Social Icons

Pages

Sabtu, 19 Februari 2011

...PENDIDIKAN ISLAM, OBAT NON KONVENSIONAL PENYEMBUH LUKA BANGSA


PENDIDIKAN ISLAM,
OBAT NON KONVENSIONAL PENYEMBUH LUKA BANGSA
Oleh: Janu Arlinwibowo

Kaisar Jepang Hirohito, Pendidikan: Pondasi Utama Suatu Bangsa
Setelah Jepang menyerah kalah pada sekutu pada bulan Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito mengundang pakar-pakar dari berbagai disiplin ilmu yang masih hidup. Pada kesempatan tersebut Sang Kaisar bertanya :"berapa banyak guru yang masih hidup dinegeri ini?"
Pertanyaan tersebut mengundang reaksi dari seorang jenderal yang hadir pada waktu itu, dan balik bertanya: "Yang Mulia, saya sebagai anggota tentara keberatan atas pertanyaan Yang Mulia. Mengapa justeru guru Yang Mulia tanyakan dan bukan tentara? Sebab banyak sekali tentara kita yang meninggal untuk membela tanah air dan Kaisar". Sebagai orang bijaksana Sang Kaisar menjawab: "Tuan-tuan, apabila profesi-profesi yang lain tidak saya tanyakan, harap Tuan-tuan tidak tersinggung. Saya tahu banyak tentara kita yang gugur, dan untuk itu kita semua merasa sedih. Akan tetapi mengapa justru yang saya tanyakan itu berapa guru yang masih hidup di Jepang, ini tak lain karena melalui guru inilah Jepang akan cepat bangkit kembali. Seperti yang pernah kita ketahui, hampir semua pabrik kita hancur dibom. Banyak pakar kita mati dan sekarang negeri ini hancur dan lumpuh. Kita harus mulai membangun negeri ini dari nol dan hanya melalui gurulah kita dapat membangun kembali negeri ini. Mari kita benahi pendidikan melalui guru-guru kita yang ada. Melalui kerja keras kita, terutama guru-guru, saya yakin Jepang akan bangkit kembali, bahkan akan lebih hebat dari kemampuan kita sebelum perang terjadi" (Kompas, tanggal 16 oktober 2001, hal. 9)
Apa yang dikatakan oleh Kaisar Hirohito tersebut memang menjadi kenyataan (the dream comes true). Kita tidak pernah berpikir bahwa pada tahun 1960-an Jepang sudah memproduksi mobil dan sekarang industri mobil Jepang telah menguasai dunia. Menurut Asia Week (Juli 2000) Universitas Kyoto menduduki peringkat pertama pendidikan tinggi di Asia
Berkaca dari kisah perkembangan Jepang dan seruan Kaisar Jepang sangat benar keberadaannya jika pendidikan dikatakan sebagai salah satu poros vital penentu nasib bangsa. Hal tersebut memang sudah bukan merupakan rahasia lagi bahwa pendidikan merupakan komponen utama pembentuk pondasi suatu bangsa, akan tetapi masih sangat banyak individu yang menomorsekiankan pendidikan dan membiarkan proses pencetakan individu tersebut tidak maksimal, khususnya di Negara kita ini.

Sekilas Melihat Perkembangan Perubahan Anak Dalam Menentukan Cita-cita
Baim saat usianya baru menganjak 6 tahun,
Bunda: “Baim, apa cita-citamu?”
Baim: “Ingin jadi dokter!’
Bunda: “Kenapa ingin jadi dokter nak?”
Baim: “Karena dokter itu baik bun, pinter, selalu menolong orang!”

Baim saat usianya menganjak 17 tahun,
Bunda: “Ingin melanjutkan sekolah dimana nak?”
Baim: “Saya ingin kuliah di STAN bun.”
Bunda: “Loh, katanya dulu cita-citanya ingin jadi dokter?”
Baim: “Kuliah di kedokteran masa depannya juga belum pasti bun, kalau di STAN kan masa depannya pasti, gajinya tinggi lagi!”
Bunda: “Masya Alloh nak, kenapa kamu jadi berpikiran sangat matrealistis.”
Baim: “Lha mau gimana lagi bun, Baim sudah sekolah tinggi-tinggi dengan biaya yang tidak sedikit masak masa depannya belum jelas.”

Beranjak dari percakapan seorang anak dengan bundanya di atas nampaknya kita dapat melihat kondisi mental sebagian besar masyarakat Indonesia. Kecintaan seorang anak terhadap kebaikan, kepintaran, dan kemanusiaan seiring berjalannya waktu terus memudar dan berpaling kepada materi.

Pendidikan Sekular-Materialistik Sebagai Pondasi Bangsa Kita
Disadari atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini memang adalah sistem pendidikan yang sekular-materialistik. Bila disebut bahwa sistem pendidikan nasional masih mewarisi sistem pendidikan kolonial, maka watak sekular-materialistik inilah yang paling utama, yang tampak jelas pada hilangnya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan.
Pendidikan yang sekular-materialistik merupakan produk dari ideologi sekular yang terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia shalih dan mushlih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang didasarkan pada ideologi sekular, yang tujuannya sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya.
Pendidikan yang materialistik  memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi.  Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan  investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa.  Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan,  jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi  yang sangat individual.

Meneropong Tajam Imbas Pendidikan Sekular-Matrealistik
Sistem pendidikan secular-materialistik dituding telah gagal membentuk watak mulia anak didik yang sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Hal tersebut dikarenakan pemecahan antara hubungan transendental manusia dengan pendidikannya sehingga nilai-nilai transendental sama sekali tidak terlihat dalam proses pendidikan. Sistem tersebut mencetak pribadi-pribadi dengan konsep pikir materialistik “belajar untuk bekerja” bukan lagi “belajar sebagai bekal masa depan”.
Konsep pikir “belajar untuk bekerja” membuat individu beropsesi untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya berbekal ilmu yang mereka dapat. Berbekal kecerdasan emosi dan spiritual membuat obsesi seorang abdi bangsa berubah menjadi kalutnya singa kelaparan, siapapun akan dimakannya. Itulah yang banyak terjadi di negara kita, manusia-manusia dengan kualitas brilian yang seharusnya menjadi aset berharga bangsa menjadi sosok yang turut meruntuhkan bangsa. Tidak dapat kita pungkiri bahwa dibalik kasus-kasus keuangan bangsa dimotori oleh insan bangsa dengan kualitas intelegensi yang diatas luar biasa.
Mari kita beralih pada masalah orientasi terhadap kemampuan kognitif yang ternyata juga tidak mampu mengimbangi perkembangan sains dan teknologi. Tercermin pada kondisi bangsa hingga saat ini yang masih sangat tergantung dengan penemuan dan produk asing. Jika kita tinjau lebih tajam mengapa hal tersebut dapat terjadi, jawabannya adalah hilangnya hubungan transendental dalam proses pendidikan. Hilangnya hubungan transendental mengakibatkan sikap materialistik mendominasi.
Kondisi tersebutlah yang menjadi masalah serius dalam pendidikan Indonesia. Sikap matrealistik yang telah merasuk pada mental masyarakat membuat nuansa pendidikan sangat berorientasi pada uang, padahal seharusnya inti dari pendidikan adalah ilmu. Ketika suatu pendidikan berorientasi pada uang saja maka kepuasan untuk menjadi manusia terdidik pun hilang saat jalan mendapatkan uang sudah di tangan. Dalam keadaan seperti ini pendidikan sepanjang hayat yang menjadi keharusan berubah menjadi suatu pilihan, boleh dianut dan boleh diabaikan.
Tanpa disadari kondisi seperti yang telah diuraikan di atas telah mengkerdilkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Sangat untuk belajar dan mengembangkan ilmu pudar saat individu sudah melampaui usia sekolah. Kondisi yang membuat potensi besar banyak manusia Indonesia terkubur dalam-dalam sehingga mempunyai imbas fatal pada akselerasi perkembangan sains dan teknologi bangsa. Lalu yang menjadi pertanyaan pendidikan seperti apa yang harus digalakan?

Pendidikan Islam, Ubah Paradigma Pendidikan Matrealistik
Pendidikan merupakan perkara yang sangat sentral dalam Islam.  Banyak isyarat menunjukkan hal ini, misal, ayat yang turun pertama kali terkait dengan iqra (bacalah!). Selain itu banyak sekali hadits yang menjelaskan bahwa menuntut ilmu itu wajib.  Bahkan, banyak sekali pujian bagi orang-orang yang menuntut ilmu.  Misal, “Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke sorga” (HR Muslim) ataupun “Jika mati manusia, terputuslah amalnya kecualli tiga hal, shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan dirinya” (HR Muslim).
Pendidikan Islam berseberangan dengan pendidikan sekuler-materialistik yang berorientasi kepada duniawi karena pendidikan islam bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh, yakni seorang manusia shalih dan mushlih. Kecakapan tersebut akan tercapai dengan memadukan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Bahkan dalam pendidikan islam mengutamakan hubungan transendental sebagai dasar bagi pengembangan kecerdasan yang lain.
Mengutamakan hubungan transendental akan berbuah manis pada basis pikir peserta didik pada tujuannya dalam menuntut ilmu. Landasan iman akan mentransformasi orientasi pada materi menuju ketaqwaan pada Sang Pemberi Hidup, Alloh SWT. Pribadi utuh dengan iman dan taqwa akan terbentuk dengan system pendidikan Islam. Hal tersebut akan memupuk konsep pendidikan sepanjang hayat pada setiap individu karena ilmu bukan hanya hubungan antara manusia dengan manusia akan tetapi manusia-manusia-Tuhan.
Perubahan pola pikir tersebut akan membawa perubahan pula pada semangat individu dalam menuntut ilmu, bukan lagi hanya berlandaskan materi akan tetapi lebih memperhatikan pada hubungannya pada Tuhannya. Mari kita cermati dua HR Muslim, “Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke sorga” (HR Muslim) ataupun “Jika mati manusia, terputuslah amalnya kecualli tiga hal, shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan dirinya” (HR Muslim). Jelas tersurat bahwa materi buka tujuan  dari suatu pendidikan.
Pola pikir berbasis keimanan tersebutlah yang akan membawa suatu masyarakat dalam peradaban tinggi. Perkembangan suatu bangsa dengan basis pikir tersebut akan mengalami percepatan yang luar biasa. Dapat dibayangkan dalam suatu Negara dengan masyarakatnya yang terus mengembangkan ilmu tanpa memperhatikan usia produktifnya dan ketika ditanya “Sudah usia sekian kenapa anda masih serius menuntut ilmu?” dia menjawab “saya ingin kumpulkan sebanyak mungkin ilmu yang dapat saya jadikan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain”. Coba kita bayangkan Negara dengan masyarakat yang terus mengembangkan ilmu tanpa memperhatikan berapa besar harta yang sudah dia punya dan ketika ditanya “buat apa anda menuntut ilmu? Harta andakan sudah melimpah!” dia menjawab “karena saya ingin selalu berada di jalannya”. Dapat kita bayangkan berapa banyak penemuan-penemuan yang akan dihasilkan oleh masyarakan dengan basis pikir seperti itu. Dapat dipastikan Negara tersebut akan tumbuh menjadi suatu Negara yang memiliki investasi ilmu sebagai sarana perkembangannya.


DAFTAR PUSTAKA
Ajip Rosidi, Ketua Umum Yayasan Rancage, dalam penutupan Konferensi Internasional Budaya Sunda I, di Bandung, Minggu (26/8/2001)
Annonimous. Pendidikan Adalah Kunci Utama http://beritasore.com/2010/02/06/ pendidikan-adalah-kunci-utama-kemajuan-bangsa/. Selasa, 4 Mei 2010

Annonimous. Dubes Jepang: Pendidikan Sangat Penting http://www.kompas-tv.com/content/view/14061/2. Senin, 3 Mei 2010

Annonimous. Membangun Kembali Unpatti http://www.oocities.com/baguala67/ ep301001.htm?201030. Selasa, 4 Mei 2010

Sutrisno, Edy. Keunggulan Sistem Pendidikan Islam http://oeblikawula.blogspot.com/ 2008/04/keunggulan-sistem-pendidikan-islam.html. Minggu, 2 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar