Social Icons

Pages

Minggu, 16 April 2017

Konsekuensi Sekolah Inklusi



Indonesia telah melakukan tindakan cepat untuk melindungi hak pendidikan seorang difabel sejak awal kemerdekaan. Berlandaskan sila 5 Pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan prinsip bhinneka tunggal ika, konstitusi menelurkan pasal 31 ayat 1 UUD 45 yang menyatakan setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Arti kata “semua warga” adalah segenap masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Jumlah difabel di Indonesia relatif besar yaitu 6.008.661 orang (BPS, 2012). Untuk memfasilitasi anak berkelaian usia sekolah, beberapa tahun silam pemerintah memasrahkan pada institusi khusus yaitu sekolah luar biasa (SLB). Namun, masalahnya jumlah SLB sangat sedikit yaitu hanya 1962 sekolah sehingga banyak tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita tidak bersekolah karena alasan jarak tempuh.
Seiring berjalannya waktu, konsep pendidikan terus berkembang dalam memfasilitasi seseorang agar dapat memaksimalkan potensinya. Berkaitan dengan difabel, konsep pendidikan inklusi dimunculkan sebagai suatu sistem sekolah terpadu. Di sekolah inklusi semua siswa belajar di lingkungan yang sama. Melalui konsep pendidikan terpadu, siswa difabel dapat mengembangkan kemampuan bersosial sehingga mampu bergaul secara baik (Bowen, 2010).
Merespon konsep pendidikan inklusi, pemerintah melalui Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan iklusif mengatur keberlangsungan sekolah inklusi untuk memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus sehingga dapat bersekolah di sekolah umum. Dalam Permendiknas tersebut dipaparkan dengan lugas pada pasal 4 ayat 1 bahwa seharusnya minimal dalam satu kecamatan terdapat satu sekolah inklusi yang dapat memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus belajar. Dengan demikian maka diharapkan tidak ada lagi kasus anak berkebutuhan khusus tidak mengenyam pendidikan karena alasan geografis.
Konsekuensi
Tedapat perubahan paradigma terhadap siswa berkelainan yang semula “exceptional children” menjadi “children with special need education” sehingga orientasi pendidikan benar-benar fokus kebutuhan anak. Sudut pandang tersebut menjadi alarm bagi setiap penyelenggara pendidikan inklusi agar siap menyediakan berbagai fasilitas untuk setiap siswa.
Memberikan fasilitas pendidikan yang baik menjadi tantangan bagi setiap institusi pendidikan. Sekolah yang telah ditasbihkan sebagai institusi inklusi harus melakukan perombakan pada aksesibilitas sarana prasarana dan kompetensi guru. Sarana prasarana sekolah haruslah menjamin kenyamanan dari seorang penyandang keterbatasan, misal lantai dilengkapi guide block untuk memandu tunanetra dalam berjalan, tangga tanjakan yang tidak licin dengan kemiringan kurang dari 60 derajat untuk siswa berkursi roda, alarm yang dilengkapi tanda visual untuk tunarungu, dan berbagai macam perombakan lain sehingga semua siswa dapat beraktifitas secara nyaman.
Penyediaan sarana prasarana mungkin bukan masalah besar bagi sekolah karena dapat dikondisikan melalui jalur pengadaan. Masalah besar justru muncul pada kemampuan sekolah dalam menyediakan pendidik yang mampu mengajar siswa dengan baik. Akar permasalahannya adalah belum ada lembaga pendidikan tenaga keguruan yang menyediakan jurusan untuk mendidik calon guru di sekolah inklusi sehingga dapat mengajar siswa berkebutuhan normal dan khusus dalam satu kelas. Selama ini universitas hanya membagi program studi menjadi pendidikan guru untuk sekolah umum dan sekolah luar biasa. Praktis, semua guru di sekolah inklusi adalah lulusan yang hanya memiliki kompetensi mengajar di sekolah umum sehingga wajar jika kaget dan gagap saat di ruang kelasnya terdapat difabel.
Pemangku kebijakan telah meramalkan masalah tersebut sehingga menempatkan guru pendidikan khusus (GPK) di sekolah inklusi sesuai Permendiknas No. 70 tahun 2009 sebagai pendamping pada saat siswa berkelainan memiliki kesulitan belajar atau guru kesulitan mengajar. Selain itu GPK juga membangun koordinasi antara sekolah dengan wali murid. GPK pada umumnya merupakan pengajar yang memiliki latar belakang pendidikan luar biasa dan berpengalaman mengajar siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian maka diharapkan dapat memberi solusi pada saat terjadi masalah dalam proses pembelajaran.
Antisipasi lain adalah melalui berbagai pelatihan guna meningkatkan kompetensi guru kelas atau mapel. Pelatihan pada umumnya menekankan pada kompetensi pedagogik guru sehingga dapat memainkan fungsinya secara maksimal sebagai pendidik di dalam maupun luar kelas.
Respon Serius
            Semua pihak harus merespon serius konsekuensi penyelenggaraan sekolah inklusi karena jika tidak, “inklusi” hanya akan menjadi “judul tanpa isi”. Tidak mudah, namun semua elemen yang terlibat dalam penyelenggaraan harus berkomitmen untuk terus meningkatkan mutu. Respon serius pertama harus ditunjukan oleh pendidik sebagai ujung tombak penentu kesuksesan penyelenggaraan pendidikan. Tidak ada alasan ketidakmampuan karena karena kompetensi adalah tanggungjawab profesi. Guru harus memiliki semangat belajar mandiri untuk menindaklanjuti bekal pelatihan yang telah diterima. Membuat forum diskusi yang dilaksanakan secara kontinu dengan melibatkan GPK merupakan langkah positif dalam meningkatan kemampuan mengajar di kelas inklusi. Bertukar wawasan dan silang pendapat dalam pemecahan kasus dapat dimanfaatkan untuk saling mencerahkan.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah inklusi memiliki problem yang lebih kompleks dibanding sekolah umum. Dengan demikian maka jika ingin “maju”, menjalin sinergi dengan berbagai kalangan seperti pemerintah dan lembaga non pemerintah adalah wajib hukumnya. Manajemen sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah dituntut untuk kreatif dalam menyelenggarakan program tambahan dalam mendukung ketercapaian tujuan sekolah inklusi. Sangat mungkin manajemen sekolah membentuk “satuan tugas” dengan misi khusus untuk menunjang kebutuhan penyelenggaraan sekolah inklusi melalui sinergi dengan berbagai sumber.
            Terakhir yang perlu diingat adalah pihak sekolah akan tertatih-tatih jika tidak ada dukungan dari pemerintah pusat dan daerah. Pemangku kebijakan merupakan tempat sekolah inklusi mengadu mengenai berbagai masalah yang sulit dipecahkan. Dukungan moril dan dana harus diberikan sehingga pendidikan terpadu dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sokongan dapat berupa dana untuk pemenuhan berbagai macam kebutuhan sekolah inklusi dan yang tidak kalah penting adalah pemerintah dapat menyelenggarakan kerjasama dengan universitas dalam riset metode, media, ataupun perangkat pembelajaran. Dengan demikian maka guru akan mendapatkan keuntungan berupa referensi mutakhir sebagai pertimbangan membuat skenario pembelajaran. 
Mari kita pantau perkembangan pendidikan inklusi, menuju pendidikan berbhinneka tunggal ika yang sebenarnya sesuai ideologi Pancasila

Dipublikasikan pada harian Bhirawa 12 Maret 2017 [klik]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar