Peringatan hari Kartini
nampak sangat meriah, mayoritas perempuan Indonesia menyambutnya dengan
antusias. Gagasan-gagasan putri Jepara yang tertuang dalam lembaran surat
sangat melegenda. Cara berpikir dianggap melampaui jamannya dan dijadikan
kiblat oleh banyak kaum hawa. Keistimewaan tersebut membuat pada tahun 1964,
Ir. Soekarno menginginkan jiwanya terus hidup sehingga mengeluarkan Kepres RI no.108
menetapkan tanggal 21 April sebagai hari Kartini.
Sekilas Tentang Kartini
Perjuangan R. A.
Kartini berawal dari dikriminasi yang dirasakannya menimpa perempuan pada masa
kolonial. Masa penjajahan membuat fasilitas pendidikan sangat minim dan adat Jawa
secara arogan membuat sekat tebal antara laki-laki dan perempuan, khusunya
mengenai hak mengenyam pendidikan. Kedua kondisi adalah kombinasi sempurna
untuk mengerdilkan potensi kaum ibu.
Salah satu hal istimewa
yang dimiliki Kartini adalah rasa ingin tahunya yang sangat tinggi, namun jiwa
kritis yang dimilikinya tampak tidak cocok berada di zaman itu. Sekalipun
terlahir di keluarga terpandang, tidak lantas membuatnya dapat belajar dengan
sesuka hati. Sebenarnya Kartini kecil sudah jauh lebih beruntung daripada
perempuan lain, dapat mengenyam sekolah dan dapat pendidikan agama, walaupun
relatif hanya sedikit. Namun, kala itu situasi negeri yang sedang dinahkodai
asing memang tidak menginginkan pribumi menjadi sosok pintar.
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam
melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya
agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku,
kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya?” (Surat Kartini kepada
Stella, 6 November 1899). Pada masa itu sangat sulit mencari majelis terlebih
bagi seseorang yang sangat terbatas untuk keluar rumah, praktis belajar agama
sangat terbatas.
Emansipasi
Serba terbatas dalam
menuntut mengembangkan diri adalah fokus utama keluh-kesah Kartini, bukan
keiirian pada kaum laki-laki. Namun, situasi saat itu memang laki-laki memiliki
keleluasaan yang lebih dibandingkan dengan perempuan dalam berbagai bidang.
Dengan demikian maka kaum adam dijadikan patokan, ingin bisa belajar,
bersosial, bekerja, dan berperan di masyarakat “sama seperti laki”. Padahal bukan
saing-menyaingi poin utamanya, tapi diri sendiri dapat berkembang.
Sebuah penggalan surat
Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, “kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan,
bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi
saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin
pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Tidak ada satupun
kalimat yang mengindikasikan keirian ataupun persaingan dengan laki-laki.
Sangat lugas pada kalimat “agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya”
mengindikasikan goal dari perjuangan Kartini adalah berkembangnya seorang
wanita dalam kewanitaannya.
Salah Arah
Perbandingan dengan
laki-laki mengacaukan arah perjuangan Kartini, motivasi emansipasi berubah
menjadi kesetaraan. Emansipasi perempuan sekarang mayoritas mengacu pada
gerakan feminisme yang menurut Susilaningsih Kuntowijoyo, M.A sangat erat
dengan women liberation movement.
Gerakan tersebut dikenal dengan Women’s
Lib yang merupakan suatu gerakan perubahan peran dan status wanita. Situasi
tersebut dipicu karena beberapa abad ini, barat memang manjadi trend centre dalam segala hal sehingga
meniru mereka sering dianggap sebagai langkah tepat.
Menurut Prof. H. A.
Mukti Menteri
Agama RI tahun 1971 – 1978 “seorang ibu yang berhasil mencapai kedudukan
tinggi dan terhormat dalam masyarakat hendaklah selamanya ingat dan sadar bahwa
Ibu adalah Ibu”. Khas perbedaan
gerakan wanita di Barat membuat suatu perubahan dengan tujuan akhir kesetaraan
gender sedangkan gerakan wanita di Timur adalah membuat langkah bijaksana dalam
menjalankan peran di keluarga dan karir secara harmonis. Harus ada kesadaran
bahwa emansipasi haruslah sesuai dengan jati diri.
Pesan Kartini
Agar eksistensinya diakui,
dokter tidak perlu menjadi hakim, semua dapat berkembang menjadi hingga titik
maksimal dalam spesialisasinya masing-masing. Revolusi perempuan seharusnya
berkutat pada koridor terbatas, tetap menjadi diri sendiri dengan kualitas yang
terus meningkat. Wanita berkembang dalam kodrat kewanitaan adalah pilihan
terbaik seperti yang diungkapkan Kartini dalam surat kepada Nyonya Abendon “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya,
tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Perempuan harus
mengenyam pendidikan tinggi agar menjadi sosok terdidik, bukan untuk
mengalahkan ataupun mengambil alih peran laki-laki. Kartini pada Prof. Anton
dan Nyonya, 4 Oktober 1902 menegaskah bahwa tuntutan pendidikan untuk kaum
perempuan sama sekali tidak berhubungan dengan kesetaraan gender. Gugatan
pemenuhan hak mengenyam pendidikan tidak dilandasi rasa benci dan iri, tapi
misi mulia agar kaumnya menjadi ibu yang berkualitas.
Pesan selanjutnya
adalah perempuan harus menjadi seorang ibu yang cakap sehingga mampu mendidik
generasi penerus dengan baik. Surat Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4
Oktober 1902, “kami yakin pengaruhnya
yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan
kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya:
menjadi ibu”. Rumah menjadi madrasah dan ibu menjadi guru yang paling baik
buat anak-anaknya.
Terakhir adalah Kartini
mendambakan sinergi antara sekolah dan orang tua (ibu). Surat Kartini pada
Prof. Anton mengatakan bahwa “bukanlah
sekolah itu saja yang mendidik hati sanubari itu, melainkan pergaulan di rumah
terutama harus mendidik pula! Sekolah mencerdaskan pikiran di rumah tangga
membentuk watak anak. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah rumah tangga
dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang
berat itu yaitu pendidikan yang membentuk budinya”. Dalam surat ini sangat
jelas bahwa Kartini menuntut komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua
agar anak tumbuh dengan baik.
Dengan demikian maka
keserasian perempuan terhadap pemikiran Kartini dapat diukur dari perannya
sebagai wanita, bukan dari segi penghasilan ataupun jabatan. Selamat hari,
mengingat, memahami, dan meneladani Kartini.
Dimuat pada Harian Analisa tanggal 21 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar