Social Icons

Pages

Jumat, 27 Juni 2014

Ngalor-ngidul menjelang 9 Juli 2014



“Pesta demokrasi”
Hmmm…itulah yang menjadi jargon walaupun saya tidak sepenuhnya setuju dengan kalimat tersebut. kenapa demikian? Dalam benak saya, suatu perta itu adalah selebrasi kebahagiaan, penuh canda gurau, penuh keramahan, penuh cinta. Singkatnya pesta itu full dengan keindahan dan perdamaian. Tapi coba kita perhatikan pesta demokrasi kita? Penuh ketegangan, banyak fitnah, sering ditemukan nada saling melecehkan. Bahkan salah satu capres, bapak Prabowo bilang kalau masyarakat/pendukung capres lebih galak dari capresnya (debat pres 3).Dimananya to pestanya? Dimana seneng-senengnya? Dimana keramahannya…Hehe… (maaf kepada pencetus jargon…hehehe)
Sebenarnya saya sudah lama pengen menulis mengenai pemilu ini, namun karena kemarin ada ujian jadi baru kali ini bisa meluapkan pikiran.
Sejujurnya sampai detik ini saya bingung dengan pilihan saya, saya belum memantabkan hati saya, siapakah yang akan saya pilih di 9 Juli 2014. Dan semakin lama, bukannya semakin terang malah semakin berkabut. Dulu saya sangat kagum dengan pak jokowi, lewat media sering saya dengar banyak sekali terobosan dan prestasi dalam kepemimpinannya. Seiring berjalannya waktu saya pun melihat sosok pak prabowo yang sangat matematis, nampak sangat realistis dan memiliki wawasan kuat sebagai bekal. Kedua calon ini sangat bagus apalagi pak jokowi didampingi oleh pak JK yang syarat pengalaman dan pak prabowo didampingi oleh pak Hatta yang memiliki kontrol emosi cukup baik.

Prihatin….
Saya mencoba menyimak televise yang menyiarkan tentang profil ataupun paparan visi misi. Saya lihat di salah satu program yang mempertemukan jurkam kedua belah pihak. Ya ampun, semakin mantab saya menyimpulkan ini bukan pesta bagi saya. Saling hujat dan saling menjelekan, motif dukungan juga tidak jelas.
Ada yang mendukung karena sakit hati dengan capres yang lain, ada yang mendukung karena dijanjikan jabatan yang lebih dari menteri. Lebih prihatin lagi ketika ada pertanyaan “kesan baik pada lawan politik?”… yang satu menjawab dengan “blusukan” sambil muka mengejek, yang satu menjawab “pintar merawat kuda”. Ealah, bukan suatu yang sulit untuk memuji Jokowi dan Prabowo karena mereka adalah orang terpilih.
Di area debat malah saling hujat. Prabowo dihujat dengan pelanggaran HAM dan status sebagai “pecatan” TNI, Jokowi dihujat sebagai boneka dan rakus jabatan. Semua materi tidak memberikan kemapanan pada hati saya untuk memilih.
Nampaknya JKW-JK dan PRB-Hatta salah milih jurkam… Cuma satu pembicara yang terlihat elegan dan cerdas dari keenam pembicara… Dan saya kapok lihat debat kalo yang debat bukan capresnya… :p

Lucu lagiii…
Lagi pada rebut hasil survey…
TV nya pendukung Jokowi selalu menampilkan bahwa Jokowi unggul telak atas Prabowo, sedangkan TV pendukung Prabowo menampilkan bahwa Prabowo mulai unggul atas Jokowi…
Bebarapa waktu saya dengar pihak Prabowo menyindir bahwa salah satu lembaga survey yang menampilkan keunggulan elektabilitas Jokowi adalah lembaga yang dibayar oleh jokowi. Lembaga tersebut tidak terima dengan hal tersebut…rame deh…
Gak jelas banget, tak usahlah gubris hasil survey…yang penting hasilnya besuk… :p

