Social Icons

Pages

Sabtu, 19 Februari 2011

TERGADAIKANNYA AGAMA DEMI SUATU TAHTA


TERGADAIKANNYA AGAMA DEMI SUATU TAHTA
Oleh: Janu Arlinwibowo

Indonesia merupakan suatu Negara demokrasi yang berlandaskan pada agama. Hal tersebut telihat pada isi Pancasilan sebagai ideologi bangsa yang salah satu pasalnya berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sekilas Potret Perjalanan Perpolitikan Indonesia
Setelah muncul pergeseran perdagangan dari Asia ke arah Tiongkok yang menganut Budhisme, maka kekuasaan di Nusantara merubah agama ‘resminya’ menjadi agama Budha. Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar saat itu menjadikan agama Budha sebagai agama resmi untuk mempermudah hubungan ekonomi politik.
 Sedangkan pada Majapahit yang tengah bangkit, kerajaan ini melihat pentingnya bermain dalam dua ranah, Budhisme dan Hinduisme. Majapahit memunculkan konsep agama ‘Siwa-Budha’ agar dapat melakukan ekspansi perdagangan hingga ke Tiongkok dan India.
Masa ini pun bergeser dengan masuknya agama Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat. Struktur masyarakat dan ekonomi-politik pun berubah. Setelah ditemukannya sistem irigasi pertanian yang menghindarkan kekeringan dan banjir, masyarakat merasa tidak diperlukan lagi banyak dewa untuk menjaga pertanian. Dan Islam yang monoteistik pun lalu menjadi pilihan mereka. Jelas, perubahan ini erat kaitannya dengan pola produksi yang berlangsung saat itu.
Hingga pada awal kemerdekaan pun sejarah kita pernah pun mencatat perdebatan konstitusional tentang pemasukan kata-kata “syariat Islam” sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Fenomena Perpolitikan Indonesia Saat Ini
Peranan agama dalam ranah perpolitikan Indonesia masih sangat besar. Fenomena tersebut dikarenan penduduk Indonesia umumnya beragama, sehingga agama dianggap paling efektif mempengaruhi massa untuk memperoleh dukungannya kepada partai politik tertentu.
Anggapan bahwa kekuasaan itu bersifat sakral karena dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk mewakili kekuasaan-Nya di dunia masih sangat kuat. Anggapan demikianlah yang mengakibatkan pergulatan untuk memperoleh kekuasaan dan usaha mempertahankannyaseringkali mengatasnamakan agama.
Kecenderungan inilah yang kemudian dimanipulasi dalam tindakan politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan dan politiknya. Akibatnya membela kekuasaan seseorang dianggap sebagai pembela "agama", dan jika mati dalam pembelaan itu dipandang mati "syahid".
Dan saat ini pun atas nama penerapan otonomi daerah, masing-masing daerah berlomba untuk ‘memutlakkan’ keyakinan agama sebagai kaidah publik melalui kebijakan kekuasaan negara. Di beberapa daerah kita bisa melihat perda tentang perlunya membaca al-Quran untuk masuk ke jenjang sekolah lebih tinggi, dll. Padahal justru hal inilah yang akan memudahkan munculnya diskriminasi terhadap agama dan keyakinan tertentu yang dianggap minoritas atau terhadap sebuah kepercayaan yang tidak diakui negara. Nilai-nilai atau keyakinan luar jadi dicurigai, dibatasi dan bahkan diberikan ‘label’ tertentu. Seperti pengakuan negara ini terhadap hanya lima agama resmi. Dan dari label ‘resmi’ inilah, lalu ada pembatasan, pelabelan dan kecurigaan.

Politik Identitas
Politik identitas (dengan menggunakan simbol-simbol primordial) sebetulnya dapat ditemukan di hampir semua masyarakat klasik, pertengahan, dan modern. Simbol-simbol seperti etnisitas, ras, agama, dan jender, menjadi senjata ampuh bagi suatu perjuangan mencari tujuan tertentu. Namun, identitas harus dipahami sebagai tidak statik, tidak natural. Pada suatu saat, seseorang atau kelompok tertentu menggunakan identitas tertentu, tetapi pada saat lain, dalam konteks berbeda, ia atau kelompok itu menggunakan identitas berbeda.
Identitas adalah alami dalam tiap komunitas manusia. Dalam sejarah tidak pernah ditemukan kelompok manusia yang tidak memiliki identitas. Mereka yang tidak beragama pun memiliki identitas. Mereka yang tidak menjadi anggota partai politik juga memiliki identitas. Identitas itu tidak dengan otomatis berbahaya. Yang berbahaya, saat identitas digunakan secara eksklusif untuk menegasikan identitas-identitas yang lain dengan cara-cara yang anti-persamaan dan keadilan.
Peranan agama dalam ranah perpolitikan Indonesia masih sangat besar. Fenomena tersebut dikarenan penduduk Indonesia umumnya beragama, sehingga agama dianggap paling efektif mempengaruhi massa untuk memperoleh dukungannya kepada partai politik tertentu.
Anggapan bahwa kekuasaan itu bersifat sakral karena dianugerahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu untuk mewakili kekuasaan-Nya di dunia masih sangat kuat. Anggapan demikianlah yang mengakibatkan pergulatan untuk memperoleh kekuasaan dan usaha mempertahankannyaseringkali mengatasnamakan agama.
Kecenderungan inilah yang kemudian dimanipulasi dalam tindakan politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan dan politiknya. Akibatnya membela kekuasaan seseorang dianggap sebagai pembela "agama", dan jika mati dalam pembelaan itu dipandang mati "syahid".
           
Tinjauan Terhadap Pengemasan Perpolitikan
Umumnya pada masyarakat-masyarakat beragama, partai politik menjadi salah satu kendaraan kelompok-kelompok agama untuk mencapai tujuan dan kepentingan tertentu. Orang sering memperdebatkan ungkapan retoris: apakah "agama untuk politik", atau "politik untuk agama".
Yang pertama, menurut sementara orang, cenderung merendahkan posisi agama, karena politik sebagai tujuan, agama dijadikan alat. Yang kedua (politik untuk agama), seolah tampak lebih luhur, karena mereka anggap, agama tetap luhur, sementara politiklah yang merupakan alat.
Kedua frase itu sebetulnya problematik, karena itu perlu dihindari dalam konteks berpolitik yang sehat. "Agama untuk politik" bisa mengambil contoh partai-partai politik yang menggunakan teks-teks, idiom-idiom, simbol-simbol, atau ajaran-ajaran agama dengan memaksakannya seolah teks-teks itu mendukung posisi politik yang telah diambil partai bersangkutan. Agama menjadi kemasan, sementara isinya kepentingan politik.
"Politik untuk agama", meski seolah agama menjadi panglima atau tujuan, memiliki bahaya yang tidak sedikit terhadap kehidupan demokrasi yang sehat. Ketika "agama" menjadi tujuan itu sendiri, agama menggantikan Tuhan, menggantikan Yang Absolut. Jika politik dimaknai sebagai perjuangan, politik yang bertujuan agama, mengandung implikasi semacam perjuangan demi Tuhan
Masalahnya tidak persis terletak di sini, sebab tiap agama mengajarkan "perjuangan menuju Tuhan". Masalahnya bagi demokrasi adalah saat hanya Tuhan menurut konsepnya sajalah yang paling benar dan absolut, sementara konsep Tuhan yang lain tidak benar, karena itu harus ditentang.
Integrasi simbolistik agama dan politik cenderung mengakibatkan keyakinan absolutis semacam ini. Problemnya menjadi lebih besar saat integrasi politik dan agama mengambil bentuk pemaksaan terhadap kelompok lain (yang bisa jadi menganut integrasi politik dan agama atau bisa jadi menganut pemisahan politik dan agama).
Akibatnya, diskriminasi berdasar identitas. Manusia dilihat, dinilai, dan diperlakukan berdasar apakah ia berasal dari kelompok agama atau kelompok identitasnya atau bukan. Jika bukan, pemaksaan, diskriminasi dan ketidakadilan terjadi. Persoalan lain muncul saat kelompok-kelompok lain juga menggunakan identitas mereka untuk menangkal pemaksaan itu. Eksklusivisme cenderung melahirkan eksklusivisme lain.

Pengkambing Hitaman Agama
Identitas agama pada suatu perkumpulan membuat mau tidak mau pengikutnya harus selalu setia dan rela berkorban untuk apa saja yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan pembelaan terhadap sebuah kelompok itupun disejajarkan dengan pembelaan sebuah agama.
Ironis memang, dalam kehidupan sebuah bangsa ini terdominasi oleh masyarakat dengan jiwa primordialis. Penulis tercengang ketika dalam suatu pemikiran masyarakat kepentingan ”umat” jauh lebih penting dibandingkan kepentingan ”masyarakat”.
Fenomena itupun tercium oleh banyak insan cerdik dan licik. Pengatasnamaan agama menjadi potensi besar untuk merenggut simpati dari masyarat. Bahkan  esok hari ketika terjadi kesalahan pun pengikut belum tentu akan berani untuk menggugat.
Mungkin menyakitkan melihat praktik keagamaan dan kekuasaan menyumbang pemiskinan (proletarisasi), selain kesenjangan moral pemimpin dengan rakyat. Ketika rakyat jatuh miskin dan mati kelaparan, pemimpin sibuk dengan kuasa dan surganya sendiri.
Kemiskinan dan kebodohan kemudian menjadi komoditas pahala dan kekuasaan politik. Dalil kaadal faqru an yakuuna kufran (kefakiran penanda kekafiran) yang disalahartikan menjadi legitimasi pembiaran proleratisasi. Semakin saleh seseorang atau masyarakat, cenderung semakin tak peduli problem kemanusiaan otentik. Janji-janji kampanye segera dilupakan begitu pemimpin ditahbiskan sebagai wakil rakyat.
Sungguh sangat terasa saat ini bahwa ”orang-orang besar” yang haus akan kekuasaan menjadikan masyarakat dengan pemahaman agama sempit dan memiliki jiwa primordial tinggi sebagai jalan pintas. Meskipun ”obsesi jahat” terlihat akan tetapi pengikut tidak akan memperdulikannya karena tertutup oleh identitas agama yang notabene mempunyai nilai keagungan dan kemutlakan.

Wahai Masyarakat, Pahamilah Apa Itu Agama
Pada hakikatnya agama adalah jalan hidup menuju Tuhan dan Tuhan yang menjadi tujuan dan yang menciptakan hidup, manusia, dan agama itu adalah Tuhan yang satu pula. Bisa saja masing-masing agama menyebut-Nya berbeda, baik istilah, bahasa maupun nama-Nya. Akan tetapi, bukan berarti perbedaan istilah, bahasa dan nama itu menegaskan adanya banyak Tuhan.
Keharmonisan dan keselarasan alam semesta menandakan hanya Ada Satu Penciptanya dan tidak dua, apalagi banyak jika ada banyak Tuhan, pastilah alam semesta ini akan mengalami kekacauan dan kerusakan, karena masing-masing Tuhan mempunyai kehendak dan kuasa-Nya sendiri-sendiri.
Jika agama hanya dipahami sebagai sesuatu yang ‘mutlak’ karena masuk dalam dunia sakral, abadi, dan samawi, maka agama itu akan cenderung berbenturan dengan nilai-nilai yang tidak masuk atau bahkan tidak sesuai dengan nilai agama itu. Dia akan menjadi mesin perusak nila-nilai tersebut atas nama kemutlakan itu. Tidak peduli apakah agama atau kepercayaan tersebut didukung mayoritas atau pihak minoritas.
Berbeda jika kita memahami agama atau kepercayaan sebagai nilai, bila terjadi benturan nilai dengan nilai yang lain justru akan menjadi mesin yang akan memproduksi sikap/nilai saling menghargai, toleran dan saling mendukung
Pandangan bahwa agama datang dari Tuhan tentu saja tidak salah dan tidak bisa disalahkan. Namun pandangan demikian, tidak boleh mengabaikan kenyataan, agama diberikan Tuhan untuk manusia. Agama untuk manusia bukan manusia untuk agama. Agama untuk membela nasib manusia dari kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, bukan manusia untuk agama atau membela agama. Jika kita meyakini, agama adalah dari Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjaga dan membelanya. Ini berarti, realitas manusia harus dilihat sebagai pra-syarat untuk memahami dan merealisasikan setiap ajaran agama dalam kehidupannya.
Banyaknya agama sebagaimana banyak pemahaman dan pemikiran tentang agama adalah kehendak dari Yang Satu, dan telah menjadi kodrat dari kehidupan itu sendiri, atau sunnatullah, dan harus diterima sebagai realitas apa adanya, dan kita pun tidak bisa dan tidak boleh menolaknya. Mau tidak mau kita harus menerima pluralitas agama itu, sebagai pengayaan spiritualitas keagamaan kita sendiri, dan ini berarti, penolakan atas pluralitas agama sebagai pemiskinan spiritualitas keagamaan kita sendiri pula.
Kita perlu menegaskan adanya pluralitas agama dalam kesatuan spiritualitas, yaitu menjadi berbagai jalan menuju satu Tuhan. Banyak jalan dan satu tujuan. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un, "sesungguhnya kita semua milik Allah dan sesungguhnya kita semua akan kembali kepada-Nya". Karena itu, adanya klaim kebenaran mutlak suatu agama oleh seseorang harus diberlakukan secara internal, bukan eksternal, yaitu berlaku untuk dan terhadap diri sendiri saja, bukan untuk dan bagi orang lain.

Mari Realisasikan “Bhinneka Tunggal Ika” Demi Masa Depan Bangsa
Atom merupakan bagian terkecil dari suatu zat. Jika kita telaah lebih lanjut maka si kecil ini akan mempunyai keunikan yang sesungguhnya mampu dijadikan sebagai teladan. Menurut teori yang pada awalnya diutarakan oleh Rutherford atom tardiri dari proton (muatan positif) dan netron (muatan netral) pada inti dan dikelilingi oleh elektron (muatan negatif).
Dengan komposisi tiga muatan berbeda atom mampu menjelma menjadi sesuatu yang sangat ideal dan sulit tergoyahkan. Melihat fenomena tersebut coba kita bayangkan atom itu adalah Indonesia. Jika mampu meneladani atom, bukan tidak mungkin dalam waktu dekat Indonesia mampu menjelma menjadi suatu negara hebat dengan tingkat kesejahteraan yang lebih karena persatuan merupakan senjata paling dahsyat yang mampu manjunjung ketika negara terpuruk dan mempertahankan ketika negara berjaya.
Jika diterapkan pada suatu negara, daya ikat atom adalah saling menghargai, toleran dan saling mendukung seperti yang sudah dijelaskan pada uraian di atas. Jadi dalam pemahaman suatu kepercayaan kita harus mengurangi jiwa idealis dan menumbuhkan sikap realistis bahwa negara kita memiliki keberagaman. Jika hal tersebut telah terpenuhi cita-cita bangsa yang terurai dalam kata-kata mutiara yang dibawa Sang Garuda akan terealisasi.






















DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhamad. Kemasan Agama demi Kekuasaan. Diakses di http://www2.kompas.com/. Pada tanggal 18 Desember 2008 pukul 19.45 WIB

Asy'arie, Musa. 2001. Agama dan Pergeseran Politik Kekuasaan. Diakses di http://www2.kompas.com/. Pada tanggal 18 Desember 2008 pukul 19.15 WIB

Mulkhan, Abdul Munir. 2006. Pemiskinan Kekuasaan dan Agama . Diakses  di http://community.siutao.com/. Pada tanggal 18 Desember 2008 pukul 19.00 WIB

Matroji. 2000. IPS Sejarah SLTP Jilid 1 untuk SLTP Kelas 1. Jakarta: Erlangga

Wimono, Jaka dkk. 2004. Kimia dan Kecakapan Hidup untuk Kelas 1 SMA. Jakarta: Ganeca Exact



Tidak ada komentar:

Posting Komentar