Social Icons

Pages

Featured Posts

Senin, 17 Desember 2018

Diantara Dua Arus


Oleh: Janu Arlinwibowo (18701261012)
Program Studi S3 PEP 2018

Sangat menarik saat kita mulai memetakan filsafat dengan basis pemikiran para filsuf. Selain karena sebenar-benarnya berfilsafat adalah memahami pikiran-pikiran para filsuf, juga dengan memetakannya kita dapat memperoleh wawasan baru. Secara domain, filsafat terbagi menjadi dua, yaitu idealism dan realism. Idealism adalah pemikiran yang dikembangkan dalam akal pikiran kita sehingga semua dapat diidealkan, diabsolutkan, diasumsikan. Sedangkan realism adalah pemikiran yang berkembang dengan basis pengalaman, hal yang telah terjadi.
Prof. Marsigit mengonotasikan paham idealisme sbagai langit san realism sebagai bumi. Langit menunjukkan bahwa hal tersebut sangat jauh dari jangkauan manusia, hanya bisa dilihat, kemudian dipikirkan, tanpa harus ada kontak, apalagi observasi mendalam. Bumi digambarkan sebagai suatu hal yang dekat sehingga sangat mungkin berinteraksi, hal yang dimaksud adalah suatu kejadian. Pada mulanya, kedua paham tersebut saling bertolak belakang sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan cukup signifikan.
Paham idealisme sesungguhnya adalah wujud kesadaran bahwa ada batas-batas penginderaan manusia sehingga ada banyak ilmu yang tidak dapat dirasakan melalui indera. Namun dapat dilakukan olah pikir sehingga mendapatkan suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kasus ini sangatlah menarik karena dengan demikian maka semua hal dapat disimulasikan, sehingga perkembangan keilmuan sangat cepat, walaupun terkadang juga menemui kendala terkait relevansi terhadap kenyataan. Bisa saja dipertentangkan pemikiran-pemikiran idealism karena tidak ada fakta absolut yang mengiringi. Dengan demikian kita kenal dengan baik saat ini bahwa banyak teori aliran idealisme yang selalu menyantumkan toleransi kesalahan. Walaupun dibuat sangat kecil toleransi kesalahannya namun demikian menunjukkan bawa ada suatu penekanan bahwa hal yang dipikirkan adalah estimasi dimana tidak mampu menjamin bahwa akan 100% sesuai dengan kebenaran atau akurasinya 100%.
Sedangkan realism adalah kebalikannya dimana fakta menjadi pivot dalam berpikir. Semua masalah adalah yang telah terjadi, semua pola adalah yang telah terjadi, semua ilmu adalah yang telah terjadi. Paham ini juga berdasar pada kesadaran terhadap keterbatasa dimana manusia memiliki keterbatasan dalam berpikir. Ada banyak kombinasi ilmu yang sulit dipetakan secara holistik dalam angan-angan sehingga memahami hal melalui suatu kejadian dianggap sebagai titik tumpu yang pas sebagai dasar berpikir. Karena menerjemahkan fenomena alam tentunya akurasi dari gaya berpikir realisme lebih akurat namun seringkali kecepatan perkembangan jauh tertinggal karena pikirannya tersandera oleh indera, sedangkan kuantitas informasi yang terekam oleh indera sangat terbatas.
Pada era setelahnya muncul suatu tokoh, yaitu Immanuel Kant yang menjadi penengah antara dua arus tersebut. Immanuel Kant berpikir bahwa ada korelasi erat antara keduanya yang akan membuat perkembangan ilmu pengetahuan menjadi tetap cepat dengan tingkat akurasi yang meningkat. Contohnya saja demikian, jika semua arus hanya dipikiran dan tidak ada korelasinya atau korelasinya rendah dengan fakta maka ilu yang berkembang tersebut hanya akan menjadi fiksi/khayalan atau istilah lainnya adalah mempertanyakan konstribusinya untuk kehidupan. Sebaliknya, bagaimana bisa seorang ilmua diminta menyelesaikan masalah jika basis berpikirnya adalah empirisim murni? Padahal kita semua memahami bahwa ada tak hingga kombinasi kejadian yang membuat empirism murni tidak dapat bergerak karena selalu menunggu pengalaman. Perkembangannya selalu berjalan berdampingan dengan pengalamannya. Kant membuat suatu gaya berpikir sintetik apriori dimana menegaskan bahwa data fakta dapat dijadikan sebagai rujukan (a posteriori) namun setelahnya untuk menemukan berbagai pola maka manusia dapat berpikir secara apriori. Dengan demikian maka hidup diatara langit dan bumi dapat menjadi alternatif pilihan yang sangat baik.

Educational Philosophy in Indonesia


Ideology and Nature of Education




Jumat, 26 Oktober 2018

Konstruksi Bangunan Filsafat


Oleh: Janu Arlinwibowo

Filsafat, suatu kalimat yang tidak terlalu populis, terutama maknanya. Banyak orang yang hanya sekedah mengetahui dan mendeskripsikannya penuh stigma. Bahkan ada, mungkin banyak, orang yang melarang atau minimal mewanti-wanti jika ada yang ingin belajar filsafat. Hati-hati kalau tidak kuat nanti jalannya akan miring. Faktanya memang yang lebih terkenal adalah permainan logika yang membuat kadang orang kebingungan.
Namun, tidak sepenuhnya benar bahwa filsafa itu berbahaya. Ya tentu saja pisau itu berbahaya jika digunakan untuk menusuk orang tapi sangat bermanfaat untuk memasak. Yang akan saya tanyakan sekarang berapa persen pisau yang digunakan untuk menusuk? Berapa persen yang dimanfaatkan untuk memasak? Narkotika bisa menjadi mala petaka, bisa juga dijadikan sebagai obat. Makanya tidak ada yang bilang narkotika itu buruk, yang ada hanyalah penyalahgunaan narkotika. Maknanya adalah bahwa sebenarnya materi yang ada di dunia ini bersifat netral, positif dan negatif adalah suatu citra yang dilekatkan oleh manusia pada subjek tersebut. Demikian pula filsafat, jika anda salah prosedur penggunaan maka celakalah anda, tapi jika anda menggunakannya dengat tepat maka beruntunglah anda.
Banyak sekali definisi filsafat karena memang tidak ada satupun definisi yang dapat dipersalahkan karena sesungguhnya tidak ada yang salah dalam filsafat, tergantung penjelasannya. Filsafat didefinisikan sebagai ada dan yang mungkin ada, boleh, didefinisikan filsafat adalah dirimu, boleh, filsafat didefinisikan sebagai dunia, boleh. Semuanya tinggal bergantung pada penjelasannya. Cakupan filsafat pun sangat luas, bahkan sampai seseorang yang mengaku anti filsafat pun sebenarnya sedang berfilsafat.
Dalam filsafat kita diajari untuk tidak membuat kesimpulan yang prematur. Dalam hal ini yang dikatakan prematur adalah tidak melakukan proses pemikiran yang meluas, melebar, dalam, dan tinggi sehingga muncul suatu penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan pada kesimpulan. Yang selanjutnya adalah dilarang memaksakan kesimpulan yang telah kita ambil agar diimani oleh orang lain karena bisa jadi ada tak hingga sudut pandang sehingga akhirnya beda pendapat.  Contohnya: “Kenapa saya menulis?” jawabnya karena “belum tentu karena tugas” yang artinya bisa jadi karena tugas atau kemungkinan lain yang jumlahnya tak hingga.
Keterbukaan ini membuahkan toleransi dalam berpikir. Satu lagi ilustrasi yang dapat membuka wacana kita untuk tidak memaksakan orang lain untuk sama. Gus Sabrang, putra sulung dari Cak Nun, pernah bercerita pada saat 100 secara bersama-sama mengambil foto satu ekor gajar, adakah satu foto yang sama? Tidak jawabnya. Bagaimana jika ada 1.000, atau 10.000 orang? Jawabnya tetap tidak ada foto yang sama. Itulah kodrat bahwa memang seribu kepala bisa jadi menimbulkan 1000 persepsi. Dengan demikian maka tidak bijaksana ketika kita meminta dengan paksa orang lain menyetujuai ide kita.
Ada beberapa premis yang haris diperhatikan dalam berfilsafat. Pertama adalah bahwa pikiranmu ada batasnya walaupun tidak kamu ketahui batasnya itu sebenarnya ada dimana. Kedua adalah luasnya ilmu itu tidak ada batasnya. Jadi pikiranmu pasti selalu tidak pernah bisa menjangkau luasnya ilmu. Dengan demikian maka kita harus tahu batas-batas umumnya, mana yang dapat dikejar oleh pikiran mana yang tidak. Prof. Marsigit membuat hirarki dimana filsafat adalah tingkatan tertinggi kedua setelah agama. Disinilah kunci, batasnya adalah agama.
Mari kita bahas letak agama di pikiran kita. Mengapa agama menjadi batas? Apakah agama itu tidak logis sehingga tidak bisa dijangkau oleh filsafat? Jawabnya bukan demikian. Semua yang tertuang dalam firman Alloh itu logis namun kemampuan kita dalam berpikir yang terbatas dan selalu saja dibelakangnya. Contohnya, dulu tidak pernah ada orang yang mampu memahami firman Alloh bahwa orang jaman dulu tidak ada yang tahu tentang adanya relativitas waktu. Hal ini telah disampaikan dalam Al-Quran Surat Al-Ma’aarij ayat 4 dan baru bisa dibuktikan dengan teori modern. Yang perlu kita paham adalah tidak ada yang kebetulan, semua kejadian selalu dapat dilogika, cuma logika manusia selalu dibelakang firman Alloh.
Kesimpulannya adalah bahwa olah pikir kita dapat saja mengembara hingga batas-batas tertentu, namun yang perlu diingat adalah bahwa ada satu landasan yang tidak boleh ditinggalkan yaitu agama. Dengan demikian maka berfilsafat menjadi suatu kegiatan menceburkan diri ke lautan ilmu namun tidak akan membuat kita tenggelan dan mati kehabisan nafas jika kita selalu berpegang pada agama. Kita suci itu fiksi kata Rocky Gerung? Itu karena dia tidak menyadari keterbatasannya sebagai seorang manusia. Kita suci itu adalah firman yang merupakan fakta-fakta namun bisa jadi anda belum menyadari fakta tersebut.
Berdasarkan dua paragraf sebelumnya maka clear bahwa filsafat tidak semengerikan yang dibayangkan, dia sama seperti pisau yang jika dimanfaatkan sesuai prosedur maka dapat memberikan manfaat seluas-luasnya.
Refeksi Perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. Dr. Marsigit,M.A.
https://www.uny.ac.id/

Senin, 23 April 2018

Menerjemahkan Emansipasi Ketimuran Kartini



Peringatan hari Kartini nampak sangat meriah, mayoritas perempuan Indonesia menyambutnya dengan antusias. Gagasan-gagasan putri Jepara yang tertuang dalam lembaran surat sangat melegenda. Cara berpikir dianggap melampaui jamannya dan dijadikan kiblat oleh banyak kaum hawa. Keistimewaan tersebut membuat pada tahun 1964, Ir. Soekarno menginginkan jiwanya terus hidup sehingga mengeluarkan Kepres RI no.108 menetapkan tanggal 21 April sebagai hari Kartini.
Sekilas Tentang Kartini
Perjuangan R. A. Kartini berawal dari dikriminasi yang dirasakannya menimpa perempuan pada masa kolonial. Masa penjajahan membuat fasilitas pendidikan sangat minim dan adat Jawa secara arogan membuat sekat tebal antara laki-laki dan perempuan, khusunya mengenai hak mengenyam pendidikan. Kedua kondisi adalah kombinasi sempurna untuk mengerdilkan potensi kaum ibu.
Salah satu hal istimewa yang dimiliki Kartini adalah rasa ingin tahunya yang sangat tinggi, namun jiwa kritis yang dimilikinya tampak tidak cocok berada di zaman itu. Sekalipun terlahir di keluarga terpandang, tidak lantas membuatnya dapat belajar dengan sesuka hati. Sebenarnya Kartini kecil sudah jauh lebih beruntung daripada perempuan lain, dapat mengenyam sekolah dan dapat pendidikan agama, walaupun relatif hanya sedikit. Namun, kala itu situasi negeri yang sedang dinahkodai asing memang tidak menginginkan pribumi menjadi sosok pintar.
Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899). Pada masa itu sangat sulit mencari majelis terlebih bagi seseorang yang sangat terbatas untuk keluar rumah, praktis belajar agama sangat terbatas.
Emansipasi
Serba terbatas dalam menuntut mengembangkan diri adalah fokus utama keluh-kesah Kartini, bukan keiirian pada kaum laki-laki. Namun, situasi saat itu memang laki-laki memiliki keleluasaan yang lebih dibandingkan dengan perempuan dalam berbagai bidang. Dengan demikian maka kaum adam dijadikan patokan, ingin bisa belajar, bersosial, bekerja, dan berperan di masyarakat “sama seperti laki”. Padahal bukan saing-menyaingi poin utamanya, tapi diri sendiri dapat berkembang.
Sebuah penggalan surat Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, “kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
Tidak ada satupun kalimat yang mengindikasikan keirian ataupun persaingan dengan laki-laki. Sangat lugas pada kalimat “agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya” mengindikasikan goal dari perjuangan Kartini adalah berkembangnya seorang wanita dalam kewanitaannya.
Salah Arah
Perbandingan dengan laki-laki mengacaukan arah perjuangan Kartini, motivasi emansipasi berubah menjadi kesetaraan. Emansipasi perempuan sekarang mayoritas mengacu pada gerakan feminisme yang menurut Susilaningsih Kuntowijoyo, M.A sangat erat dengan women liberation movement. Gerakan tersebut dikenal dengan Women’s Lib yang merupakan suatu gerakan perubahan peran dan status wanita. Situasi tersebut dipicu karena beberapa abad ini, barat memang manjadi trend centre dalam segala hal sehingga meniru mereka sering dianggap sebagai langkah tepat.
Menurut Prof. H. A. Mukti Menteri Agama RI tahun 1971 – 1978 “seorang ibu yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dan terhormat dalam masyarakat hendaklah selamanya ingat dan sadar bahwa Ibu adalah Ibu”. Khas perbedaan gerakan wanita di Barat membuat suatu perubahan dengan tujuan akhir kesetaraan gender sedangkan gerakan wanita di Timur adalah membuat langkah bijaksana dalam menjalankan peran di keluarga dan karir secara harmonis. Harus ada kesadaran bahwa emansipasi haruslah sesuai dengan jati diri.
Pesan Kartini
Agar eksistensinya diakui, dokter tidak perlu menjadi hakim, semua dapat berkembang menjadi hingga titik maksimal dalam spesialisasinya masing-masing. Revolusi perempuan seharusnya berkutat pada koridor terbatas, tetap menjadi diri sendiri dengan kualitas yang terus meningkat. Wanita berkembang dalam kodrat kewanitaan adalah pilihan terbaik seperti yang diungkapkan Kartini dalam surat kepada Nyonya Abendon “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Perempuan harus mengenyam pendidikan tinggi agar menjadi sosok terdidik, bukan untuk mengalahkan ataupun mengambil alih peran laki-laki. Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 menegaskah bahwa tuntutan pendidikan untuk kaum perempuan sama sekali tidak berhubungan dengan kesetaraan gender. Gugatan pemenuhan hak mengenyam pendidikan tidak dilandasi rasa benci dan iri, tapi misi mulia agar kaumnya menjadi ibu yang berkualitas.
Pesan selanjutnya adalah perempuan harus menjadi seorang ibu yang cakap sehingga mampu mendidik generasi penerus dengan baik. Surat Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, “kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu”. Rumah menjadi madrasah dan ibu menjadi guru yang paling baik buat anak-anaknya.
Terakhir adalah Kartini mendambakan sinergi antara sekolah dan orang tua (ibu). Surat Kartini pada Prof. Anton mengatakan bahwa “bukanlah sekolah itu saja yang mendidik hati sanubari itu, melainkan pergaulan di rumah terutama harus mendidik pula! Sekolah mencerdaskan pikiran di rumah tangga membentuk watak anak. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah rumah tangga dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu yaitu pendidikan yang membentuk budinya”. Dalam surat ini sangat jelas bahwa Kartini menuntut komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua agar anak tumbuh dengan baik.
Dengan demikian maka keserasian perempuan terhadap pemikiran Kartini dapat diukur dari perannya sebagai wanita, bukan dari segi penghasilan ataupun jabatan. Selamat hari, mengingat, memahami, dan meneladani Kartini.

Dimuat pada Harian Analisa tanggal 21 April 2018