Setelah tiga hari tidak bergaul dengan tugas akhir, akhirnya
muncul niatan untuk kembali menyapanya. Namun untuk memberikan suasana hati
yang baik, saya refresh dulu dengan tulisan lain. Tulisan yang sudah lama
sekali ingin saya tulis dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas
akhir.
Sensitif namun beberapa waktu menggelitiki otak saya. Otak
ini sering sekali menginginkan jawaban dari soal sensitif tersebut. Masalah
jilbab hati. Masalah sensitif namun saya merasa ini baik untuk ditulis dan
diutarakan serta lebih baik jika didiskusikan.
Masalah berawal dari suatu pertentangan jilbab dengan akhlak
pemakainya. Banyak kalimat yang menyerukan, percuma pakai jilbab kalau
perilakunya “demikian”. Saya lebih memilih “menghijabi hati” dulu sebelum
menghijabi aurat yang menghiasi bagian atas fisik saya. Kalimat-kalimat
tersebut seolah mengarahkan bahwa ada hubungan arat antara akhlak dan jilbab.
Ada pandangan aneh yang berkembang:
- jika berjilbab harus berakhlak baik
- jika tidak berjilbab bisa berakhlak baik
- tidak berjilbab berakhlak kurang baik itu biasa
pandangan tersebut mengacaukan logika banyak orang, termasuk
saya. Akhlak menjadi suatu fokus pandang. Muncul kesimpulan khas nilai
seseorang berjilbab tapi akhlak kurang itu jauh lebih buruk dibanding tidak
berjilbab tapi berakhlak baik. Bahkan berjilbab tidak berakhlak baik bisa
bernilai lebih rendah daripada tidak berjilbab dan berakhlak tidak baik pula.
Contoh “itu berjilbab tapi kok nyontek, mending saya tidak berjilbab sekalian,
munafik”.
Mencoba mencari jawaban ke berbagai orang yang memiliki
wawasan lebih baik. Berbagai jawaban saya temukan yang intinya selalu “perintah
Alloh itu mutlak (berjilbab) karena pasti baik”. Ada satu jawaban cukup
menarik, “jilbab dapat melindungi dari kejahatan”. Lalu saya berpikir bagaimana
kalau kalau wanita berjilbabnya itu “centil”? ya jelas tidak bisa menjamin. Ada
juga yang menjawab “lihat dulu jilbabnya, syar’i atau cuma jilbab-jilbaban”.
Saya tidak pernah puas dengan jawaban yang saya dapat.
Saya mengimani bahwa jilbab itu harus tapi saya belum dapat
mantab karena saya juga menganggap pandangan-pandangan di atas itu rasional.
Bahkan saya malah membuat kegaduhan lain, buat apa berjilbab kalo akhlaknya
rusak, mencemari nama Islam saja...!
Suatu ketika saya mengajak istri kluar beli sesuatu. Saat
istri saya bertanya mau pakai helm atau tidak, saya menjawab tidak karena
lokasi dekat. Sampai di traffic light
dan istri saya protes “katanya dekat” (saya tidak bohong lho...dekat jauh kan
relatif... :p). Mulai dari sinilah saya menemukan jawaban mantab masalah
jilbab. Istri saya melanjutkan protesnya dengan manyun, “lain kali pokoke pakai
helm”. Putar otak mencari jawaban pas, eh tiba-tiba saya melihat ada orang
nyelonong padahal lampu merah dan ternyata dia pakai helm. Langsung tema itu
saya angkat “tu pakai helm tapi tidak taat lalu lintas, mending aku gak pake
helm tapi taat lalu lintas”.
Sekilas terdiam dan merasa ada suatu kasus yang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Menurut saya analogi ini dapat memberikan
penjelasan yang lebih ringan dan dapat dipahami oleh semua. Jelas saja karena
hampir semua masyarakat kita berhubungan dengan lalu lintas. Sedangkan jika
dijelaskan dengan dalil, tidak semua masyarakat bisa memahami karena tidak
semua familiar dengan alur pikir ke atas. Saya akan mulai menunjukan pecahnya
kebingungan saya.
Saya akan mulai menjabarkan temua saya. Terlebih dahulu saya
akan membedakan wanita menjadi dua, yaitu berjilbab dan tidak. Walaupun pada
dasarnya jilbab juga dapat dibedakan menjadi berbagai macam, misal jilbab
syar’i dan jilbab-jilbaban. Namun saya tidak cukup berani arogan untuk menilai
jilbab. Sekali lagi saya tekankan hanya ada dua, yaitu berjilbab dan tidak.
Mari kita mulai beranalogi. Apakah dapat dibenarkan seseorang berkendara tidak
memakai helm (tidak berjilbab) sedangkan
dia taat lalu-lintas? Apakah dapat dibenarkan seseorang yang memakai helm
(berjilbab) tapi tidak taat lalu-lintas? Jelas keduanya tidak dibenarkan,
dengan alasan apapun. Satu titik telah ditemukan bahwa berjilbab saja tidak
cukup, harus berakhlak baik pula dan begitu pula sebaliknya.
Masuk lebih mendalam mengenai wacana yang sering diangkat ke
permukaan “pentingmana memakai jilbab atau menjilbabi hati?”. Saya menangkap
ini sebagai pertanyaan provokatif yang mencoba membuat keruh. Jawaban saya
jelas semuanya penting, tidak ada yang lebih dipentingkan dan tidak ada yang
kurang penting. Jadi premis bahwa lebih baik menjilbabi hati dulu telah gugur
di otak saya. Tidak dapat dibandingkan keduanya karena memang keduanya harus
berjalan berdampingan. (intermezo, pentingmana pakai sepatu yang kiri atau
kanan?...hehehe)
Mari beranalogi lebih detail untuk memantabkan pikiran. Jika
seseorang memakai helm apakah dia dijamin selamat dari kecelakaan? Jelas tidak.
Sama pula dengan jika seseorang memakai jilbab apakah dia akan dijamin aman
dari hal buruk? Jelas tidak. Kenapa demikian karena bisa saja orang yang
memakai helm tersebut tidak berhati-hati atau bahkan melanggar lalu-lintas,
bisa juga dia dicelakai oleh orang lain. Tetapi dengan menggunakan helm akan
meminimalkan resiko akibat kecelakaan. Jadi memakai helm tetap ada untungnya
dibanding tidak. Kesimpulannya, memakai jilbab jelas memberikan dampak positif
sesuai analogi yang telah disampaikan.
Beralih ke jilbab hati. Saya berkendara dengan hati-hati dan
taat lalu-lintas. Apakah ada jaminan saya selamat dari kecelakaan? Jelas tidak.
Sama juga orang yang berakhlak baik tapi tidak berjilbab apakah dapat dijamin
aman dari gangguan orang? Jawabnya jelas juga tidak. Kenapa demikian karena
bisa saja tercelakai oleh orang lain yang tidak taat lalu-lintas. Masalahnya
jika sampai pada apesnya celaka, tanpa menggunakan helm pasti dampaknya lebih
fatal. Kesimpulannya, berakhlak baik itu modal yang berharga akan tetapi memakai
jilbab itu tidak ada ruginya.
Dari dua paragraf di atas dapat kita tarik hubungan bahwa
helm sama fungsinya dengan jilbab yang itu memberikan proteksi pada diri
sendiri. Melindungi diri sendiri dari berbagai hal buru yang berasal dari
lingkungan. Sedangkan akhlak baik itu melindungi diri kita untuk mencelakai
orang lain. Dengan akhlak baik maka kita dapat memberikan dampak baik pada
lingkungan kita. Sehingga jika hanya berakhlak baik, kita belum dapat maksimal
untuk menangkal dampak buruk dari lingkungan.
Kalau ditilang pak polisi saat berhenti di lampu merah
karena gak pakai helm boleh gak bilang...”saya pakai helm hati pak...”
Kalau ditilang pak polisi saat melanggar lampu merah boleh
gak bilang...”saya sudah menghelm i kepala”...
hehehe
Jadi untuk pembaca sekalian, kesimpulan saya adalah idealnya
adalah berakhlak baik dan berjilbab. Keduanya saling terkait namun tidak dapat
dibandngkan hirarkinya, apalagi didebatkan mana yang lebih penting. Ibarat
sepatu, harus pakai dua-duanya , tidak ada yang lebih penting dan yang kurang
penting. Ibarat pengendara motor, tidak pakai helm ditilang polisi, melanggar
lalu-lintas juga ditilang.
Demikian sharing olah pikir, jika ada koreksi dan masukan
saya sangat nantikan. Semoga bermanfaat, khoirunnas anfauhun linnas
Tambah tua tambah bijak saja bpk. Janu AW.! Semoga tulisan ini dapat membawa manfaat yang banyak. Aminnn… Klo boleh sy tambahkan sedikit, hubungan antara berjilbab dengan akhlakul karimah, yaitu berjilbab merupakan bagian dari menutup aurat dan menutup aurat bagian dari akhlakul karimah. Atau menutup aurat merupakan salah satu subtansi dari akhlakul karimah. Hubungan antar berjilbab dengan menutup aurat ini yg belum disentuh dalam Tulisan ini. Klo kita melihat persepsi mainstream yg ada sekarang, banyak temen2 kita yg cewek berjilbab tapi tidak menutup aurat. Contoh yg paling banyak, berjilbab dan menggunakan celana jeans yang ketat. Jadi kue yg lezat harus ditutupi, sehingga tidak dikerumuni oleh lalat-lalat nakal. (Sedikit sy tambahkan) Lebih-lebih sekarang, persepsi kita mengenai jilbab dikeruhkan oleh berkembangannya “commodity culture”. Jilbab (hijab) telah menjadi salah satu komoditas papan atas oleh para pemilik modal. Contoh: berhijab karena “tren artis-selebritis” yg ada sekarang dan bukan karena kesadaran akan ajaran islam. Itukan dari sisi niatnya, kita sudah riya’. Memang bahaya dari “commodity culture” ini adalah yg terpenting laba, persetan dengan islam! Sy kira komoditas hijab ini sekarang berada dua tingkat di bawah komoditas batu akik. He.. Sy kira itu saja. Terimakasih. (Wall).
BalasHapusmenarik, ditunggu tulisan2 selanjutnya :D
BalasHapus