Social Icons

Pages

Jumat, 07 April 2017

Pendidikan Keluarga dan Orangtua Otodidak



Miris melihat kasus mega korupsi E-KTP, konflik kepentingan para elit, dan merebaknya kasus predator anak. Terdapat satu kalimat yang merupakan akar masalah yaitu “perkembangan kecerdasan pelaku kejahatan yang tidak seimbang”. Ada ketimpangan pada kemampuan intelegensi, emosi, dan spiritual sehingga penjahat melakukan perbuatan diluar nalar. Bukan bermaksud menyalahkan, tapi lebih untuk mengingatkan sebagai antisipasi masa mendatang bahwa orangtua memiliki peran fundamen dalam membentuk jati diri seseorang. Dengan demikian maka tidak ada nilai tawar bagi seorang ayah dan ibu untuk mampu mencetak anaknya seindah mungkin lalu menjaganya sampai kering dan mengeras sehingga bentuknya tidak berubah akibat benturan.
Proses Menjadi Orangtua
Predikat orangtua disandang oleh seseorang setelah melalui tahapan panjang, mulai dari anak, pelajar, menikah, kemudian dikaruniai anak sehingga disebut sebagai orangtua. Pernikahan merupakan fase peralihan saudara saudari menjadi bapak ibu sehingga tahap tersebut merupakan waktu yang tepat untuk melihat kesiapannya dititipi anak. Namun sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa jarang sekali calon mempelai yang mempersiapkan diri untuk menjadi sosok pembimbing anak yang baik. Hal yang kebanyakan dipikirkan dan disiapkan hanya pada lingkup materi saja seperti dana untuk menikah, rumah, dan mobil.
Sebenarnya pemerintah telah memiliki program mealui Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama RI nomor DJ.II/491 tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin untuk membekali calon mempelai agar dapat menjalani kehidupan berkeluarga dengan baik. Namun sayangnya program yang berdurasi 24 jam tersebut jarang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama karena berbagai alasan, seperti kurangnya dana. Akhirnya mempelai dibiarkan tanpa bekal berkembang dan belajar secara mandiri untuk mengarungi mahligai pernikahan.
Otodidak?
Pembelajar otodidak memiliki potensi sangat besar untuk gagal. Alasannya yaitu karena tidak ada guru dan kurikulum yang mengarahkan dalam proses mengusai sesuatu. Memang benar beberapa pembelajar otodidak sanggup menguasai ilmu yang ditekuninya dengan sangat baik, namun mayoritas diantaranya tidak mampu mengoptimalkan potensinya.
Kata otodidak tampaknya dapat mendeskripsikan proses seseorang dalam menjalani perannya sebagai orangtua, khususnya di Indonesia. Pemuda-pemudi dibiarkan tumbuh menuju usia menikah tanpa guru atau kurikulum tentang persiapan untuk berkeluarga. Mereka diliarkan meresapi semua pengalaman hanya dengan bekal kepekaan alami. Dengan demikian maka wajar jika banyak sekali fenomena penting yang terlewat atau adanya tafsiran keliru.
Memang saat ini, sumber belajar sudah sangat banyak. Jika dahulu pasutri muda berguru pada sesepuh saja, sekarang dapat mencari informasi parenting dari berbagai buku dan internet. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa adanya guru dan kurikulum, proses belajar sangat tidak terkontrol, sangat mungkin informasi yang didapatkan malah menjerumuskan. Sangat bahaya jika keterjerumusan tidak disadari dan terpelihara.
Praktikum Otodidak-ers
Terdapat fenomena lazim di sekitar kita yaitu anak pertama merupakan subjek eksperimen, seperti menyikapi anak marah, tidak mau makan, tidak mau mandi, dan sebagainya. Mendidik adalah perkara sikap orangtua yang presisi, pada umumnya standar awal mendidik sulung adalah dengan memberikan proteksi maksimal, namun tanpa ilmu yang cukup bisa jadi perilaku tersebut menghambat kemandirian, kemampuan bersosial, dan ketangguhan menghadapi masalah.
Hasil proses pendidikan anak pertama selalu dijadikan rujukan orangtua untuk mendidik anak kedua. Yang menjadi masalah adalah kemampuan evaluasi setiap orangtua sangat bervariasi. Kunci dari kualitas evaluasi adalah kepekaan dan tindak lanjut. Tidak semua orang mampu mendeteksi kesalahan yang dilakukan pada masa lampau. Jikalau mampu mendeteksi, belum tentu juga pada masa mendatang dapat melakukan perubahan ke arah positif. Fatal jika pendidikan dalam keluarga terperangkap dalam kekeliruan karena bereksperimen tanpa dibekali ilmu yang mumpuni dan didampingi fasilitator.
Menekankan (lagi) Urgensi
Dapat dibayangkan jika satu orang yang memiliki potensi hebat mengalami salah asuh, terbunuhlah kegemilangannya. Jika 70 tahun lalu seorang B. J. Habibie mengalami salah asuh sehingga bakatnya tidak berkembang maka tidak mungkin Indonesia bangga dengan Pesawat N-250. Atau jangan-jangan ada 10 orang dengan bakat luar biasa seperti Prof. Habibie namun ternyata saat ini bukan siapa-siapa karena potensinya dikerdilkan oleh keadaan. Demikianlah ilustrasi untuk menekankan bahwa mendidik anak itu bukan perkara main-main. Menurut Cak Nun, sesungguhnya sekolah adalah di rumah dan anggota keluarga senior adalah gurunya. Dengan demikian maka metode trial and error orangtua dalam mendidik anak harus segera ditanggulangi.
Respon Sistemik
Mereparasi situasi untuk mencetak generasi emas bukan perkara mudah. Lingkungan sekolah dan kampus merupakan lingkungan strategis untuk mewabahkan pemahaman parenting karena ada otoritas yang mampu mengondisikan. Di semua institusi pendidikan, program pembekalan keagamaan melalui kegiatan tambahan terus digalakan. Pada program tersebutlah ada celah yang luwes untuk disisipi berbagai materi. Memang saat ini sudah banyak kajian pranikah di pusat keagamaan namun belum dapat merambah secara merata, otoritas institusi pendidikan dalam “memaksa” agar siswa atau mahasisiwa ikut “mengaji” sangat dibutuhkan.
Selain itu, dibutuhkan revitalisasi pelaksanaan Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama RI nomor DJ.II/491 tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin. Pemerintah sebaiknya membuat kebijakan baru sehingga program tersebut dapat berjalan dengan baik. Menggandeng psikolog agar materi kehidupan berkeluarga dan parenting lebih mendalam dapat dijadikan alternatif.
Rekonstruksi peran petugas kesehatan dalam membekali pasutri yang menanti kelahiran anaknya harus dilakukan. Dewasa ini, hal yang didiskusikan antara petugas kesehatan dengan calon orangtua hanya seputar kesehatan ibu dan anak, belum ada edukasi mendalam mengenai pola asuh anak. Tidak heran jika keceriaan menyambut datangnya jabang bayi hanya bertahan sebentar, selebihnya stres karena kaget yang luar biasa.
Pengasuhan anak adalah proses paling membingungkan bagi orangtua, khususnya bagaimana merespon segala bentuk sikap yang ditunjukan oleh buah hati. Diyakini bahwa mayoritas orantua tidak mengetahui dimana mereka bisa mendapatkan konselor untuk mencerahkan kebingungan atau memecahkan berbagai masalah. Saat ini memang sudah ada ahli yang menyediakan jasa konseling bagi tumbuh kembang anak namun masih sangat jarang, dikelola swasta, dan hanya di kota besar. 
Ketiadaan fasilitas konselor sebagai kebutuhan primer dalam mengawal kesulitan orangtua saat mendidikan anak dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab malpraktik. Jangka pendek dampaknya tidak nampak, tapi beberapa dekade kemudian bisa jadi ada kasus abnormal dengan terduga pelaku mereka yang dulunya tidak terdidik dengan baik. Pemerintah sebaiknya bergerak cepat dan massive, diharapkan dapat seagresif pengharusan keberadaan petugas kesehatan hingga ke pelosok negeri karena bangsa ini tidak hanya butuh dijaga kesehatan fisiknya tapi juga mentalnya. Sangat hebat bila upaya mendidik anak untuk menjadi pribadi cerdas, stabil emosinya, kuat imannya menjadi gerakan nusantara.

Dimuat di Harian Analisa Jumat, 07 April 2017 [artikel online] [epaper hal 25]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar