Miris melihat kasus mega korupsi E-KTP,
konflik kepentingan para elit, dan merebaknya kasus predator anak. Terdapat
satu kalimat yang merupakan akar masalah yaitu “perkembangan kecerdasan pelaku
kejahatan yang tidak seimbang”. Ada ketimpangan pada kemampuan intelegensi,
emosi, dan spiritual sehingga penjahat melakukan perbuatan diluar nalar. Bukan
bermaksud menyalahkan, tapi lebih untuk mengingatkan sebagai antisipasi masa
mendatang bahwa orangtua memiliki peran fundamen dalam membentuk jati diri
seseorang. Dengan demikian maka tidak ada nilai tawar bagi seorang ayah dan ibu
untuk mampu mencetak anaknya seindah mungkin lalu menjaganya sampai kering dan
mengeras sehingga bentuknya tidak berubah akibat benturan.
Proses Menjadi Orangtua
Predikat orangtua disandang oleh seseorang
setelah melalui tahapan panjang, mulai dari anak, pelajar, menikah, kemudian
dikaruniai anak sehingga disebut sebagai orangtua. Pernikahan merupakan fase
peralihan saudara saudari menjadi bapak ibu sehingga tahap tersebut merupakan
waktu yang tepat untuk melihat kesiapannya dititipi anak. Namun sayangnya,
fakta di lapangan menunjukkan bahwa jarang sekali calon mempelai yang
mempersiapkan diri untuk menjadi sosok pembimbing anak yang baik. Hal yang
kebanyakan dipikirkan dan disiapkan hanya pada lingkup materi saja seperti dana
untuk menikah, rumah, dan mobil.
Sebenarnya pemerintah telah memiliki
program mealui Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama
RI nomor DJ.II/491 tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin untuk membekali calon
mempelai agar dapat menjalani kehidupan berkeluarga dengan baik. Namun
sayangnya program yang berdurasi 24 jam tersebut jarang dilaksanakan oleh Kantor
Urusan Agama karena berbagai alasan, seperti kurangnya dana. Akhirnya mempelai
dibiarkan tanpa bekal berkembang dan belajar secara mandiri untuk mengarungi
mahligai pernikahan.
Otodidak?
Pembelajar otodidak memiliki potensi
sangat besar untuk gagal. Alasannya yaitu karena tidak ada guru dan kurikulum
yang mengarahkan dalam proses mengusai sesuatu. Memang benar beberapa pembelajar
otodidak sanggup menguasai ilmu yang ditekuninya dengan sangat baik, namun
mayoritas diantaranya tidak mampu mengoptimalkan potensinya.
Kata otodidak tampaknya dapat
mendeskripsikan proses seseorang dalam menjalani perannya sebagai orangtua,
khususnya di Indonesia. Pemuda-pemudi dibiarkan tumbuh menuju usia menikah
tanpa guru atau kurikulum tentang persiapan untuk berkeluarga. Mereka diliarkan
meresapi semua pengalaman hanya dengan bekal kepekaan alami. Dengan demikian
maka wajar jika banyak sekali fenomena penting yang terlewat atau adanya
tafsiran keliru.
Memang saat ini, sumber belajar sudah
sangat banyak. Jika dahulu pasutri muda berguru pada sesepuh saja, sekarang
dapat mencari informasi parenting
dari berbagai buku dan internet. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa
adanya guru dan kurikulum, proses belajar sangat tidak terkontrol, sangat mungkin
informasi yang didapatkan malah menjerumuskan. Sangat bahaya jika
keterjerumusan tidak disadari dan terpelihara.
Praktikum Otodidak-ers
Terdapat fenomena lazim di sekitar kita
yaitu anak pertama merupakan subjek eksperimen, seperti menyikapi anak marah,
tidak mau makan, tidak mau mandi, dan sebagainya. Mendidik adalah perkara sikap
orangtua yang presisi, pada umumnya standar awal mendidik sulung adalah dengan
memberikan proteksi maksimal, namun tanpa ilmu yang cukup bisa jadi perilaku
tersebut menghambat kemandirian, kemampuan bersosial, dan ketangguhan
menghadapi masalah.
