Terjadi perubahan besar di dunia
pendidikan pada tahun 2017, yaitu pergeseran kewenangan pengelolaan SMA dan SMK
dari kabupaten ke provinsi sesuai dengan muatan dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Konsekuensi setiap perubahan pasti akan
menimbulkan banyak penyesuaian. Pemerintah provinsi terus tata-menata hingga
saat ini agar sistem dapat berjalan dengan baik.
Satu hal paling sensitif yang ikut
berubah akibat pergeseran kewenangan adalah penyesuaian anggaran. Nampak jelas pada
penggajian guru, pada bulan Januari 2017, data dari Kudus menyebutkan bahwa
gaji guru PNS turun pada kisaran tanggal 10 Januari 2017. Sedangkan untuk TPP,
hingga pertengahan bulan Maret belum ada pencairan. Namun sekelumit masalah tersebut
tidak menimbulkan guncangan, PNS relatif mudah memahami situasi peralihan yang
sungguh ruwet.
Kudus, Semarang
dan Karanganyar
Awal polemik justru muncul dari tenaga
honorer. Kasus di Jawa Tengah, pemerintah provinsi masih belum dapat
menyelesaikan penganggaran untuk menggaji guru dan pegawai tidak tetap (GTT dan
PTT). Masalah menjadi pelik karena terdapat beberapa daerah seperti Kudus,
Semarang, dan Karangayar memiliki kebijakan full
gratis untuk siswa SMA dan SMK. Sumber dana sekolah untuk menggratiskan adalah
BOSN dan BOSDA, praktis sekolah mengalami defisit besar-besaran karena satu
mata ainya (BOSDA) mampat. Interval bulan Januari-Maret sangat nampak bahwa
sekolah sedang sekarat, keluhan selalu disampaiakn oleh guru ataupun kepala
sekolah. Jangankan menggaji guru dan pegawai tidak tetap, membayar listrik saja
sekolah kebingungan. Pada beberapa sekolah, kasus honor GTT dan PTT diupayakan
dari iuran PNS, walaupun jumlahnya tidak dapat sepadan dengan idealnya.
Solusi di angan-angan adalah dengan
melibatkan partisipasi masyarakat untuk menyumbang dana. Namun, sebelum ada
instruksi dan landasan hukum tentu sekolah tidak berani karena masalah sangat
sensitif sehingga dapat menimbulkan gejolak.
Restu Gubernur
Kebijakan Gubernur Jateng terkait
kejelasan anggaran yang telah lama dinantikan akhirnya datang. Tanggal
17/03/2017 pada audiensi dengan pegawai jajaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Jawa Tengah, Pergub terkait GTT dan PTT serta partisipasi (era lampau lazim
disebut sumbangan) masyarakat ditandatangani. Lebih lanjut dipaparkan Koran
Sindo 20/03/2017, GTT akan digaji oleh pemerintah melalui kontrak tahunan
dengan ketentuan guru mengajar minimal 24 jam dan memenuhi syarat linearitas. Bagi
yang tidak memenuhi ketentuan, tanggungjawab penggajian dilimpahkan ke sekolah.
Sementara untuk PTT sama sekali belum dianggakan.
Secara blak-blakan Heru Sudjatmoko
selaku Wakil Gubernur menyampaikan bahwa saat ini pihaknya hanya memiliki
alokasi dana Rp 124 Milyar, sedangkan kebutuhan total adalah Rp 132 Milyar
(Koran Sindo, 29/03/2017). Melihat kondisi tersebut maka harus ada alternatif
sumber dana lain. Dengan demikian maka Gubernur telah merestui adanya
partisipasi masyarakat untuk menyelamatkan keuangan sekolah sehingga semua
kembali berjalan normal.
Keget Namun
Sepakat
Restu gubernur adalah gerbang pembuka,
namun ternyata sekolah harus melalui labirin agar sampai pada tujuan. Liku-liku
yang paling sulit adalah penyampaian kebijakan pada masyarakat (orang tua atau
wali murid). Pemberitahuan bahwa akan ada pertisipasi bulanan berupa uang tentu
akan membuat kaget karena selama ini SMA dan SMK digratiskan. Pihak sekolah
cukup berhati-hati sebab dana pastisipasi untuk menggantikan peran BOSDA
terhitung lumayan yaitu kisaran Rp 100.000,00.
Masyarakat di tiga daerah yang
menerapkan sekolah gratis hingga SMA dan SMK sangat kaget mendengar desas-desus
akan adanya iuran bulanan. Sudah lama mereka merasakan entengnya sekolah tanpa
membayar sehingga telah lama pula anggaran rumah tangga untuk kepentingan SPP
telah dihapus. Dengan demikian maka adanya kebijakan melibatkan masyarakat
sebagai sumber pembiayaan operasional sekolah membuat manajer keluarga harus
memutar otak menanggarkannya, situasi tersebut selalu terasa berat. Melakukan
kilas balik biaya pendidikan dirasa dapat meredam kekagetan wali murid, pada
tahun 2007 biaya sekolah SMA dan SMK sudah tembus angka Rp 150.000,00.
Walaupun sekolah telah mengkalkulasikan
besaran partisipasi, namun untuk menentukan nominal finalnya, sekolah arus
melakukan musyawarah dengan pihak terkait. Sekolah harus menerangkan
seterang-terangnya agar masyarakat memahami landasan kebijakan dan keluarnya
besaran pastisipasi karena mayoritas manyarakat tidak tahu-menahu tentang
pergeseran kewenangan dan anggaran belanja sekolah.
Keterbukaan dan pemahaman akan membuat
kalimat sepakat menjadi lebih mudah terucap. Jika tidak memahami, perubahan
sering dikira mengada-ada untuk kepentingan yang tidak substansial. Padahal
saat ini sekolah sedang mengalami sekarat anggaran, satu-satunya sektor yang
dapat membantu adalah partisipasi masyarakat.
Tidak Perlu
Khawatir
Respon keras pada umumnya dilayangkan
oleh keluarga dengan finansial lemah. Bagi yang merasa anggaran pertisipasi
pendidikan mengganggu stabilitas ekonomi keluarga diharapkan tidak perlu
khawatir karena pemerintah dan sekolah tidak memukul rata semua masyarakat. Orangtua
siswa pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP) dibebaskan untuk tidak ikut ambil
bagian dalam partisipasi masyarakat. Pada umumnya, untuk menekankan
ketidakwajiban, sekolah tidak mengundang mereka dalam rapat koordinasi. Dengan
demikian tentunya hanya masyarakat dengan kemampuan finansial baik saja yang dilibatkan,
kalaupun ada wali murid non pemegang KIP namun lemah secara finansial turut
diundang tentu jumlahnya minoritas.
Masalah secara umum telah diselesaikan
dalam diskusi kesepakatam, namun masyarakat terait harus berani buka-bukaan
pada sekolah jika memang dirasa dirinya tidak mampu untuk meluangkan dana
partisipasi. Sekolah pasti memberikan solusi berupa pengurangan nominal
partisipasi atau bahkan penggratisan tergantung pada situasi dan kondisi. Tentunya
komunikasi yang dibangun harus melalui cara yang bijaksana yaitu melampirkan
data dan fakta penguat pendapat misal membawa
surat pengantar dari perangkat desa.
Dimanapun sekolahnya pasti
sangat terbuka menerima wali murid untuk diskusi. Menjadi pertisipan bijak
bukan berarti harus berdiam diri, namun harus terbuka tanpa mengada-ada
sehingga kebijakan baru dapat terealisasi tanpa ada pihak yang tersiksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar