Social Icons

Pages

Rabu, 29 Maret 2017

Membangun Generasi Bercakar Ayam



Beberapa waktu ini dahi cukup berkerut saat melihat media berulang-ulang memberitakan jurang narkoba terus menelan korban. Produk syaiton telah menjebak korban tanpa pandang bulu, mulai dosen dengan latar belakang pendidikan menterang (Antara, 6 Maret 2017), abdi negara yang diberi mandat sebagai pegawai pemkot (Tribun Kaltim, 22 Maret 2017), pelaku seni dengan suara merdu (Tribun Jateng, 26 Maret 2017), sampai dengan anggota DPRD (Jawapos, 6 februari 2017). Lebih mencengangkan saat melihat data Direktorat IV Bareskrim pada semester pertama 2015 tercatat ada 9.412 kasus. Jumlah ini meningkat jika dibanding dengan semester pertama 2016 di mana tercatat ada 13.851 kasus.
Alarm meraung-raung keras saat ditemukan kasus penyalahgunaan narkoba karena penyakit tersebut sangat mudah mewabah. Pemakai dapat kecanduan hingga mengalami gangguan fisik, mental, maupun emosional. Dampaknya adalah kerja otak sudah tidak dapat terkontrol dengan baik, sibuk dengan halusinasi, tempramen, malas, kesurakan organ, penularan penyakit, hingga kematian. Manusia pecandu sangat jauh dari perilaku produktif karena sudah tidak presisi porsi psikis dan fisik, ingin kaya tapi malas bekerja, ingin juara malas berusaha, semua masalah diselesaikan di alam lamunan. Logis bila narkoba dilabeli penyakit terdahsyat perusak generasi muda.
Merunut Akar Masalah
Untuk menentukan langkah maka masalah harus ditelusuri hingga akarnya. Menurut Capizzi dalam buku Adolescence, Adolescents karangan Fuhrmann, sebab penyalahgunaan narkoba terbagi menjadi dua yaitu determinan sosial (keluarga, teman, agama, dan sekolah) dan determinan personal (sikap dan karakter individu). Jika ditarik benang merah, kedua kelompok tersebut mengarah pada satu titik inti yaitu pola asuh. Karakter seseorang terbentuk dari tumpukan pengalaman yang diajarkan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, dan sosial). Lebih spesifik dikatakan oleh Indiyah dalam penelitianya yang termuat pada Jurnal Kriminologi Indonesia bahwa 88% kasus narkoba di LP Wirogunan disebabkan karena faktor keluarga. Dengan demikian “keluarga” merupakan “kartu AS” dari kasus narkoba.
Jika dipahami lebih mendalam terdapat dua fungsi keluarga yaitu pendidikan dan kontrol. Saat kedua hal tersebut mampu dimaksimalkan maka segala bentuk resiko negatif dapat diminimalisir. Keluarga merupakan wahana pendidikan sesungguhnya bagi anak. Di dalam keluarga, anak diajarkan berbagai macam hal yang akan membentuk kombinasi wawasan dan karakter. Dengan demikian maka tidak heran jika ada pribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Setiap orangtua pasti mengajarkan anak untuk menjadi pribadi yang mampu menemukan solusi dalam setiap masalah. Namun seberapa kuat mengakar karakter tesebut di diri anak patut dipertanyakan. Frustasi pada tekanan hingga memilih pelarian pada hal negatif menandakan ada tiang-tiang karakter yang keropos sehingga ambruk saat menerima guncangan.
Hal kedua yang tidak kalah penting adalah fungsi kontrol. Orangtua memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan pada setiap aktivitas anaknya, namun impossible untuk menjelma menjadi seorang bodyguard yang selalu mendampingi. Mekanisme yang mungkin adalah membangun kedekatan sehingga tanpa melakukan pengintaian orangtua mengetahui segala kegiatan anaknya melalui curhatan selepas aktivitas. Tidak mengada-ada jika hasil riset Rice dalam buku The Adolescent: Development, Relationships, and Culture menyebutkan kacaunya hubungan dan komunikasi antara orangtua-anak membuat membuat seorang remaja riskan terjebak narkoba.
Mengingatkan Orangtua
Melihat kuantitas yaitu 13.851 kasus, belum ditambah dengan kasus lain yang belum teridentifikasi, tampaknya bangsa ini butuh obat non generik. Kartu AS harus dimaksimalkan untuk preventif mendampingi pemerintah yang mengambil porsi kuratif dan rehabilitatif.
Jaminan bahwa seseorang tumbuh dalam keadaan yang baik dan tidak terkontaminasi oleh pengaruh negatif adalah konstruksi jati diri yang kuat. Pondasi bangunan karakter ditata perlahan sejak individu masih di usia dini. Karakter yang dilengkapi pondasi kuat akan membuat seseorang tahan terhadap guncangan, tidak mudah keblinger dan tetap mampu berpikir rasional dalam keadaan irasional. Sebagai kontraktor karakter, kehadiran menjadi sangat penting karena menurut Robert Fulghum jangan mengkuatirkan anak tidak mendengarkan Anda, kuatirkanlah bahwa mereka selalu mengamati anda. Maka percuma saja memberikan banyak pesan, saran, wejangan namun jarang hadir memberikan contoh.
Semua orangtua harus segera menyadari bahwa nasib anaknya sebagai representasi wajah masa depan Indonesia ada di tangannya. Kesadaran bahwa segala bentuk kesibukan di luar rumah merupakan aktivitas untuk memperjuangkan kualitas hidup di dalam rumah harus ditekankan. Harus ada keseimbangan peran dalam keluarga dan di luar rumah sehingga semuanya berjalan secara harmonis. Ayah bunda harus siap menyediakan waktu guna menjalin komunikasi, berperan sebagai contoh teladan, menanamkan nilai-nilai untuk menyikapi masalah, dan menerangkan bahaya narkoba, semuanya dilaksanakan secara intensif.

Dimuat Tribun Jateng Edisi Rabu 29 Maret 2017,
 


Jumat, 24 Maret 2017

Misi Revolusi di Balik UNBK



Ujian Nasional (UN) merupakan fenomena tahunan yang selalu hangat untuk diperbincangkan. Terdapat fenomena yang cukup menyita perhatian pada penyelenggaraan UN tahun 2017 yaitu Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Sebenarnya UNBK telah dilaksanakan sejak tahun 2015, namun pada tahun ini menjadi lebih heboh karena dilaksanakan oleh mayoritas sekolah di Indonesia. Menurut Kemdikbud telah terjadi peningkatan jumlah penyelenggara yaitu tahun 2015, UNBK diikuti 554 sekolah di 24 provinsi, tahun 2016 diikuti oleh 4.382 sekolah, sedangkan tahun 2017 diikuti oleh 30.813 sekolah terdiri dari SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK.
Respons Masyarakat
Banyaknya sekolah yang menyelenggarakan UNBK memunculkan suara riuh dari masyarakat. Pihak terkait merasa gugup dan khawatir dengan sistem berbasis komputer. Fakta menunjukan bahwa masih banyak siswa yang belum terbiasa mengoperasikan komputer. Kasus tersebut biasa terjadi di lokasi yang relatif jauh dari kota.
Untuk menanggulagi masalah kefasihan dalam mengoperasikan komputer, pemerintah menyelenggarakan uji coba secara nasional. Uji coba I UNBK tahun ajaran 2016/2017 dilaksanakan pada bulan Oktober 2016 dan uji coba II dilaksanakan pada bulan Februari 2017. Uji coba diselenggarakan dengan seting sama seperti ujian nasional sehingga diharapkan siswa telah memiliki gambaran. Dalam uji coba juga ditemukan berbagai kasus yang dijadikan dasar sekolah dalam melaksanakan penyempurnaan sehingga UNBK berlangsung tanpa kendala.
Alasan UNBK
Penyelenggaraan UNBK bukan tanpa alasan, menurut Nizam selaku Kepala Puspendik, UNBK diselenggarakan untuk merespon masalah keterlambatan kedatangan soal. Pada UNBK alur distribusi diubah menjadi online sehingga waktu pengiriman lebih singkat dan terkontrol. Alasan selanjutnya adalah proses pengumpulan dan pengiriman naskah ujian menjadi lebih cepat, begitu pula proses koreksi sehingga hasil ujian dapat diketahui lebih cepat. Terdapat pemangkasan signifikan pada alur distribusi soal, penyerahan jawaban, dan koreksi soal. Efektifitas alur memberikan penghematan secara waktu, ekonomi, dan tenaga.
UNBK dan Revolusi Mental
Alasan efisiensi alur bukan hal paling pokok yang melandasi diselenggarakannya UNBK. Alasan utama adalah proses membuat siswa memiliki sikap yang lebih baik dalam melaksanakan ujian. Suatu kebijakan yang diambil memang seharusnya baik untuk jangka pendek yaitu menyangkut penghematan anggaran, dan jangka panjang yaitu membentuk karakter siswa. Kepala Balitbang Kemdikbud, Totok Payitno menyampaikan bahwa UNBK efektif menghentikan praktik ketidakjujuran. Temuan menarik pada www.bappenas.go.id menunjukan bahwa tingkat kecurangan siswa peserta UNBK adalah nol, sedangkan untuk Ujian Nasional Berbasis Kertas dan Pensil (UNKP) masih ada kecurangan.
Kejujuran dalam UN, diakui maupun tidak merupakan barang langka di era kekinian. Anis Baswedan mengatakan tahun 2015 dan 2016 pada jenjang SMA, Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) masih berkutat sekitar angka 60%. Berbagai program telah digulirkan untuk memberantas tindak kecurangan termasuk pengondisian yang memaksa siswa untuk tidak berbuat curang melalui pembuatan paket soal bervariasi, mulai dari 2 paket, 4 paket, hingga 20 paket, namun masih saja ditemukan kecurangan.
UNBK dinilai mampu menutup lebih rapat celah tindak kecurangan. Alasan anggapan tersebut cukup logis karena kasus menyontek dapat ditanggulangi dengan sistem acak soal yang lebih baik, dengan berbasis komputer maka soal dapat diacak dengan variasi lebih banyak sehingga antar siswa tidak saling tahu kode soalnya masing-masing. Selain itu potensi kebocoran soal dapat diminimalkan karena sistem bank soal yang dimiliki oleh negara tentunya memiliki sistem keamanan yang terkontrol. Keuntungan lain adalah jika ada pelaku kecurangan berupa kebocoran soal, identifikasi relatif lebih mudah karena distribusi dan pengelolaan naskah dikontrol oleh sedikit orang dengan rute pendek.
Terdapat pergeseran penekanan pada ujian nasional, bukan semata-mata hasil namun lebih fokus pada proses. Slogan “prestasi penting, jujur utama” pun terus dibiralkan oleh pemerintah. Beberapa tahun terakhir, apresiasi tidak lagi fokus pada nominal hasil UN tapi lebih pada indeks integritas yang menunjukan sikap proses UN.
Penting Revolusi Mental Melalui UN
UN merupakan penutup proses pembelajaran dalam satu jenjang. Ending pasti menjadi hal yang krusial karena selalu diingat. Familiar bagi semua orang bahwa dalam suatu cerita ada istilah happy ending atau sad ending. Demikianlah gambaran bahwa masyarakat kita, bahkan seluruh dunia memposisikan akhir cerita sebagai momen tak terlupakan. 

Sangat buruk jika terkenang bumbu kecurangan pada akhir suatu jenjang pendidikan. Sebaliknya membekas sangat indah proses perjuangan untuk mengibarkan bendera kesuksesan berlatar kejujuran. Dan akan sangat jelas imbasnya, kejujuran di akhir proses selalu akan menjaga kita dari proses kecurangan pada fase berikutnya. Pemuda jujur yang akan membuat Indonesia hebat.
Dimuat pada harian bhirawa cetak tanggal 23 Maret 2017 [klik]