Indonesia telah
melakukan tindakan cepat untuk melindungi hak pendidikan seorang difabel sejak
awal kemerdekaan. Berlandaskan sila 5 Pancasila yang berbunyi keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dan prinsip bhinneka tunggal ika, konstitusi
menelurkan pasal 31 ayat 1 UUD 45 yang menyatakan setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Arti kata “semua warga” adalah
segenap masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Jumlah difabel di
Indonesia relatif besar yaitu 6.008.661 orang (BPS, 2012). Untuk memfasilitasi
anak berkelaian usia sekolah, beberapa tahun silam pemerintah memasrahkan pada
institusi khusus yaitu sekolah luar biasa (SLB). Namun, masalahnya jumlah SLB
sangat sedikit yaitu hanya 1962 sekolah sehingga banyak tunanetra, tunarungu,
tunadaksa, dan tunagrahita tidak bersekolah karena alasan jarak tempuh.
Seiring berjalannya
waktu, konsep pendidikan terus berkembang dalam memfasilitasi seseorang agar
dapat memaksimalkan potensinya. Berkaitan dengan difabel, konsep pendidikan
inklusi dimunculkan sebagai suatu sistem sekolah terpadu. Di sekolah inklusi
semua siswa belajar di lingkungan yang sama. Melalui konsep pendidikan terpadu, siswa difabel dapat mengembangkan kemampuan bersosial sehingga
mampu bergaul secara baik (Bowen, 2010).
Merespon konsep
pendidikan inklusi, pemerintah melalui
Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan iklusif mengatur
keberlangsungan sekolah inklusi untuk memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus
sehingga dapat bersekolah di sekolah umum. Dalam Permendiknas tersebut
dipaparkan dengan lugas pada pasal 4 ayat 1 bahwa seharusnya minimal dalam satu
kecamatan terdapat satu sekolah inklusi yang dapat memfasilitasi siswa
berkebutuhan khusus belajar. Dengan
demikian maka diharapkan tidak ada lagi kasus anak berkebutuhan khusus tidak
mengenyam pendidikan karena alasan geografis.
Konsekuensi
Tedapat perubahan paradigma terhadap siswa berkelainan yang semula “exceptional children” menjadi “children with special need education”
sehingga orientasi pendidikan benar-benar fokus kebutuhan anak. Sudut pandang
tersebut menjadi alarm bagi setiap penyelenggara pendidikan inklusi agar siap
menyediakan berbagai fasilitas untuk setiap siswa.
Memberikan fasilitas pendidikan yang baik menjadi tantangan bagi setiap
institusi pendidikan. Sekolah yang telah ditasbihkan sebagai institusi inklusi
harus melakukan perombakan pada aksesibilitas sarana prasarana dan kompetensi
guru. Sarana prasarana sekolah haruslah menjamin kenyamanan dari seorang
penyandang keterbatasan, misal lantai dilengkapi guide block untuk memandu tunanetra dalam berjalan, tangga tanjakan
yang tidak licin dengan kemiringan kurang dari 60 derajat untuk siswa berkursi
roda, alarm yang dilengkapi tanda visual untuk tunarungu, dan berbagai macam
perombakan lain sehingga semua siswa dapat beraktifitas secara nyaman.
Penyediaan sarana prasarana mungkin bukan masalah besar bagi sekolah karena
dapat dikondisikan melalui jalur pengadaan. Masalah besar justru muncul pada
kemampuan sekolah dalam menyediakan pendidik yang mampu mengajar siswa dengan
baik. Akar permasalahannya adalah belum ada lembaga pendidikan tenaga keguruan
yang menyediakan jurusan untuk mendidik calon guru di sekolah inklusi sehingga
dapat mengajar siswa berkebutuhan normal dan khusus dalam satu kelas. Selama
ini universitas hanya membagi program studi menjadi pendidikan guru untuk
sekolah umum dan sekolah luar biasa. Praktis, semua guru di sekolah inklusi
adalah lulusan yang hanya memiliki kompetensi mengajar di sekolah umum sehingga
wajar jika kaget dan gagap saat di ruang kelasnya terdapat difabel.
Pemangku kebijakan telah meramalkan masalah tersebut sehingga menempatkan
guru pendidikan khusus (GPK) di sekolah inklusi sesuai Permendiknas
No. 70 tahun 2009 sebagai
pendamping pada saat siswa berkelainan memiliki kesulitan belajar atau guru
kesulitan mengajar. Selain itu GPK juga membangun koordinasi antara sekolah
dengan wali murid. GPK pada umumnya merupakan pengajar yang memiliki latar
belakang pendidikan luar biasa dan berpengalaman mengajar siswa berkebutuhan
khusus. Dengan demikian maka diharapkan dapat memberi solusi pada saat terjadi
masalah dalam proses pembelajaran.
Antisipasi lain adalah melalui berbagai pelatihan guna meningkatkan
kompetensi guru kelas atau mapel. Pelatihan pada umumnya menekankan pada
kompetensi pedagogik guru sehingga dapat memainkan fungsinya secara maksimal
sebagai pendidik di dalam maupun luar kelas.
Respon Serius
Semua pihak harus merespon serius konsekuensi
penyelenggaraan sekolah inklusi karena jika tidak, “inklusi” hanya akan menjadi
“judul tanpa isi”. Tidak mudah, namun semua elemen yang terlibat dalam
penyelenggaraan harus berkomitmen untuk terus meningkatkan mutu. Respon serius
pertama harus ditunjukan oleh pendidik sebagai ujung tombak penentu kesuksesan
penyelenggaraan pendidikan. Tidak ada alasan ketidakmampuan karena karena
kompetensi adalah tanggungjawab profesi. Guru harus memiliki semangat belajar
mandiri untuk menindaklanjuti bekal pelatihan yang telah diterima. Membuat
forum diskusi yang dilaksanakan secara kontinu dengan melibatkan GPK merupakan
langkah positif dalam meningkatan kemampuan mengajar di kelas inklusi. Bertukar
wawasan dan silang pendapat dalam pemecahan kasus dapat dimanfaatkan untuk saling
mencerahkan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah
inklusi memiliki problem yang lebih kompleks dibanding sekolah umum. Dengan
demikian maka jika ingin “maju”, menjalin sinergi dengan berbagai kalangan
seperti pemerintah dan lembaga non pemerintah adalah wajib hukumnya. Manajemen
sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah dituntut untuk kreatif dalam
menyelenggarakan program tambahan dalam mendukung ketercapaian tujuan sekolah
inklusi. Sangat mungkin manajemen sekolah membentuk “satuan tugas” dengan misi
khusus untuk menunjang kebutuhan penyelenggaraan sekolah inklusi melalui
sinergi dengan berbagai sumber.
Terakhir yang perlu diingat adalah pihak
sekolah akan tertatih-tatih jika tidak ada dukungan dari pemerintah pusat dan
daerah. Pemangku kebijakan merupakan tempat sekolah inklusi mengadu mengenai
berbagai masalah yang sulit dipecahkan. Dukungan moril dan dana harus diberikan
sehingga pendidikan terpadu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sokongan dapat
berupa dana untuk pemenuhan berbagai macam kebutuhan sekolah inklusi dan yang
tidak kalah penting adalah pemerintah dapat menyelenggarakan kerjasama dengan
universitas dalam riset metode, media, ataupun perangkat pembelajaran. Dengan
demikian maka guru akan mendapatkan keuntungan berupa referensi mutakhir
sebagai pertimbangan membuat skenario pembelajaran.
Mari kita pantau perkembangan pendidikan inklusi,
menuju pendidikan berbhinneka tunggal ika yang sebenarnya sesuai ideologi
Pancasila
Dipublikasikan pada harian Bhirawa 12 Maret 2017 [klik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar