan Muslimatan, dan juga sebagai asisten dosen di kampusnya.
Dalam kesibukan seperti itu, seakan sudah biasa, suaminya disuruh mencuci baju, pagi-pagi buta sudah merejang air untuk memandikan anak-anak mereka yang masih kecil, mengganti popok, membedaki dan menemani sampai mereka tenang dan diam. Sang suami pun dapat berbelanja sayur dan lauk serta mencuci beras untuk ditanak demi kebutuhan anak dan istrinya.
Haruskan Istriku Berkumis?
Emansipasi menjadi tanda tanya besar dalam perkembangan tuntutan-tuntutan wanita. Kesejajaran seperti apakah yang diidamkan? Kesejajaran seperti apakah yang ideal? Jika sejajar apakah istri saya harus berkumis seperti saya? Sampai saat ini pertanyaan tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh wanita Indonesia, bahkan dunia.
Kartini memiliki cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat khususnya perempuan yang tidak mendapatkan hak pendidikan juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya.
Pria dan wanita punya karakternya masing-masing, sehingga kesejajaran yang ideal bukanlah kesamaan secara keseluruhan melainkan kesejajaran yang akan membawa keharmonisan hubungan antar kedua jenis manusia. Dalam emansipasinya wanita, Kaum wanita boleh saja berkarya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, tentunya tanpa megabaikan kodrat dan tugasnya sebagai wanita, sebagaimana yang dilakukan oleh panutan mereka, ibu kita Kartini. Wanita harus tetap berada pada posisi kodratnya (4m) yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Kodrat yang pertama menstruasi tidak mungkin bisa ditolaknya, namun ada wanita yang tidak mau hamil berarti dia tidak mungkin juga untuk melahirkan dan menyusui.
Kenali Betul Siapa Anda!
            Wanita harus mampu mengenali betul siapakah dirinya, dalam hal ini adalah kodrat yang telah merekat pada dirinya. Pengenalah diri sangat vital dalam proses perkembangan, jika manusia tidak mampu mengenali dirinya seutuhnya maka akan timbul luapan emosi terhadap suatu tekanan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan visi penyelamatan apa yang mereka perjuangkan.
Dengan pengenalan diri secara utuh akan membawa emansipasi dalam penyelamatan hak-hak kaum hawa secara tepat dan akan membawa keselarasan hubungan antara kaum wanita dan pria. Membawa kehidupan dalam kesejajaran yang mengacu pada koridor-koridor tertentu sehingga keterpenuhan hak antara pria dan wanita pun akan terpenuhi. Bukan hidup dengan kesejajaran mutlak tanpa memperhatikan jati diri sebagai koridor sehingga hasil yang terbentuh adalah kehidupan penuh persaingan dan berujung pada diskriminasi pula.

TERGADAIKANNYA AGAMA DEMI SUATU TAHTA


TERGADAIKANNYA AGAMA DEMI SUATU TAHTA
Oleh: Janu Arlinwibowo

Indonesia merupakan suatu Negara demokrasi yang berlandaskan pada agama. Hal tersebut telihat pada isi Pancasilan sebagai ideologi bangsa yang salah satu pasalnya berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sekilas Potret Perjalanan Perpolitikan Indonesia
Setelah muncul pergeseran perdagangan dari Asia ke arah Tiongkok yang menganut Budhisme, maka kekuasaan di Nusantara merubah agama ‘resminya’ menjadi agama Budha. Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar saat itu menjadikan agama Budha sebagai agama resmi untuk mempermudah hubungan ekonomi politik.
 Sedangkan pada Majapahit yang tengah bangkit, kerajaan ini melihat pentingnya bermain dalam dua ranah, Budhisme dan Hinduisme. Majapahit memunculkan konsep agama ‘Siwa-Budha’ agar dapat melakukan ekspansi perdagangan hingga ke Tiongkok dan India.
Masa ini pun bergeser dengan masuknya agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat. Struktur masyarakat dan ekonomi-politik pun berubah. Setelah ditemukannya sistem irigasi pertanian yang menghindarkan kekeringan dan banjir, masyarakat merasa tidak diperlukan lagi banyak dewa untuk menjaga pertanian. Dan Islam yang monoteistik pun lalu menjadi pilihan mereka. Jelas, perubahan ini erat kaitannya dengan pola produksi yang berlangsung saat itu.
Hingga pada awal kemerdekaan pun sejarah kita pernah pun mencatat perdebatan konstitusional tentang pemasukan kata-kata “syariat Islam” sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Fenomena Perpolitikan Indonesia Saat Ini
Peranan agama dalam ranah perpolitikan Indonesia masih sangat besar. Fenomena tersebut dikarenan penduduk Indonesia umumnya beragama, sehingga agama dianggap paling efektif mempengaruhi massa untuk memperoleh dukungannya kepada partai politik tertentu.
Anggapan bahwa kekuasaan itu bersifat sakral karena dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk mewakili kekuasaan-Nya di dunia masih sangat kuat. Anggapan demikianlah yang mengakibatkan pergulatan untuk memperoleh kekuasaan dan usaha mempertahankannyaseringkali mengatasnamakan agama.
Kecenderungan inilah yang kemudian dimanipulasi dalam tindakan politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan dan politiknya. Akibatnya membela kekuasaan seseorang dianggap sebagai pembela "agama", dan jika mati dalam pembelaan itu dipandang mati "syahid".
Dan saat ini pun atas nama penerapan otonomi daerah, masing-masing daerah berlomba untuk ‘memutlakkan’ keyakinan agama sebagai kaidah publik melalui kebijakan kekuasaan negara. Di beberapa daerah kita bisa melihat perda tentang perlunya membaca al-Quran untuk masuk ke jenjang sekolah lebih tinggi, dll. Padahal justru hal inilah yang akan memudahkan munculnya diskriminasi terhadap agama dan keyakinan tertentu yang dianggap minoritas atau terhadap sebuah kepercayaan yang tidak diakui negara. Nilai-nilai atau keyakinan luar jadi dicurigai, dibatasi dan bahkan diberikan ‘label’ tertentu. Seperti pengakuan negara ini terhadap hanya lima agama resmi. Dan dari label ‘resmi’ inilah, lalu ada pembatasan, pelabelan dan kecurigaan.

Politik Identitas
Politik identitas (dengan menggunakan simbol-simbol primordial) sebetulnya dapat ditemukan di hampir semua masyarakat klasik, pertengahan, dan modern. Simbol-simbol seperti etnisitas, ras, agama, dan jender, menjadi senjata ampuh bagi suatu perjuangan mencari tujuan tertentu. Namun, identitas harus dipahami sebagai tidak statik, tidak natural. Pada suatu saat, seseorang atau kelompok tertentu menggunakan identitas tertentu, tetapi pada saat lain, dalam konteks berbeda, ia atau kelompok itu menggunakan identitas berbeda.
Identitas adalah alami dalam tiap komunitas manusia. Dalam sejarah tidak pernah ditemukan kelompok manusia yang tidak memiliki identitas. Mereka yang tidak beragama pun memiliki identitas. Mereka yang tidak menjadi anggota partai politik juga memiliki identitas. Identitas itu tidak dengan otomatis berbahaya. Yang berbahaya, saat identitas digunakan secara eksklusif untuk menegasikan identitas-identitas yang lain dengan cara-cara yang anti-persamaan dan keadilan.
Peranan agama dalam ranah perpolitikan Indonesia masih sangat besar. Fenomena tersebut dikarenan penduduk Indonesia umumnya beragama, sehingga agama dianggap paling efektif mempengaruhi massa untuk memperoleh dukungannya kepada partai politik tertentu.
Anggapan bahwa kekuasaan itu bersifat sakral karena dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk mewakili kekuasaan-Nya di dunia masih sangat kuat. Anggapan demikianlah yang mengakibatkan pergulatan untuk memperoleh kekuasaan dan usaha mempertahankannyaseringkali mengatasnamakan agama.
Kecenderungan inilah yang kemudian dimanipulasi dalam tindakan politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan dan politiknya. Akibatnya membela kekuasaan seseorang dianggap sebagai pembela "agama", dan jika mati dalam pembelaan itu dipandang mati "syahid".
           
Tinjauan Terhadap Pengemasan Perpolitikan
Umumnya pada masyarakat-masyarakat beragama, partai politik menjadi salah satu kendaraan kelompok-kelompok agama untuk mencapai tujuan dan kepentingan tertentu. Orang sering memperdebatkan ungkapan retoris: apakah "agama untuk politik", atau "politik untuk agama".
Yang pertama, menurut sementara orang, cenderung merendahkan posisi agama, karena politik sebagai tujuan, agama dijadikan alat. Yang kedua (politik untuk agama), seolah tampak lebih luhur, karena mereka anggap, agama tetap luhur, sementara politiklah yang merupakan alat.
Kedua frase itu sebetulnya problematik, karena itu perlu dihindari dalam konteks berpolitik yang sehat. "Agama untuk politik" bisa mengambil contoh partai-partai politik yang menggunakan teks-teks, idiom-idiom, simbol-simbol, atau ajaran-ajaran agama dengan memaksakannya seolah teks-teks itu mendukung posisi politik yang telah diambil partai bersangkutan. Agama menjadi kemasan, sementara isinya kepentingan politik.
"Politik untuk agama", meski seolah agama menjadi panglima atau tujuan, memiliki bahaya yang tidak sedikit terhadap kehidupan demokrasi yang sehat. Ketika "agama" menjadi tujuan itu sendiri, agama menggantikan Tuhan, menggantikan Yang Absolut. Jika politik dimaknai sebagai perjuangan, politik yang bertujuan agama, mengandung implikasi semacam perjuangan demi Tuhan
Masalahnya tidak persis terletak di sini, sebab tiap agama mengajarkan "perjuangan menuju Tuhan". Masalahnya bagi demokrasi adalah saat hanya Tuhan menurut konsepnya sajalah yang paling benar dan absolut, sementara konsep Tuhan yang lain tidak benar, karena itu harus ditentang.
Integrasi simbolistik agama dan politik cenderung mengakibatkan keyakinan absolutis semacam ini. Problemnya menjadi lebih besar saat integrasi politik dan agama mengambil bentuk pemaksaan terhadap kelompok lain (yang bisa jadi menganut integrasi politik dan agama atau bisa jadi menganut pemisahan politik dan agama).
Akibatnya, diskriminasi berdasar identitas. Manusia dilihat, dinilai, dan diperlakukan berdasar apakah ia berasal dari kelompok agama atau kelompok identitasnya atau bukan. Jika bukan, pemaksaan, diskriminasi dan ketidakadilan terjadi. Persoalan lain muncul saat kelompok-kelompok lain juga menggunakan identitas mereka untuk menangkal pemaksaan itu. Eksklusivisme cenderung melahirkan eksklusivisme lain.

Pengkambing Hitaman Agama
Identitas agama pada suatu perkumpulan membuat mau tidak mau pengikutnya harus selalu setia dan rela berkorban untuk apa saja yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan pembelaan terhadap sebuah kelompok itupun disejajarkan dengan pembelaan sebuah agama.
Ironis memang, dalam kehidupan sebuah bangsa ini terdominasi oleh masyarakat dengan jiwa primordialis. Penulis tercengang ketika dalam suatu pemikiran masyarakat kepentingan ”umat” jauh lebih penting dibandingkan kepentingan ”masyarakat”.
Fenomena itupun tercium oleh banyak insan cerdik dan licik. Pengatasnamaan agama menjadi potensi besar untuk merenggut simpati dari masyarat. Bahkan  esok hari ketika terjadi kesalahan pun pengikut belum tentu akan berani untuk menggugat.
Mungkin menyakitkan melihat praktik keagamaan dan kekuasaan menyumbang pemiskinan (proletarisasi), selain kesenjangan moral pemimpin dengan rakyat. Ketika rakyat jatuh miskin dan mati kelaparan, pemimpin sibuk dengan kuasa dan surganya sendiri.
Kemiskinan dan kebodohan kemudian menjadi komoditas pahala dan kekuasaan politik. Dalil kaadal faqru an yakuuna kufran (kefakiran penanda kekafiran) yang disalahartikan menjadi legitimasi pembiaran proleratisasi. Semakin saleh seseorang atau masyarakat, cenderung semakin tak peduli problem kemanusiaan otentik. Janji-janji kampanye segera dilupakan begitu pemimpin ditahbiskan sebagai wakil rakyat.
Sungguh sangat terasa saat ini bahwa ”orang-orang besar” yang haus akan kekuasaan menjadikan masyarakat dengan pemahaman agama sempit dan memiliki jiwa primordial tinggi sebagai jalan pintas. Meskipun ”obsesi jahat” terlihat akan tetapi pengikut tidak akan memperdulikannya karena tertutup oleh identitas agama yang notabene mempunyai nilai keagungan dan kemutlakan.