Milih yoook (bingung)…
Sebagai warga negara, jelas dong saya ingin pemimpin yang paling baik. Ngutip dari mata najwa ah… “kita tidak mencari pemimpin yang sempurna”. Mulai dari situlah muncul isyarat untuk membandingkan kedua calon. Kriteria “baik” tentu subjektif, turunan dari pola pikir kita masing-masing. Kalau istri saya katanya lebih suka jokowi “tu senyumnya lucu”…hahaha…
Awal perbandingan yang saya lakukan adalah dengan berbincang dengan teman mengenai capres. Diskusi saya lakukan dengan teman yang sudah menetapkan pilihannya, ketika berbincang dengan macan asia fansclub saya berposisi sebagai jkw’ers, sebaliknya ketika saya berbincang dengan pendekar dua jari maka saya berposisi sebagai serdadu ahmad dani. Pura-puranya bunglon…hehe
Selain itu saya juga mencari info melalui debat capres karena itu nampaknya lebih baik daripada suara-suara jurkam yang geje!!!
Dari berbagai perbincangan, ada banyak yang memilih prabowo dengan alasan singkat namun fundamen, “Indonesia belum bisa dipimpin oleh sipil”. Nampak bukan? Bahwa masyarakat kita sangat historis. Mereka lihat kondisi negara saat dipimpin oleh Suharto dan SBY, dipandang lebih baik. Eiiits jangan langsung dipercaya, krisis moneter 98 karena pak tentara lho… “isih ra penak jamanku tooo…”…hehehe…
Pandangan seperti itu pula yang digunakan Gerindra untuk mengambil hati. Gaya bahasa prabowo pun sedikitnya menyerupai pak harto “….ken”. Nampaknya calon presiden no. urut 1 ini paham betul pemikiran masyarakat yang beberapa merasakan kekangenan dengan sosok Suharto.
Namun maaf, alasan itu belum cukup untuk meyakinkan saya, presiden harus dari kalangan militer, Bung Karno dan Bung Hatta rakyat sipil lho… Oleh karena itu jangan serta merta mejugde bahwa militer lebih tegas dari sipil. Tegas apanya? Kalau galak mungkin… Suara keras mungkin… Tapi tegas belum tentu… Tegas yang kita harapkan adalah tegas dalam ranah kebenaran.
Calon presiden nomor urut 2 memiliki popularitas yang luar biasa, sering menjadi artis di media, khas dengan baju kotak-kotas dan senyumnya. Pendukung dari capres ini pun sangat banyak, dianggap sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat, sering blusukan, eksekutor yang anti kompromi. Dipandang merupakan pemimpin yang memiliki trek rekor baik dan mulai dari bawah, walikota, gubernur lalu mencalonkan diri menjadi presiden.
Namun sayangnya, dari 3 periode jabatannya, dua diantaranya tidak selesai, mengundurkan diri untuk mencalonkan diri agar memperoleh jabatan yang lebih tinggi. Muncul berbagai opini,
1.       Jokowi sebagai boneka, elektabilitasnya dimanfaatkan untuk menyelamatkan muka partai, (di partai itu tidak ada calon lain yang memiliki peluang menjadi presiden sebesar jokowi), singkat kata “boneka” sehingga rela meninggalkan jawabatannya yang belum rampung.
2.       Jokowi sangat dinantikan rakyat, tidak ada waktu lagi untuk menunggu pilihan presiden tahun mendatang sehingga beliau dapat menyelesaikan jabatan sebagai gubernur karena Indonesia harus segara dimajukan, melalui kepemimpinan jokowi
Kebenaran dari kedua opini tersebut tidak ada yang tahu pasti, semoga opini kedualah yang benar.
Prabowo dengan sistem ekonominya
Dari sudut pandang visi dan misi kedua capres sama baiknya, sama-sama bertujuan untuk memajukan bangsa, sama-sama berpikiran futuristik. Namun pasti ada perbedaan dalam penekanan. Prabowo berulang-ulang membahas tentang perekonomian. Prabowo menilai bahwa ekonomi bangsa ini ada yang salah seperti bocornya 1000T. Singkatnya Prabowo mengusung ekonomi kerakyatan anti neoliberalism… (pakai sistem ekonomi syariah saja pak….sragam…)
Yang lebih mengagetkan saya, Prabowo berkeinginan memberantas korupsi dengan menaikan gaji pegawai pemerintah termasuk DPR dll. Waduuuh…hehehe… Mengutip kalimat pak Abraham Samad, “Korupsi itu bukan karena koruptor kurang uang, tp karena serakah”. Lalu pertanyaanya apakah benar itu penambahan gaji akan memberantas korupsi? Maaf saya sangsi dengan teori ini. Saya khawatir jika itu terjadi. Maaf sedikit fulgar, saat ini untuk menjadi PNS dengan gaji 2 juta saja rela menyuap, untuk menjadi anggota POLRI dengan gaji katakanlah 3 juta saja bisa menyuap sampe dengan nominal 250 juta. Itu semua terjadi karena pegawai negeri begitu popular, dianggap sangat menjamin kemapanan sehingga orang rela menggelontorkan uang, berlomba-lomba menggelontorkan uang untuk menjadi pegawai negeri. Kalau gaji pegawai negeri ditingkatkan? Katakanlah gaji PNS IIIa adalah 4 juta, atau gaji anggota POLRI menjadi dua kali lipat dari semula, hasilnya adalah “biaya masuk jadi pegawai negeri bisa naik, bisa-bisa masuk POLRI mencapai 500 juta”. Singkatnya tidak ada hubungannya dengan tujuan awal.
Sama pula tentang DPR. Pertanyaan besar muncul, kenapa orang ingin menjadi DPR? Karena jabatan DPR itu strategis, strategis untuk berbagai hal sehingga dapat memberikan banyak peluang untuk mendapatkan penghasilan. Kalau gaji DPR dinaikan, semakin populer, malahan orang semakin ngotot untuk menjadi DPR sehingga dana kampanye bisa berlipat ganda. Lagi-lagi tidak ada hubungannya dengan tujuan awal, yaitu pemberantasan korupsi.
Kenapa demikian? Karena prabowo tidak menyampaikan suatu gagasan hukum yang tegas berkaitan dengan konsekuensi penaikan gaji pegawai negara. Seandainya ada konsekuensi, dinaikannya gaji berarti dilipatgandakan pula hukuman bagi pelanggaran, mungkin itu lebih menggigit. Mengingkatkan gaji adalah kendaraan untuk menegaskan hukum pada telaku korupsi.

Jokowi dengan sistem pendidikannya
Dari segi ekonomi, pandangan kedua capres nampak berbeda, jokowi lebih kepada anggaran efisien. Namun saya tidak terlalu tertarik mengamatinya. Saya lebih tertarik dengan seruan jokowi mengenai “revolusi mental”. Revolusi mental yang digagas jokowi dilaksanakan dengan kendaraan pendidikan, dimana pendidikan akan mengutamakan dapa pembangunan karakter.
Secara umum saya sangat setuju dengan Jokowi, namun yang menjadi masalah adalah konstruksi pendidikannya? Saya belum mendengar kaitan statement Jokowi dengan kurikulum 2013? Apakah setelah Jokowi naik, aka nada kurikulum 2014? Atau kurikulum yang telah ada dilakukan penyempurnaan? Atau kurikulum 2013 ini saja sudah cukup? Ini menjadi pertanyaan besar dalam benak saya. Bukan persoalan mudah untuk mengonstruksi pendidikan menjadi suatu wahana yang dapat membentuk karakter siswa. 
Sedikit masalah revolusi mental, mohon pak Jokowi, umatnya yang pakai merah-merah itu, yang suka gembor-gembor itu mentalnya gmn ya? Arogan di jalan, polusi suara (knalpot blombongan), mengganggu kenyamanan (bikin macet), boros BBM (gembor-gembor)…Mungkin bisa diserukan “jangan dukung saya jika mentalnya kayak gitu…” hehehe
Masalah lain yang menarik adalah pada kartu sehat. Bagaimanakah peran kartu ini, apakah kartu ini adalah perwujudan lain dari BPJS? Atau benar-benar digratiskan. Mungkin saya yang belum dengar atau mungkin memang belum dipaparkan, langkah jokowi sendiri adalah fokus pada penyediaan fasilitas kesehatan, sedangkan membina masyarakat yang sehat tidak dikupas lebih tajam. Masalah kesadaran masyarakat untuk berperilaku preventif terhadap kesehatan tidak ditekan. Apakah benar negara ini mau membina orang-orang yang sakit? Lantas mengobatinya? Bukankah lebih bijak membina masyarakat yang sehat sehingga sedikit masyarakat yang sakit?
Banyak sekali aspek yang membuat masyarakat nampak menyia-nyiakan kesehatannya, seperti merokok dan minuman keras. Bagaimana mungkin suatu benda yang dapat mengganggu kesehatan dibiarkan beredar luas? Nampaknya saya masih mempertanyakan sistem kartu sehat dan konsentrasi pak Jokowi terhadap kesehatan.

Dan akhirnya saya masih bingung…
Mohon informasi jika ada…