Social Icons

Pages

Senin, 23 April 2018

Menerjemahkan Emansipasi Ketimuran Kartini



Peringatan hari Kartini nampak sangat meriah, mayoritas perempuan Indonesia menyambutnya dengan antusias. Gagasan-gagasan putri Jepara yang tertuang dalam lembaran surat sangat melegenda. Cara berpikir dianggap melampaui jamannya dan dijadikan kiblat oleh banyak kaum hawa. Keistimewaan tersebut membuat pada tahun 1964, Ir. Soekarno menginginkan jiwanya terus hidup sehingga mengeluarkan Kepres RI no.108 menetapkan tanggal 21 April sebagai hari Kartini.
Sekilas Tentang Kartini
Perjuangan R. A. Kartini berawal dari dikriminasi yang dirasakannya menimpa perempuan pada masa kolonial. Masa penjajahan membuat fasilitas pendidikan sangat minim dan adat Jawa secara arogan membuat sekat tebal antara laki-laki dan perempuan, khusunya mengenai hak mengenyam pendidikan. Kedua kondisi adalah kombinasi sempurna untuk mengerdilkan potensi kaum ibu.
Salah satu hal istimewa yang dimiliki Kartini adalah rasa ingin tahunya yang sangat tinggi, namun jiwa kritis yang dimilikinya tampak tidak cocok berada di zaman itu. Sekalipun terlahir di keluarga terpandang, tidak lantas membuatnya dapat belajar dengan sesuka hati. Sebenarnya Kartini kecil sudah jauh lebih beruntung daripada perempuan lain, dapat mengenyam sekolah dan dapat pendidikan agama, walaupun relatif hanya sedikit. Namun, kala itu situasi negeri yang sedang dinahkodai asing memang tidak menginginkan pribumi menjadi sosok pintar.
Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899). Pada masa itu sangat sulit mencari majelis terlebih bagi seseorang yang sangat terbatas untuk keluar rumah, praktis belajar agama sangat terbatas.
Emansipasi
Serba terbatas dalam menuntut mengembangkan diri adalah fokus utama keluh-kesah Kartini, bukan keiirian pada kaum laki-laki. Namun, situasi saat itu memang laki-laki memiliki keleluasaan yang lebih dibandingkan dengan perempuan dalam berbagai bidang. Dengan demikian maka kaum adam dijadikan patokan, ingin bisa belajar, bersosial, bekerja, dan berperan di masyarakat “sama seperti laki”. Padahal bukan saing-menyaingi poin utamanya, tapi diri sendiri dapat berkembang.
Sebuah penggalan surat Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, “kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
Tidak ada satupun kalimat yang mengindikasikan keirian ataupun persaingan dengan laki-laki. Sangat lugas pada kalimat “agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya” mengindikasikan goal dari perjuangan Kartini adalah berkembangnya seorang wanita dalam kewanitaannya.
Salah Arah
Perbandingan dengan laki-laki mengacaukan arah perjuangan Kartini, motivasi emansipasi berubah menjadi kesetaraan. Emansipasi perempuan sekarang mayoritas mengacu pada gerakan feminisme yang menurut Susilaningsih Kuntowijoyo, M.A sangat erat dengan women liberation movement. Gerakan tersebut dikenal dengan Women’s Lib yang merupakan suatu gerakan perubahan peran dan status wanita. Situasi tersebut dipicu karena beberapa abad ini, barat memang manjadi trend centre dalam segala hal sehingga meniru mereka sering dianggap sebagai langkah tepat.
Menurut Prof. H. A. Mukti Menteri Agama RI tahun 1971 – 1978 “seorang ibu yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dan terhormat dalam masyarakat hendaklah selamanya ingat dan sadar bahwa Ibu adalah Ibu”. Khas perbedaan gerakan wanita di Barat membuat suatu perubahan dengan tujuan akhir kesetaraan gender sedangkan gerakan wanita di Timur adalah membuat langkah bijaksana dalam menjalankan peran di keluarga dan karir secara harmonis. Harus ada kesadaran bahwa emansipasi haruslah sesuai dengan jati diri.
Pesan Kartini
Agar eksistensinya diakui, dokter tidak perlu menjadi hakim, semua dapat berkembang menjadi hingga titik maksimal dalam spesialisasinya masing-masing. Revolusi perempuan seharusnya berkutat pada koridor terbatas, tetap menjadi diri sendiri dengan kualitas yang terus meningkat. Wanita berkembang dalam kodrat kewanitaan adalah pilihan terbaik seperti yang diungkapkan Kartini dalam surat kepada Nyonya Abendon “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
Perempuan harus mengenyam pendidikan tinggi agar menjadi sosok terdidik, bukan untuk mengalahkan ataupun mengambil alih peran laki-laki. Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902 menegaskah bahwa tuntutan pendidikan untuk kaum perempuan sama sekali tidak berhubungan dengan kesetaraan gender. Gugatan pemenuhan hak mengenyam pendidikan tidak dilandasi rasa benci dan iri, tapi misi mulia agar kaumnya menjadi ibu yang berkualitas.
Pesan selanjutnya adalah perempuan harus menjadi seorang ibu yang cakap sehingga mampu mendidik generasi penerus dengan baik. Surat Kartini pada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902, “kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu”. Rumah menjadi madrasah dan ibu menjadi guru yang paling baik buat anak-anaknya.
Terakhir adalah Kartini mendambakan sinergi antara sekolah dan orang tua (ibu). Surat Kartini pada Prof. Anton mengatakan bahwa “bukanlah sekolah itu saja yang mendidik hati sanubari itu, melainkan pergaulan di rumah terutama harus mendidik pula! Sekolah mencerdaskan pikiran di rumah tangga membentuk watak anak. Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah rumah tangga dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu yaitu pendidikan yang membentuk budinya”. Dalam surat ini sangat jelas bahwa Kartini menuntut komunikasi intensif antara sekolah dan orangtua agar anak tumbuh dengan baik.
Dengan demikian maka keserasian perempuan terhadap pemikiran Kartini dapat diukur dari perannya sebagai wanita, bukan dari segi penghasilan ataupun jabatan. Selamat hari, mengingat, memahami, dan meneladani Kartini.

Dimuat pada Harian Analisa tanggal 21 April 2018 

TEACHERS’ DIFFICULTIES AND STRATEGIES IN PHYSICS TEACHING AND LEARNING THAT APPLYING MATHEMATICS


Heri Retnawati,
Janu Arlinwibowo,
Nidya F. Wulandari,
Rian G. Pradani


Abstract

In a teaching and learning process, the mastery of mathematics would support students in learning physics. The aim of the research is to analyse the difficulties of physics teachers’ in conducting teaching and learning process that demands the requirements of mathematical concepts in senior high schools. The research was a qualitative research using phenomenological approach. The data were collected through focus group discussion (FGD) that involved 15 teachers from public and private senior high schools in the Kudus Regency, the Province of Central Java, Indonesia. The analysis was conducted by applying the Bogdan & Biklen model. The results of the research showed several findings if there had been problems of un-synchronism in the material orders of mathematics and physics that hindered the teaching and learning process. The strategies that physics teachers had applied individually are teaching mathematics materials as prerequisite first and making module collaboratively. The new arrangement of teaching and learning materials in mathematics and physics are needed to cover the problems.

Keywords: mathematics mastery, physics teaching, learning process, difficulties and
strategies.

If you wanna get full paper, you can klik [full paper]

IMPLEMENTING THE COMPUTER-BASED NATIONAL EXAMINATION IN INDONESIAN SCHOOLS: THE CHALLENGES AND STRATEGIES

Heri Retnawati, Samsul Hadi, Ariadie C. Nugraha
Yogyakarta State University, Indonesia
E-mail: heri_retnawati@uny.ac.id, samsul_hd@uny.ac.id, ariadie@uny.ac.id
Janu Arlinwibowo
Muhammadiyah Health Sciences School of Kudus, Indonesia
E-mail: januarlinwibowo@windowslive.com
Eny Sulistyaningsih, Hasan Djidu, Ezi Apino, Heni D. Iryanti
Yogyakarta State University, Indonesia
E-mail: enylistya@gmail.com, hasandjidu@gmail.com,
apino_ezi@gmail.com, heni.iryanti@gmail.com


Abstract
In line with technological development, the computer-based national examination (CBNE) has become an urgent matter as its implementation faces various challenges, especially in developing countries. Strategies in implementing CBNE are thus needed to face the challenges. The aim of this research was to analyse the challenges and strategies of Indonesian schools in implementing CBNE. This research was qualitative phenomenological in nature. The data were collected through a questionnaire and a focus group discussion. The research participants were teachers who were test supervisors and technicians at junior high schools and senior high schools (i.e. Level 1 and 2) and vocational high schools implementing CBNE in Yogyakarta, Indonesia. The data were analysed using the Bogdan and Biklen model. The results indicate that (1) in implementing CBNE, the schools should initially make efforts to provide the electronic equipment supporting it; (2) the implementation of CBNE is challenged by problems concerning the Internet and the electricity supply; (3) the test supervisors have to learn their duties by themselves and (4) the students are not yet familiar with the beneficial use of information technology. To deal with such challenges, the schools employed strategies by making efforts to provide the standard electronic equipment through collaboration with the students’ parents and improving the curriculum content by adding information technology as a school subject.
Keywords: computer-based national examination, challenges in implementing CBNE, strategies for implementing CBNE.

If you wanna get full paper, you can klik [full paper]