Oleh: Janu Arlinwibowo
(Guru SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta)
“orang
miskin dilarang menabung di bank”
Kalimat di atas nampaknya cukup
mencerminkan kondisi perbankan di Indonesia yang sekian lama dikuasai oleh
sistem perbankan konvensional. Dalam penelusuran didapatkan data bahwa menabung
di bank konvensional membutuhkan modal yang mahal. Ketika masyarakat menabung
maka harus memiliki saldo minimal agar kondisi tabungannya provit. Hal tersebut
dikarenakan biaya administrasi yang sangat mahal, rata-rata untuk mendapatkan
situasi yang balance antara bunga dan
biaya administrasi masyarakat harus memiliki saldo diatas Rp 10.000.000,00.
Nominal sebesar itu tentu sangat tidak bersahabat bagi masyarakat Indonesia. Jika
jumlah saldo tidak memenuhi standar minimal untuk balance maka saldo akan terus digerogoti sedikit demi sedikit.
Rata-rata biaya admin per bulan adalah Rp 10.000 maka jika tabungannya hanya Rp
200.000,00 akan sangat memungkinkan tabungan dapat mengering habis.
Jumlah penduduk miskin
di Indonesia pada September 2012 mencapai 28,59 juta orang (BPS, 2013: 1)
Data di atas mengungkap bahwa
masih sangat banyak masyarakat Indonesia yang terbelenggu oleh kemiskinan.
Tidak asing dalam kehidupan masyarakat seorang orang tua tidak memperhatikan
pendidikan anaknya, jangankan untuk biaya pendidikan, untuk makan sehari-hari
saja susah. Bahkan paradigma yang berkembang di beberapa masyarakat adalah tidak sekolah menjadi bodoh, tidak makan
akan mati, apakah harus sekolah tinggi tapi sebelum pintar sudah mati?
Dapat disimpulkan bahwa 28,59
juta masyarakat Indonesia akan sangat kesulitan menyisihkan uangnya untuk
menabung. Kalaupun bisa, upaya mereka tidak akan kontinu dan dengan nominal
besar. Bayangkan saja jika dalam satu bulan mereka dapat menyisihkan Rp
10.000,00, setelah punya uang cukup membuka rekening di bank, misal Rp
50.000,00. Mengasumsikan mereka dalam kondisi terbaik, dapat kontinu menyisihkan
uang, 5 bulan lagi mereka dapat menabung di bank dengan jumlah nominal Rp
50.000,00. Padahal administrasi bank Rp 10.000,00 per bulan sama dengan
kemampuan masyarakat miskin dalam menyisihkan uang. Habislah uang mereka
digerogoti hantu administrasi.
Permasalahan di atas jelas akan
membuat masyarakat miskin mengurungkan niatnya untuk menabung di bank. Singkatnya,
sistem perbankan konvensional tidak dapat memfasilitasi semua masyarakat. Hanya
masyarakat dengan uang cukup saja yang memiliki kenyamanan menyimpan hartanya
di bank.
Sistem Perbankan Syariah: Lunak dan Bersahabat
Bank syariah muncul sebagai
suatu sistem yang memberikan warna pada perbankan Indonesia yang sekian lama
telah dikuasai oleh sistem konvensional. Pemerintah mulai mengatur keberadaan bank
syariah pada UU no. 7 tahun 1992 yang kemudian memberikan ruang bank syariah
untuk terus berkembang. Pelan tapi pasti, geliat sistem perbankan syariah terus
berkembang. Sistem ini mampu menunjukan keistimewaannya ketika dapat bertahan
dengan baik saat Indonesia diguncang krisis moneter.
Agama adalah aturan yang
absolut maka begitu pula sistem syariah, dimana sistem ini kuat dan dapat
menjangkau semua kalangan. Sistem syariah memberikan keuntungan bagi setiap
nasabahnya. Dengan sistem bagi hasil, perbankan syariah menjadi suatu sistem
yang fleksibel dalam memberikan jasa ataupun beban. Semua serba berasaskan
kompromi agar semua nasabah dapat diuntungkan. Keunikannya adalah besaran bagi
hasil fluktuatif dengan dasar memperhatikan kondisi nasabah peminjam dana. Sistem
bagi hasil, penentuan jumlah besarnya tidak ditetapkan sejak awal, karena
pengemblian bagi hasil didasarkan kepada untung rugi dengan pola nisbah (rasio)
bagi hasil. Maka jumlah bagi hasil baru diketahui setelah berusaha atau sesudah
ada untungnya.
Baik Dengan Insvestor, Ramah Bagi Penabung
Bank sering menggunakan rasio
besar bunga sebagai materi utama dalam memasarkan produk perbankannya.
Menekankan keuntungan material dalam berinvestasi memang nampak strategis untuk
menarik minat masyarakat. Bank konvensional jelas menawarkan bunga, suatu konsep
pemberian jasa melalui perhitungan tetap. Beberapa kalangan menganggap ini akan
membuahkan suatu kenyamanan, nasabah dapat menghitung dengan pasti berapa
uangnya setelah beberapa tahun menabung. Ini adalah paradigma investasi, namun
investasi hanya dilakukan oleh pemilik modal besar. Bagaimana dengan rakyat
miskin? Apa fungsi bank untuk mereka?
Miskin, pastilah kondisi yang
tidak diinginkan oleh setiap manusia. Disaat bank menawarkan produk simpanan,
mereka mengucurkan peluh untuk mengais rizki yang terkadang untuk makan pun
tidak cukup. Jika ditanya, adakah keingingan untuk menabung., jelas ada,
beberapa diantara mereka pun menabung meskipun tidak di bank. Mereka menyimpan
uang dirumah, dilokasi tersembunya yang dianggapnya aman.
Salah satu godaan orang dalam
menabung adalah dirinya sendiri, dorongan untuk mengambil tabungan. Hukumnya,
semakin dekat dengan diri sendiri maka semakin tidak aman harta simpanan
tersebut, terlebih bagi orang dengan kondisi finansial lemah, godaannya akan
semakin kuat. Masalahnya jika ditabung di bank, uang mereka tidak cukup aman
untuk mengimbangi biaya administrasi, ditambah tidak ada kepastian dapat
menyisihkan uang untuk menabung secara rutin. Sebenarnya mereka sangat
membutuhkan bank sebagai tempat untuk menyimpan uang, namun biaya administrasi menjadi
suatu momok menakutkan sehingga membuat mereka urung menabung. Jangan-jangan tidak jadi menabung, malah
menghabiskan uang untuk membeli buku rekening saja.
Banyak masyarakat yang memposisikan
diri sebagai penabung, bukan investor sehinggal kebutuhan mereka adalah keamanan
saja, tanpa mempertimbangkan keuntungan material sebagai jasa yang diberikan
oleh bank. Sederhanyanya mereka ingin dapat menabung, tapi tabungannya tidak
tersedot. Minimal 28,59 juta masyarakat kurang mampu di negeri ini yang
berkeinginan seperti itu.
Bank syariah yang beroprasi
menggunakan prinsip kemaslahatan muncul berasaskan akad yang bersahabat dengan
penabung. Kondisi yang menguntungkan salah satu pihak, dalam hal ini adalah
pemilik modal besar dan merugikan pihak lain, dalam hal ini adalah rakyat
kecil, dalam sistem perbankan syariah jelas akan dihindari. Nampak jelas ketika
bank syariah muncul sebagai instansi yang beroperasi dengan biaya administrasi
ringan.
Bank syariah muncul dengan
mengorbitkan produk tabungan berakad mudharabah dan wadi’ah. Mudharabah
merupakan produk yang memfasilitasi masyarakat yang ingin berinvestasi. Pada
umumnya pihak bank memberikan biaya administrasi dalam produk perbankan ini,
tetapi nilainya jelas lebih kecil dibandingkan dengan biaya administrasi produk
tabungan bank konvensional. Mudharabah
merupakan suatu bentuk kerjasama usaha yang terjadi dengan satu pihak sebagai
penyedia modal sepenuhnya dan pihak lainnya sebagai pengelola agar keduanya
berbagi keuntungan menurut kesepakatan bersama, dalam kajian ini pemilik modal
adalah nasabah dan pengelolan adalah bank. Bagian keuntungan yang disepakati
itu harus berbentuk prosentase (nisbah) dan yang berasal dari
kesepakatan kedua belah pihak.
Sekilas
memang produk tabungan bank konvensional lebih menjajikan. Adanya kepastian
tentang jasa membuat nasabah bisa berhitung secara mudah mengenai
keuntungannya. Namun jangan salah, sifat fluktuatif bagi hasil yang diterapkan
oleh bank syariah dapat memberikan keuntungan yang lebih. Terutama jika usaha
dari bank syariah berkembang dengan baik maka jasa bagi hasil yang di dapat
pemilik modal pun akan semakin besar. Pada dasarnya jika dikomparasikan dengan
bank konvensional, produk tabungan mudhorobah sangat kompetitif.
Tidak
semua nasabah yang menabung di bank bertujuan untuk menginvestasikan uangnya.
Banyak orang yang menitipkan uannya di bank karena ingin mengamankan saja,
tidak bertujuan untuk mendapatkan jasa. Bank syariah memiliki produk berakad
wadi’ah yang memfasilitasi keinginan masyarakat tersebut. Wadi’ah merupakan
suatu produk yang berasaskan penitipan. Jadi bank memposisikan diri sebagai
lembaga yang memberikan fasilitas penitipan uang. Karena berupa titipan saja
maka uang tidak akan berkurang, walaupun saldo dalam tabungannya sangat kecil.
Memalui produk ini tidak aka nada kasus nasabah yang terkuras habis uangnya
karena saldo di tabungannya sangat kecil.
Kedua jenis produk bank syariah tersebut
menunjukan bahwa bank syariah merupakan instansi perbankan yang cocok untuk
semua kalangan, mulai dari investor dengan dana melimpah maupun masyarakat
biasa dengan dana yang sangat terbatas. Bank syariah yang menyediakan produk
perbankan yang menekankan pada asas kemaslahatan dipandang sangat cocok dengan
kondisi ekonomi masyarakat Indonesia, dimana negara ini memiliki kesenjangan
ekonomi yang cukup mencolok. Vinod Thomas mengatakan bahwa kesenjangan sosial
nampak dari hanya 0,22% orang indonesia yang menguasai 56% aset nasional. 87%
yang dikuasai berupa lahan tidur padahal 80% petani tidak memiliki lahan
(Kompas, 23 Mei 2013)
Fenomena
tersebut menunjukan bahwa ada orang-orang dengan kekayaan melimpah dan terdapat
pula masyarakat dengan keterbatasan finansial yang sangat memprihatinkan.
Prinsip ekonomi syariah menjebatani hubungan yang baik atas keheterogenan
masyarakan di Indonesia. Bank syariah menghindarkan keuntungan sepihak pada
suatu golongan. Jangan sampai yang kaya semakin diuntungkan, yang miskin
semakin dirugikan.
***Bersama
sistem yang bersahabat, wujudkan fasilitas untuk semua Indonesia***
DAFTAR PUSTAKA
BPS.
2013. Berita Resmi Statistik No.
06/01/Th. XVI, 2 Januari 2013
Kholid
Syamhudi. Mengenal Konsep Mudharabah diakses dari: http://ekonomisyariat.com/fikih-ekonomi-syariat/mengenal-konsep-mudharabah.html
tanggal 9 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar