Rene
Descartes menemukan bahwa “cogito-ergosum” adalah satu-satunya pikiran jernih
atau kepastian pikiran, yaitu bahwa “dia ada dikarenakan dia sedang bertanya”
Berawal dari
kutipan yang saya ambil dari tulisan Prof. Marsigit mengenai ungkapan Rene
Descrates. Dari kalimat di atas nampak bahwa segala sesuatu atau dalam hal ini
adalah ilmu itu diawali dari suatu pertanyaaan. Ilmu adalah suatu produksi dari
pikiran-pikiran manusia, dimana awal dari suatu pikiran adalah pertanyaan.
Semua yang ada
didunia ini pada hakekatnya adalah ilmu, dari mulai yang terkecil hingga yang
terbesar adalah ilmu. Yang menjadi kunci adalah seberapa jeli kita dapat
menggapainya, menemukannya, dan menanyakan apa itu, untuk menjadi hal baru
dalam diri kita. Keterbatasan pikiran manusia mengakibatkan terbatasnya pula
manusia dalam mengakses ilmu, mengakses semua yang ada di dunia. Padahal jika
Alloh memberikan rincian dari semua ilmu maka pasti tidak lebih dari sepucuk kuku
saya yang mampu kita tanyakan, apalagi yang kita ketahui, mungkin tidak lebih
dari 1% dari sepucuk kuku.
Pengetahuan itu
terbentuk dari berbagai ilmu yang terhimpun dalam pikiran. Untuk membangunnya
maka manusia harus merujuk pada dasarnya, yaitu suatu pertanyaan. Maka tidak
salah ketika ada pribahasa “malu bertanya sesat di jalan” karena sesungguhnya
dalam setiap perjalanan seorang manusia harus memiliki bekal pengetahuan.
Sesungguhnya
pengetahuan kita itu merupakan suatu gelombang yang tidak akan pernah putus.
Satu pengetahuan akan memberikan pengetahuan yang lain, pengetahuan yang lain
akan memberikan pengetahuan yang lainnya lagi, begitu seterusnya. Dari
pengetahuan kita pasti akan memiliki pengetahuan yang lain karena dalam setiap
pengetahuan pasti muncul pertanyaan yang bertautan dengan pengetahuan lain.
Pertanyaan tersebut akan mendorong kita untuk mencari sumber informasi lain
untuk mendapatkan jawabannya. Begitu terus hingga tanpa batasnya.
Kenapa selalu
ada pertanyaan yang muncul dari suatu pengetahuan? Pada dasarnya proses
pemikiran itu merupakan rangkaian dari proses abstraksi dan idealisasi. Dalam
proses tersebut, manusia menyadari bahwa pikirannya terbatas sehingga mereduksi
sumber pengetahuan yang kompleks menjadi berbagai part itu yang akan
dipikirkan. Misalnya pikiran tentang “kubus” maka hanya dipikirkan tentang
bentuk dan ukurannya saja. Segala macam sifat yang ada dan yang mungkin ada
misalnya, harganya, bahannya, baunya, warnanya, dan lain-lain semuanya
dimasukkan di dalam “epoche”, artinya tidak diperhatikan. Lalu setelah paham
mengenai pegetahuan sederhananya, manusia dapat mengambil satu aspek yang masuk
dalam “epoche” yang memberikan komplesitas baru sehingga meberikan masalah baru
yang selanjutnya akan menjadi pengetahuan baru. Setalah paham maka manusia
dapat mengambil part lain yang ada di “epoche” dan begitu seterusnya
pengetahuan berkembang tanpa batas. Oleh karena itu sebagai manusia bijaknya
selalu belajar memalui berbagai pertanyaan yang kemudia dilanjutkan dengan
mencari sumber belajar yang baik.
Pada hakekatnya
semua pengetahuan itu baik, tinggal si pemilik pengetahuan saja yang menentukan
sifat pengetahuaanya. Apakah pengetahuan membuat bom itu jelek? Apakah
pengetahuan untuk mencuri itu jelek? Tergantung individu pemilik pengetahuan.
Sehingga sebagau individu kita harus bijak dalam memanfaatkan pengetahuan.
Pengetahuan harus digunakan untuk mendukung berbagai aktivitas yang memberikan
dampak positif. Pengetahuan untuk membuat bom digunakan untuk lebih
berhati-hati, jika terdapat bom maka dapat mengantisispasinya dengan lebih
sigap dan baik. Pengetahuan untuk mencuri dapat digunakan untuk lebih
berhati-hati dalam menjaga rumah, memasang berbagai pengaman di rumah dan dapat
mengingatkan tetangga jika ada indikasi mencurigakan di lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar