Social Icons

Pages

Jumat, 31 Juli 2015

Perpanjang STNK mudah, cepat dan tanpa calo

Sahabat sekalian tentu sudah akrab dengan perpanjangan STNK. Pada umumnya kita mengandalkan calo karena merasa irokrasi begitu rumit. Namun saya mencoba untuk mengurusnya secara mandiri dan hasilnya wow. Kurang lebih 30 menit semua beres dengan membayar sesuai ketentuan. Tanpa plus 20-40 ribu untuk calo. Berikut sekilas proses yang saya dokumenkan,


Mengatasi print spooler eror

Masalah mencetak menggunakan printer di Windows bisa disebabkan berbagai macam hal, kalau kerusakan hardware maka anda harus memperbaikinya atau menggantinya yang baru. Tapi kalau masalah yang terjadi dikarenakan Windows maka anda bisa mencoba solusi sebagai berikut.


Tutorial Ms.Word (Bookmark, page number dan daftar isi)

Bagi teman-teman yang kesulitan saat diminta memformat file word dalam suatu bookmark dan membuat berbagai aturan pagenumber dalam satu file atau kesulitan membuat daftar isi secara praktis bisa lihat tutorial di bawah ini. Biasanya kondisi tersebut dialami oleh mahasiswa semester akhir yang sedang mengerjakan skripsi, tesis, dll. Pada umumnya saat ini universitas meminta softfile dengan format demikian.

Mengatur page number

 


Membuat daftar isi otomatis rapi dengan "tab"



Membuat bookmark pada ms.word. Mohon diperhatikan misal teman-teman membuat bookmark dengan heading pada BAB perlu menekan sift+enter. Misal teman-teman blog "BAB I PENDAHULUAN" kemudian klik heading lalu letakan kursor di belakang huruf P dan "sift+enter" maka di navigasi bookmark akan nampak satu baris dan di file word akan nampak dua baris.



Diakhiri dengan membuat bookmark dalam format pdf






Selasa, 07 Juli 2015

MENGGUGAT KBBI, SUDUT PANDANG TENTANG CINTA

Berawal dari perbincangan di ruang dosen pembimbing mengenai pacaran. Putri dari bu dosen yang masih SMP bilang pacaran itu gak boleh, zina. Bolehnya ta’aruf. Tapi saya menyanggah; “nggak juga tergantung definisi pacaran”. Menurut definisi yang salama ini saya anut, pacaran itu adalah proses setelah nikah. Beberapa hal yang berkaitan dengan pacaran adalah waktu dan perilaku. Pulang saya coba cek di kamus bahasa Indonesia dan ternyata,

Pacaran itu sama dengan berpacaran yang berasal dari kata pacar dengan arti “teman lawan jenis yg tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih;”

Saya kaget, ops ternyata benar pacaran itu tidak boleh. Satu variabel saya ternyata tidak ada dalam definisi formal yaitu variabel waktu. Saya memahami bahwa ketika suatu hubungan cinta tidak dibatasi dengan waktu itu adalah salah besar dan merupakan hubungan tidak bertanggungjawab. Kenapa demikian?
Variabel waktu yang membuat saya mendeskripsikan pacaran adalah proses menuju pernikahan. Ya...proses menuju brarti suatu hubungan cinta yang dijalin ketika dua orang akan menikah. Yees same meaning with ta’aruf to?hehe...
Lalu apa hubungannya dengan tanggungjawab? Waktu itu adalah suatu satuan yang penuh konsekuensi. Artinya butuh suatu tanggungjawab ketika kita berani menyeret-nyeret waktu. Oke mari kita cermati ketika pacaran di definisikan sebagai proses menuju pernikahan. Yak ada proses berarti ada tujuan menikah dan ada target menikah. Tidak hanya hubungan cinta kasih doang.

Ups jadi diingetin istri kalau motto yang saya tulis di tesis; “wal ‘asr”..waktu waktu waktu...hehehe

Saya tidak ikhlas ketika cinta itu menjadi murah, mudah dijalin, tanpa ada unsur tanggungjawab. Cinta itu kan anugrah Alloh SWT, jangan disalah artikan dong. Dikit-dikit kok bilang cinta. Anak SD saja sudah berani bilang cinta. Ini inflasi bro, nilai tukar cinta sudah runtuh.
Menurut saya definisi pacaran di KBBI itu harus diganti. Jangan sampai hubungan aneh yang mengatasnamakan cinta itu dipublikasikan lewat KBBI. Kalau bisa bahasa indonesia memuat kata yang artinya baik-baik sajalah. Masak kita bangsa indonesia tidak punya kata yang berarti ta'aruf...Hehehe...
Misal pacaran itu diganti berarti kan hubungan nggak jelas yang selama ini dijalani para remaja itu menjadi tidak punya nama. Selesai sudah mereka, berarti semua orang yang sekarang menjalin hubungan tanpa tanggungjawab itu adalah “pasangan tanpa status” bukan pacaran.

Rabu, 01 Juli 2015

MENYOAL TEMA “JILBAB HATI”

Setelah tiga hari tidak bergaul dengan tugas akhir, akhirnya muncul niatan untuk kembali menyapanya. Namun untuk memberikan suasana hati yang baik, saya refresh dulu dengan tulisan lain. Tulisan yang sudah lama sekali ingin saya tulis dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas akhir.
Sensitif namun beberapa waktu menggelitiki otak saya. Otak ini sering sekali menginginkan jawaban dari soal sensitif tersebut. Masalah jilbab hati. Masalah sensitif namun saya merasa ini baik untuk ditulis dan diutarakan serta lebih baik jika didiskusikan.
Masalah berawal dari suatu pertentangan jilbab dengan akhlak pemakainya. Banyak kalimat yang menyerukan, percuma pakai jilbab kalau perilakunya “demikian”. Saya lebih memilih “menghijabi hati” dulu sebelum menghijabi aurat yang menghiasi bagian atas fisik saya. Kalimat-kalimat tersebut seolah mengarahkan bahwa ada hubungan arat antara akhlak dan jilbab. Ada pandangan aneh yang berkembang:

  1.  jika berjilbab harus berakhlak baik
  2.  jika tidak berjilbab bisa berakhlak baik
  3.  tidak berjilbab berakhlak kurang baik itu biasa
pandangan tersebut mengacaukan logika banyak orang, termasuk saya. Akhlak menjadi suatu fokus pandang. Muncul kesimpulan khas nilai seseorang berjilbab tapi akhlak kurang itu jauh lebih buruk dibanding tidak berjilbab tapi berakhlak baik. Bahkan berjilbab tidak berakhlak baik bisa bernilai lebih rendah daripada tidak berjilbab dan berakhlak tidak baik pula. Contoh “itu berjilbab tapi kok nyontek, mending saya tidak berjilbab sekalian, munafik”.
Mencoba mencari jawaban ke berbagai orang yang memiliki wawasan lebih baik. Berbagai jawaban saya temukan yang intinya selalu “perintah Alloh itu mutlak (berjilbab) karena pasti baik”. Ada satu jawaban cukup menarik, “jilbab dapat melindungi dari kejahatan”. Lalu saya berpikir bagaimana kalau kalau wanita berjilbabnya itu “centil”? ya jelas tidak bisa menjamin. Ada juga yang menjawab “lihat dulu jilbabnya, syar’i atau cuma jilbab-jilbaban”. Saya tidak pernah puas dengan jawaban yang saya dapat.
Saya mengimani bahwa jilbab itu harus tapi saya belum dapat mantab karena saya juga menganggap pandangan-pandangan di atas itu rasional. Bahkan saya malah membuat kegaduhan lain, buat apa berjilbab kalo akhlaknya rusak, mencemari nama Islam saja...!
Suatu ketika saya mengajak istri kluar beli sesuatu. Saat istri saya bertanya mau pakai helm atau tidak, saya menjawab tidak karena lokasi dekat. Sampai di traffic light dan istri saya protes “katanya dekat” (saya tidak bohong lho...dekat jauh kan relatif... :p). Mulai dari sinilah saya menemukan jawaban mantab masalah jilbab. Istri saya melanjutkan protesnya dengan manyun, “lain kali pokoke pakai helm”. Putar otak mencari jawaban pas, eh tiba-tiba saya melihat ada orang nyelonong padahal lampu merah dan ternyata dia pakai helm. Langsung tema itu saya angkat “tu pakai helm tapi tidak taat lalu lintas, mending aku gak pake helm tapi taat lalu lintas”.
Sekilas terdiam dan merasa ada suatu kasus yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Menurut saya analogi ini dapat memberikan penjelasan yang lebih ringan dan dapat dipahami oleh semua. Jelas saja karena hampir semua masyarakat kita berhubungan dengan lalu lintas. Sedangkan jika dijelaskan dengan dalil, tidak semua masyarakat bisa memahami karena tidak semua familiar dengan alur pikir ke atas. Saya akan mulai menunjukan pecahnya kebingungan saya.
Saya akan mulai menjabarkan temua saya. Terlebih dahulu saya akan membedakan wanita menjadi dua, yaitu berjilbab dan tidak. Walaupun pada dasarnya jilbab juga dapat dibedakan menjadi berbagai macam, misal jilbab syar’i dan jilbab-jilbaban. Namun saya tidak cukup berani arogan untuk menilai jilbab. Sekali lagi saya tekankan hanya ada dua, yaitu berjilbab dan tidak. Mari kita mulai beranalogi. Apakah dapat dibenarkan seseorang berkendara tidak memakai helm (tidak  berjilbab) sedangkan dia taat lalu-lintas? Apakah dapat dibenarkan seseorang yang memakai helm (berjilbab) tapi tidak taat lalu-lintas? Jelas keduanya tidak dibenarkan, dengan alasan apapun. Satu titik telah ditemukan bahwa berjilbab saja tidak cukup, harus berakhlak baik pula dan begitu pula sebaliknya.
Masuk lebih mendalam mengenai wacana yang sering diangkat ke permukaan “pentingmana memakai jilbab atau menjilbabi hati?”. Saya menangkap ini sebagai pertanyaan provokatif yang mencoba membuat keruh. Jawaban saya jelas semuanya penting, tidak ada yang lebih dipentingkan dan tidak ada yang kurang penting. Jadi premis bahwa lebih baik menjilbabi hati dulu telah gugur di otak saya. Tidak dapat dibandingkan keduanya karena memang keduanya harus berjalan berdampingan. (intermezo, pentingmana pakai sepatu yang kiri atau kanan?...hehehe)
Mari beranalogi lebih detail untuk memantabkan pikiran. Jika seseorang memakai helm apakah dia dijamin selamat dari kecelakaan? Jelas tidak. Sama pula dengan jika seseorang memakai jilbab apakah dia akan dijamin aman dari hal buruk? Jelas tidak. Kenapa demikian karena bisa saja orang yang memakai helm tersebut tidak berhati-hati atau bahkan melanggar lalu-lintas, bisa juga dia dicelakai oleh orang lain. Tetapi dengan menggunakan helm akan meminimalkan resiko akibat kecelakaan. Jadi memakai helm tetap ada untungnya dibanding tidak. Kesimpulannya, memakai jilbab jelas memberikan dampak positif sesuai analogi yang telah disampaikan.
Beralih ke jilbab hati. Saya berkendara dengan hati-hati dan taat lalu-lintas. Apakah ada jaminan saya selamat dari kecelakaan? Jelas tidak. Sama juga orang yang berakhlak baik tapi tidak berjilbab apakah dapat dijamin aman dari gangguan orang? Jawabnya jelas juga tidak. Kenapa demikian karena bisa saja tercelakai oleh orang lain yang tidak taat lalu-lintas. Masalahnya jika sampai pada apesnya celaka, tanpa menggunakan helm pasti dampaknya lebih fatal. Kesimpulannya, berakhlak baik itu modal yang berharga akan tetapi memakai jilbab itu tidak ada ruginya.
Dari dua paragraf di atas dapat kita tarik hubungan bahwa helm sama fungsinya dengan jilbab yang itu memberikan proteksi pada diri sendiri. Melindungi diri sendiri dari berbagai hal buru yang berasal dari lingkungan. Sedangkan akhlak baik itu melindungi diri kita untuk mencelakai orang lain. Dengan akhlak baik maka kita dapat memberikan dampak baik pada lingkungan kita. Sehingga jika hanya berakhlak baik, kita belum dapat maksimal untuk menangkal dampak buruk dari lingkungan.

Kalau ditilang pak polisi saat berhenti di lampu merah karena gak pakai helm boleh gak bilang...”saya pakai helm hati pak...”

Kalau ditilang pak polisi saat melanggar lampu merah boleh gak bilang...”saya sudah menghelm i kepala”...

hehehe

Jadi untuk pembaca sekalian, kesimpulan saya adalah idealnya adalah berakhlak baik dan berjilbab. Keduanya saling terkait namun tidak dapat dibandngkan hirarkinya, apalagi didebatkan mana yang lebih penting. Ibarat sepatu, harus pakai dua-duanya , tidak ada yang lebih penting dan yang kurang penting. Ibarat pengendara motor, tidak pakai helm ditilang polisi, melanggar lalu-lintas juga ditilang.
Demikian sharing olah pikir, jika ada koreksi dan masukan saya sangat nantikan. Semoga bermanfaat, khoirunnas anfauhun linnas