Wahai Masyarakat, Pahamilah Apa Itu Agama
Pada hakikatnya agama adalah jalan hidup menuju Tuhan dan Tuhan yang menjadi tujuan dan yang menciptakan hidup, manusia, dan agama itu adalah Tuhan yang satu pula. Bisa saja masing-masing agama menyebut-Nya berbeda, baik istilah, bahasa maupun nama-Nya. Akan tetapi, bukan berarti perbedaan istilah, bahasa dan nama itu menegaskan adanya banyak Tuhan.
Keharmonisan dan keselarasan alam semesta menandakan hanya Ada Satu Penciptanya dan tidak dua, apalagi banyak jika ada banyak Tuhan, pastilah alam semesta ini akan mengalami kekacauan dan kerusakan, karena masing-masing Tuhan mempunyai kehendak dan kuasa-Nya sendiri-sendiri.
Jika agama hanya dipahami sebagai sesuatu yang ‘mutlak’ karena masuk dalam dunia sakral, abadi, dan samawi, maka agama itu akan cenderung berbenturan dengan nilai-nilai yang tidak masuk atau bahkan tidak sesuai dengan nilai agama itu. Dia akan menjadi mesin perusak nila-nilai tersebut atas nama kemutlakan itu. Tidak peduli apakah agama atau kepercayaan tersebut didukung mayoritas atau pihak minoritas.
Berbeda jika kita memahami agama atau kepercayaan sebagai nilai, bila terjadi benturan nilai dengan nilai yang lain justru akan menjadi mesin yang akan memproduksi sikap/nilai saling menghargai, toleran dan saling mendukung
Pandangan bahwa agama datang dari Tuhan tentu saja tidak salah dan tidak bisa disalahkan. Namun pandangan demikian, tidak boleh mengabaikan kenyataan, agama diberikan Tuhan untuk manusia. Agama untuk manusia bukan manusia untuk agama. Agama untuk membela nasib manusia dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, bukan manusia untuk agama atau membela agama. Jika kita meyakini, agama adalah dari Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjaga dan membelanya. Ini berarti, realitas manusia harus dilihat sebagai pra-syarat untuk memahami dan merealisasikan setiap ajaran agama dalam kehidupannya.
Banyaknya agama sebagaimana banyak pemahaman dan pemikiran tentang agama adalah kehendak dari Yang Satu, dan telah menjadi kodrat dari kehidupan itu sendiri, atau sunnatullah, dan harus diterima sebagai realitas apa adanya, dan kita pun tidak bisa dan tidak boleh menolaknya. Mau tidak mau kita harus menerima pluralitas agama itu, sebagai pengayaan spiritualitas keagamaan kita sendiri, dan ini berarti, penolakan atas pluralitas agama sebagai pemiskinan spiritualitas keagamaan kita sendiri pula.
Kita perlu menegaskan adanya pluralitas agama dalam kesatuan spiritualitas, yaitu menjadi berbagai jalan menuju satu Tuhan. Banyak jalan dan satu tujuan. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un, "sesungguhnya kita semua milik Allah dan sesungguhnya kita semua akan kembali kepada-Nya". Karena itu, adanya klaim kebenaran mutlak suatu agama oleh seseorang harus diberlakukan secara internal, bukan eksternal, yaitu berlaku untuk dan terhadap diri sendiri saja, bukan untuk dan bagi orang lain.

Mari Realisasikan “Bhinneka Tunggal Ika” Demi Masa Depan Bangsa
Atom merupakan bagian terkecil dari suatu zat. Jika kita telaah lebih lanjut maka si kecil ini akan mempunyai keunikan yang sesungguhnya mampu dijadikan sebagai teladan. Menurut teori yang pada awalnya diutarakan oleh Rutherford atom tardiri dari proton (muatan positif) dan netron (muatan netral) pada inti dan dikelilingi oleh elektron (muatan negatif).
Dengan komposisi tiga muatan berbeda atom mampu menjelma menjadi sesuatu yang sangat ideal dan sulit tergoyahkan. Melihat fenomena tersebut coba kita bayangkan atom itu adalah Indonesia. Jika mampu meneladani atom, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat Indonesia mampu menjelma menjadi suatu negara hebat dengan tingkat kesejahteraan yang lebih karena persatuan merupakan senjata paling dahsyat yang mampu manjunjung ketika negara terpuruk dan mempertahankan ketika negara berjaya.
Jika diterapkan pada suatu negara, daya ikat atom adalah saling menghargai, toleran dan saling mendukung seperti yang sudah dijelaskan pada uraian di atas. Jadi dalam pemahaman suatu kepercayaan kita harus mengurangi jiwa idealis dan menumbuhkan sikap realistis bahwa negara kita memiliki keberagaman. Jika hal tersebut telah terpenuhi cita-cita bangsa yang terurai dalam kata-kata mutiara yang dibawa Sang Garuda akan terealisasi.






















DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhamad. Kemasan Agama demi Kekuasaan. Diakses di http://www2.kompas.com/. Pada tanggal 18 Desember 2008 pukul 19.45 WIB

Asy'arie, Musa. 2001. Agama dan Pergeseran Politik Kekuasaan. Diakses di http://www2.kompas.com/. Pada tanggal 18 Desember 2008 pukul 19.15 WIB

Mulkhan, Abdul Munir. 2006. Pemiskinan Kekuasaan dan Agama . Diakses  di http://community.siutao.com/. Pada tanggal 18 Desember 2008 pukul 19.00 WIB

Matroji. 2000. IPS Sejarah SLTP Jilid 1 untuk SLTP Kelas 1. Jakarta: Erlangga

Wimono, Jaka dkk. 2004. Kimia dan Kecakapan Hidup untuk Kelas 1 SMA. Jakarta: Ganeca Exact