Social Icons

Pages

Sabtu, 31 Desember 2011

MENGUAK POROS POTENSIAL PENGEMBANGAN INTELEKTUAL TUNANETRA (Optimalisasi Industri Selular sebagai Pendamai Tunanetra dengan Kegelapan)

Oleh : Janu Arlinwibowo

“Jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 3,5 Juta orang atau 1,5% dari populasi penduduk” Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2008

Kutipan data di atas menjadi refleksi dari keadaan tunanetra di Indonesia. Proporsinya yang besar dari keseluruhan total penduduk menjadikan masalah ini ada dalam perhatian khusus. Alhasil masih banyak tunanetra yang gagal mengoptimalkan potensi diri sehingga dalam kehidupannya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain. Dengan sedemikian banyak jumlah tunanetra, komponen pendidikan menyadari bahwa tunanetra pun harus diupayakan pengembangan intelektualnya agar dapat menjadi insan yang produktif.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka membangun pondasi konsep education for all melalui landasan hukum pun sangat kuat. Hal tersebut nampak dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa “setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan”. Landasan hukum tersebut dipertegas dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 bagian ke-11 pasal 32 yang menyebutkan bahwa, pemerintah menyediakan layanan pendidikan Khusus. Secara rinci undang-undang tersebut berbunyi, “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.

Sumber Informasi dan Komunikasi Tunanetra
Indera pengelihatan merupakan indera penangkap informasi dengan
proporsi yang paling tinggi dibandingkan dengan keempat indera lainnya, yaitu 83%
(Juang Sunanto, 2005:47).
Proporsi indera pengelihatan yang sangat tinggi dalam menangkap informasi itulah yang disinyalir menimbulkan hambatan besar dalam pengembangan intelektual tunanetra. Optimalisasi indera normal lain menjadi satu-satunya cara dalam mengembangkan potensi seorang tunanetra. Walaupun pada umumnya tunanetra memiliki kepekaan di atas rata-rata, namun budaya intelektual telah mendesain mayoritas sumber informasi menjadi berbasis pada simbol visual sehingga tunanetra tidak dapat mengakses informasi dengan leluasa.
Mengacu pada masalah tersebut, tercipta sistem tulisan untuk tunanetra, sistem huruf Braille. Sistem tulisan ini muncul sebagai tulisan yang berbasis pada indera peraba, bukan seperti sistem tulisan lain yang berbasis pada indera pengelihatan. Dengan adanya sistem ini, diharapkan ruang informasi untuk tunanetra semakin luas. Keberadaan sistem huruf Braille diharapkan dapat membantu tunanetra dalam mendokumentasikan informasi dan berkomunikasi dengan tunanetra lain tanpa harus melakukan kontak langsung.
Dalam realitanya, pemanfaatan huruf Braille masih sangat minim. Dalam artian bahwa bahan ajar yang dikemas baru terbatas pada buku-buku pokok. Bahkan jika ditinjau dari segi kelengkapan masih terdapat kesenjangan dengan fasilitas buku-buku untuk orang awas. Salah satu penyebabnya adalah adanya cost yang tinggi dalam produksi huruf Braille dengan tingat keawetan yang rendah pula.
Untuk menjawab masalah tersebut, tercipta sebuah sarana komunikasi dan informasi berbasis verbal yaitu tape recorder. Pemanfaatan tape recorder oleh tunanetra adalah untuk mempermudah pembelajaran dan proses interaksi dengan merekam dan memutar ulang rekaman informasi. Dalam perkembangannya, banyak dibuat cerita-cerita dan buku pelajaran yang dikemas secara verbal. Walaupun masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan keleluasaan orang awas, adanya sistem informasi berbasis voice dan Braille menjadikan tunanetra lebih leluasa dalam mengakses informasi.
Dari penyempurnaan-penyempurnaan yang terus dilakukan, terdapat suatu permasalahan yang belum terpecahkan, yaitu tunanetra tidak dapat memperoleh berita up to date seperti layaknya orang awas karena tidak ada media massa yang menerbitkan berita dengan huruf braille dan voice.




Teknologi Komunikasi Sebagai Sarana Infomasi yang Semakin Nyaman untuk Tunanetra
Dalam satu dekade terakhir, perkembangan teknologi informasi melebihi akselerasi yang dibayangkan. Internet, satu kata yang mampu membuat dunia serasa ada di depan mata. Saat ini internet dapat dikatakan sebagai salah satu sumber informasi utama, ungkapan tersebut diperkuat dengan adanya data  yang berasal dari www.internetworldstats.com pengguna internet di Indonesia mencapai 30 juta jiwa, atau 12,3 % dari populasi di Indonesia di tahun 2010. Seiring dengan populernya internet, arus  informasi tidak lagi dominan melalui media cetak. Bahkan popularitas antara media online dan media cetak bisa dikatakan seimbang.
Keunggulan yang dimiliki media online adalah kecepatannya dalam menayangkan info-info terkini dan aksesnya sangat mudah. Jika dipandang dari segi finansial, media online lebih bisa dijangkau dibandingkan media lain. Menanggapi hal tersebut, mayoritas industri media cetak juga mengonlinekan berita-berita yang ada. Tujuannya adalah sebagai media promosi untuk menjaga potensi pasar agar tetap stabil. Alhasil dalam perkembangannya hampir semua informasi dapat diakses memalui internet.
Meninjau potensi perkembangan dunia internet, ditemukan banyak pengembangan software yang compatible untuk digunakan tunanetra. Software pembaca layar tersebut dikenal dengan nama software screen reader. Prinsip kerja software ini adalah membaca tulisan dan obyek  yang ada dilayar monitor lalu  ditransfer ke bentuk suara menjadi semacam 'mata telinga'. Dengan demikian, tunanetra bisa mendengar semua yang ada dilayar, baik berupa tulisan, icon maupun simbol-simbol lainnya.
Dengan berbekal komputer atau ponsel yang telah dilengkapi screen reader maka setiap tunanetra dapat mengakses informasi yang ada di internet layaknya orang awas. Lebih dari itu, mereka juga dapat menulis dan berkreasi dalam web ataupun blog.
Fenomena saat ini, sudah banyak tunanetra yang memiliki akun jejaring sosial seperti facebook, tweeter dan sebagainya. Manfaatnya jelas luar biasa, tunanetra dapat merapatkan jarak dengan tunanetra yang lain sehingga dapat saling bertukar informasi.




Teknologi Komunikasi dan Kondisi Finansial

Jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 32,53 Juta atau 14,15%
dari jumlah penduduk Indonesia
(Badan Pusat Statistik, Maret 2009)
Data jumlah penduduk miskin di Indonesia menunjukan bahwa daya beli masyarakat masih tergolong rendah. Dalam kondisi kesejahteraan seperti ini, sandang, pangan, dan papan menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, tidak jarang muncul celotohan “untuk makan saja susah, kok mau beli buku”.
Kondisi ini pun dapat menjadi cerminan kemampuan finansial tunanetra karena populasi tunanetra heterogen jika dipandang dari kemampuan finansialnya. Sayangnya, proporsi tunanetra dengan ekonomi lemah cukup tinggi, kurang lebih setara dengan kondisi data general yang dirilis oleh BPS di atas. Dapat disimpulkan pula bahwa masih banyak tunanetra yang tidak memiliki kemampuan untuk melengkapi fasilitas informasinya.
Untuk membeli suatu PC atau laptop beserta modem seseorang harus mengeluarkan biaya minimal dua juta lima ratus ribu rupiah. Jumlah tersebut tentu bukan merupakan rupiah yang bersahabat dengan kondisi masyarakat, khususnya tunanetra. Solusi lain yang lebih bersahabat adalah ponsel, beberapa ponsel keluaran lama yang sudah dilengkapi dengan OS Symbian 60 sudah support dengan software screen reader. Dipandang dari segi harga pun relatif lebih terjangkau, yaitu dengan uang lima ratus ribu sudah mendapatkan ponsel tersebut.
Namun, sekecil apapun rupiah, jika kondisi finansial keluarga dalam kategori lemah maka akan sangat sulit untuk membeli ponsel, apalagi PC atau laptop. Ditambah dengan pambiayaan pulsa yang relatif mahal untuk kondisi ekonomi yang lemah. Dilema ini membuat fasilitas teknologi yang sangat compatible tidak berfungsi secara optimal karena tidak mampu menjangkau seluruh lapisan sasaran.

Tunanetra Unproductive, Bencana Bangsa
Nasib bangsa berbanding lurus dengan kualitas masyarakatnya. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah formula tunggal untuk menciptakan bangsa yang berkualitas. Formula tersebut sudah merupakan rahasia umum. Akan tetapi, bukti yang ada menunjukan bahwa kondisi masyarakat Indonesia masih jauh dari cakupan rumus bangsa maju. Secara individual, Indonesia memang telah berhasil mendulang prestasi, akan tetapi jika dipandang secara keseluruhan, kondisi masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dari bangsa-bangsa maju.
Berbicara mengenai kualitas masyarakat, dapat kita cermati dari preferensi konsumen. Iklim yang berkembang saat ini menjadikan masyarakat Indonesia semakin konsumtif dengan menggantungkan kebutuhan pada produk-produk luar negeri. Alasannya adalah citra produk luar negeri memiliki kualitas yang lebih unggul. Namun di balik itu, masalah yang lebih mendasar adalah tingkat produktifitas yang masih rendah. Dampaknya adalah adanya kecenderungan impor dalam skala pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena tidak ada produksi yang menunjang.
Mengerucut pada masalah tunanetra sebagai orang dengan kebutuhan khusus. Pertanyaan mendasar, apakah mereka harus menjadi insan produktif? Ataukah cukup menjadi insan konsumtif saja? Jawabannya jelas, tunanetra pun harus berkembang menjadi insan yang produktif. Alasannya adalah jumlah tunanetra di Indonesia sangat banyak, yaitu 1,5% dari keseluruhan jumlah penduduk. Merujuk pada persentase jumlah, jika tunanetra hanya tumbuh menjadi insan konsumtif maka akan membahayakan dirinya sendiri dan perkembangan bangsa.
Dapat dibayangkan jika tunanetra menjadi sosok yang terlena dengan keterbatasannya, mereka akan tumbuh menjadi sosok yang tidak mandiri. Padahal kemandirian merupakan salah satu komponen vital dalam kehidupan manusia. Jika kondisi seperti itu dibiarkan berkembang maka akan banyak sekali tenaga potensial yang terbuang.
Tumbuh menjadi manusia terdidik yang produktif adalah syarat mutlak bagi tunanetra. Fungsinya adalah agar tunanetra dapat mengembangkan segala potensinya. Potensi minimal adalah pemikiran-pemikiran untuk mengembangakan dunia pendidikan tunanetra di mana mereka mampu mengidentifikasi secara detail dengan memberikan gagasan-gagasan yang relevan. Konklusinya bahwa di balik keterbatasan, tunanetra memiliki potensi-potensi yang dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan bangsa. Oleh karena itu, jika tunanetra dibiarkan berkembang menjadi insan unproductive maka negara ini akan sangat merugi.

Tunanetra dan Pertumbuhan Ekonomi
Teori human capital mendefinisikan manusia sebagai salah satu bentuk barang modal yang memegang fungsi strategis dalam memajukan sebuah bangsa. Tak hanya berlaku untuk orang awas, hal itu sekaligus menjadi tantangan bagi tunanetra sebagian bagian integral dari seluruh tatanan kehidupan masyarakat.
Pada tahun 2008, Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 3,5 Juta orang atau 1,5% dari populasi penduduk.
Jumlah tunanetra yang besar ini menjadi hal yang dilematis, di satu sisi hal tersebut dapat menjadi potensi untuk menjadi motivator dan inspirator dalam berbagai segi kehidupan. Namun, di sisi lain kerentanan yang dimiliki berpotensi besar memposisikan tunanetra pada akses yang terbatas, termasuk di dalamnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perhitungan kasar dari Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) memaparkan bahwa penyandang cacat yang sudah bekerja di sektor informal hanya 0,001 persen saja atau jumlahnya hanya sekitar 300 orang dari keseluruhan total jumlah penduduk. Adanya fakta ini semakin menjadi penguat bahwa sebagian besar warga negara penyandang tunanetra masih berada dalam tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, dengan akses yang terbatas ke bidang pendidikan dan juga pekerjaan baik sektor formal maupun non formal.
Sangat miris sekali, apalagi jika disandingkan dengan kondisi pengangguran yang ada di Indonesia secara umum. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menyampaikan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2011 mencapai 6,8% dari total angkatan kerja atau sekitar 8,12 juta orang. Kondisi ini tentu akan mempunyai dampak bagi keberlangsungan bangsa Indonesia ke depan dan daya saingnya di kancah internasional.
Berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi, tunanetra pun punya andil yang sama dengan orang awas pada umumnya. Mereka merupakan bagian dari faktor produksi asli yang akan menentukan tingkat kenaikan output dan konsumsi agregat yang muaranya akan berdampak pada kenaikan Gross Domestic Product yang merupakan salah satu indikasi adanya pertumbuhan ekonomi. Apabila dicermati lebih jauh, sebagain besar tunanetra ada dalam angkatan kerja aktif  yaitu antara usia 16 sampai dengan 64 tahun, yang mengandung implikasi bahwa tingkat produktivitas masih tinggi untuk ikut andil dalam menyokong kegiatan produksi. Delineasi mengenai komposisi tunanetra dalam angkatan kerja dapat diamati pada tabel berikut:



Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tunanetra Antara Usia 16 Sampai 64 Tahun 2010


Sumber : Departemen Sosial (dengan pengolahan)

Dari data di atas dapat diamati bahwa angka partisipasi kerja tunanetra hampir mengalami kenaikan tiap triwulan. Tingkat partisipasi kerja merupakan rasio antara angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja termasuk di alamnya tunanetra untuk masuk dalam bursa kerja. Pada kenyataannya, hal itu berbanding lurus dengan tingkat pengangguran yang ada, jumlah pengangguran tunanetra meningkat seiring dengan bertambahnya kuantitas usia kerja. Bukan posisi yang membanggakan karena idealnya kenaikan angka partisipasi kerja harus diimbangi dengan penurunan tingkat pengangguran tunanetra.
Seperti yang diketahui bersama bahwa siklus produktivitas akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Menyorot pada tunanetra, apabila di usia produktif mereka masih belum mature dalam kemandirian, sama halnya akan menyumbang dalam deretan pengangguran. Jika hal ini tidak ditangani melalui sinkronisasi stimulus-stimulus pendukung berupa peningkatan skill, maka akan berdampak langsung pada terbentuknya vicious circle of unemployment yang muaranya akan menambah beban biaya sosial pemerintah dan menimbulkan keterlambatan ekonomi.
Berpartisipasi dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia tunanetra, berarti telah berperan membentuk tunanetra menjadi asset masyarakat, dan bukan sebaliknya menjadi beban masyarakat. Potensi besar tunanetra yang selama ini dimarginalkan harus diangkat ke permukaan melalui pelibatan aktif dalam berbagai kegiatan. Agar kelak terwujud satuan tunanetra yang bisa berdiri mandiri dalam keterbatasan dan berperan dalam pembangunan.

“Perusahaan Selular”  Poros Pengembang Intelektual
Keberhasilan adalah hak setiap manusia,
Tidak terkecuali tunanetra, mereka punya hak yang sama

Melihat krusialitas pengembangan potensi tunanetra, seluruh lapisan masyarakat bertanggung jawab atas segala usaha. Orang dengan idera sehat yang lengkap memiliki tekanan tinggi untuk memberikan fasilitas-fasilitas pada tunanetra. Keterbatasan pengelihatan membuat tunanetra tidak leluasa dalam berinovasi dan memproduksi alat bantu yang memudahkannya dalam memecahkan masalah sehari-hari. Ketidakberhasilan orang awas adalah mutlak kesalahannya, akan tetapi ketidakberhasilan tunanetra dalam mengembangkan potensi karena keterbatasan media pendukung adalah tanggung jawab kita sebagai orang awas.
Pengembangan teknologi hingga mencapai tingkat yang paling nyaman digunakan oleh tunanetra bukan merupakan masalah. Merujuk pada akselerasi perkembangan teknologi saat ini, segala sesuatu yang dibutuhkan berkaitan dengan pengembangan perangkat bisa diusahakan. Inti masalah justru ada pada kondisi finansial, penentu apakah tunanetra dapat memanfaatkan segala buah dari perkembangan teknologi.
Berkonsetrasi terhadap potensi internet sebagai poros pengembangan wawasan tunanetra, dapat diambil kesimpulan bahwa industri selular memiliki peran fundamen. Seyogyanya perusahaan selular membuat program-program terobosan yang dapat mendukung kegiatan belajar tunanetra.

Ponsel, Media Pendidikan Tunanetra
Untuk siswa awas, peran ponsel mungkin masih jauh dari nilai edukasi akan tetapi untuk tunanetra peran ponsel dapat dimaksimalkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, ponsel dapat berperan sebagai media pendidikan tunanetra. Ponsel dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran formal di kelas sehingga informasi-informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber yang mendukung.
Nampak ironis memang, ketika di lingkup sekolah biasa ponsel dilarang digunakan, dipandang sebagai media pengganggu proses belajar, akan tetapi ponsel inilah media paling ringkas dan terjangkau untuk dimanfaatkan oleh tunanetra. Untuk siswa awas, seringkali siswa mencuri-curi untuk bermain ponsel pada jam belajar. Hal tersebut dapat dilakukan karena terdapat menu silent sehingga guru tidak akan mengetahui aktifitas tersebut. Untuk tunanetra kasus seperti yang terjadi pada siswa awas 0% untuk dapat terjadi karena siswa tunanetra tidak dapat membaca tanpa suara.

Strategi Perusahaan Selular Sebagai Sahabat Tunanetra
Strategi untuk memaksimalkan proses pendidikan tunanetra adalah dengan terobosan-terobosan bermakna dari industri selular. Terobosan harus dilakukan dengan memperhatikan dua asas yaitu, ketepatan dan kebermanfaatan. Ketepatan yang berarti bahwa program yang didedikasikan untuk tunanetra benar-benar terdistribusi untuk keperluan tunanetra. Kebermanfaatan berarti bahwa program terobosan harus memberikan manfaat, bukan condong kepada perilaku konsumtif diluar kepentingan edukasi.


Agar tujuan tercapai dengan tepat maka diadakan proses perekrutan yang detail dan selektif. Adapun alur proses bantuan adalah sebagai berikut,


Gambar 1. Bagan Alur Bantuan Telekomunikasi Untuk Tunanetra

Proses perekrutan dimulai dengan pendaftaran. Pada tahap pendaftaran tidak berasas pada “siapa yang butuh bantuan” melainkan pihak pemberi bantuan aktif menjemput bola. Untuk mengoptimalkan kerja, pihak pemberi bantuan melakukan kerjasama dengan sekolah dan organisasi terkait. Setelah proses publikasi dilakukan seleksi administrasi dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan, apakah pendaftaran memenuhi persyaratan. Dilakukan identifikasi kondisi siswa yang bertujuan untuk mengkroscek data yang masuk dengan kondisi asli dari pendaftar.
Setelah peserta dinyatakan lolos, siswa diharuskan menempuh tes seleksi yang materi dan ketentuan kelulusan mengacu pada kriteria. Siswa yang memenuhi kriteria akan diberikan hak nya. Dalam beberapa periode akan dilakukan monitoring untuk mengetahui kebermanfaatan bantuan. Proses ini dilakukan bekerjasama dengan sekolah tempat pendapat bantuan bersekolah. Hasil monitoring diolah dan diarsipkan. Pada akhir tahun data hasil monitoring di analisis untuk menentukan keberlanjutan bantuan. Atas hasil analisis tersebut pemberi bantuan mengeluarkan kebijakan mengenai keberlanjutan bantuan.
Program terobosan adalah dengan memberikan bantuan berupa keperluan komunikasi. Bantuan terbagi atas tiga kategori, adapun kategori terpapar dalam bagan dibawah ini,


Gambar 2. Gambar Bagan Jenis Bantuan Telekomunikasi Tunanetra

Adapun penjelasan dari setiap kategori adalah, pertama kategori bantuan siswa tidak mampu. Kategori pertama memiliki sasaran siswa tunanetra dengan kemampuan finansial lemah. Kriteria kondisi finansial tidak mutlak menjadi penentu, dalam proses pemilihan semangat dan prestasi belajar juga menjadi prioritas utama. Dalam katogori ini siswa akan diberikan bantuan handphone dengan dilengkapi screen reader beserta pulsa. Pulsa diberikan secara berkala dengan kuota yang telah ditentukan oleh pihak operator.
Kedua adalah kategori bantuan siswa berprestasi. Bantuan kedua menitik beratkan pada penghargaan kepada siswa tunanetra yang memiliki kemampuan finansial baik dan juga prestasi akademiknya mendapatkan predikat istimewa. Kategori kedua diberikan bantuan pulsa secara berkala dengan kuota yang telah ditentukan oleh operator.
Kategori ketiga adalah bantuan studi perguruan tinggi. Kategori ini membidik siswa tunanetra dengan kemampuan akademik baik dan berkeinginan meneruskan studi di perguruan tinggi. Dalam kategori ini, pemeroleh bantuan akan diberikan laptop dan modem. Pemberian, mempertimbangkan pada keperluan update informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Selain itu, penerima bantuan juga akan diberikan bantuan pulsa secara berkala dengan kuota yang telah ditentukan oleh operator untuk mengaktifkan modemnya. Kategori terakhir diharapkan mampu menjadi stimulus lebih banyak lagi siswa tunanetra yang meneruskan sekolah ke jenjang perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Data Statistik Pengguna Internet di Indonesia hingga tahun 2010. Diunduh dari http://punyaku.web.id/data-statistik-pengguna-internet-di-Indonesia-hingga-tahun-2010.html pada tanggal 16 Desember 2011
Anonim. 2011. Tuna netra menggunakan Komputer dan membaca SMS. Diunduh dari http://prestasikita.com/index.php?option=com_content&task=view &id= 39&Itemid=2 pada tanggal 16 Desember 2011
BPS. 2009. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, Maret 2009 . Diunduh dari http://www.bps.go.id/tab_sub/ view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=3 pada tanggal 17 Desember 2011

Djunaedi. 2010. Tahun 2020 Jumlah Tunanetra Dunia Menjadi 2x Lipat. Diunduh dari http://rehsos.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid= 1077   pada tanggal 29 Desember 2011

Sunanto, Juang. 2005. Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Pengelihatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

El Hida, Ramdhania. 2011. Jumlah Pengangguran di Indonesia Tersisa 8,12 Juta Orang. Diunduh dari http://finance.detik.com/read/2011/05/05/124514/16 33086/4/jumlah-pengangguran-di-Indonesia-tersisa-812-juta-orang?f99010 1mainnews pada tanggal 29 Desember 2011






Tidak ada komentar:

Posting Komentar