Hasil proses pendidikan anak pertama
selalu dijadikan rujukan orangtua untuk mendidik anak kedua. Yang menjadi
masalah adalah kemampuan evaluasi setiap orangtua sangat bervariasi. Kunci dari
kualitas evaluasi adalah kepekaan dan tindak lanjut. Tidak semua orang mampu
mendeteksi kesalahan yang dilakukan pada masa lampau. Jikalau mampu mendeteksi,
belum tentu juga pada masa mendatang dapat melakukan perubahan ke arah positif.
Fatal jika pendidikan dalam keluarga terperangkap dalam kekeliruan karena
bereksperimen tanpa dibekali ilmu yang mumpuni dan didampingi fasilitator.
Menekankan (lagi)
Urgensi
Dapat dibayangkan jika satu orang yang
memiliki potensi hebat mengalami salah asuh, terbunuhlah kegemilangannya. Jika
70 tahun lalu seorang B. J. Habibie mengalami salah asuh sehingga bakatnya
tidak berkembang maka tidak mungkin Indonesia bangga dengan Pesawat N-250. Atau
jangan-jangan ada 10 orang dengan bakat luar biasa seperti Prof. Habibie namun
ternyata saat ini bukan siapa-siapa karena potensinya dikerdilkan oleh keadaan.
Demikianlah ilustrasi untuk menekankan bahwa mendidik anak itu bukan perkara
main-main. Menurut Cak Nun, sesungguhnya sekolah adalah di rumah dan anggota
keluarga senior adalah gurunya. Dengan demikian maka metode trial and error orangtua dalam mendidik
anak harus segera ditanggulangi.
Respon Sistemik
Mereparasi situasi untuk mencetak
generasi emas bukan perkara mudah. Lingkungan sekolah dan kampus merupakan
lingkungan strategis untuk mewabahkan pemahaman parenting karena ada otoritas yang mampu mengondisikan. Di semua
institusi pendidikan, program pembekalan keagamaan melalui kegiatan tambahan
terus digalakan. Pada program tersebutlah ada celah yang luwes untuk disisipi
berbagai materi. Memang saat ini sudah banyak kajian pranikah di pusat keagamaan
namun belum dapat merambah secara merata, otoritas institusi pendidikan dalam
“memaksa” agar siswa atau mahasisiwa ikut “mengaji”
sangat dibutuhkan.
Selain itu, dibutuhkan revitalisasi
pelaksanaan Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama RI
nomor DJ.II/491 tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin. Pemerintah sebaiknya
membuat kebijakan baru sehingga program tersebut dapat berjalan dengan baik.
Menggandeng psikolog agar materi kehidupan berkeluarga dan parenting lebih mendalam dapat dijadikan alternatif.
Rekonstruksi peran petugas kesehatan
dalam membekali pasutri yang menanti kelahiran anaknya harus dilakukan. Dewasa
ini, hal yang didiskusikan antara petugas kesehatan dengan calon orangtua hanya
seputar kesehatan ibu dan anak, belum ada edukasi mendalam mengenai pola asuh
anak. Tidak heran jika keceriaan menyambut datangnya jabang bayi hanya bertahan
sebentar, selebihnya stres karena kaget yang luar biasa.
Pengasuhan anak adalah proses paling
membingungkan bagi orangtua, khususnya bagaimana merespon segala bentuk sikap
yang ditunjukan oleh buah hati. Diyakini bahwa mayoritas orantua tidak
mengetahui dimana mereka bisa mendapatkan konselor untuk mencerahkan kebingungan
atau memecahkan berbagai masalah. Saat ini memang sudah ada ahli yang
menyediakan jasa konseling bagi tumbuh kembang anak namun masih sangat jarang,
dikelola swasta, dan hanya di kota besar.
Ketiadaan fasilitas
konselor sebagai kebutuhan primer dalam mengawal kesulitan orangtua saat
mendidikan anak dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab malpraktik. Jangka
pendek dampaknya tidak nampak, tapi beberapa dekade kemudian bisa jadi ada
kasus abnormal dengan terduga pelaku mereka yang dulunya tidak terdidik dengan
baik. Pemerintah sebaiknya bergerak cepat dan massive, diharapkan dapat seagresif pengharusan keberadaan petugas
kesehatan hingga ke pelosok negeri karena bangsa ini tidak hanya butuh dijaga kesehatan
fisiknya tapi juga mentalnya. Sangat
hebat bila upaya mendidik anak untuk menjadi pribadi cerdas, stabil emosinya,
kuat imannya menjadi gerakan nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar