Social Icons

Pages

Kamis, 17 Februari 2011

BERIKAN KAMI TELADAN, BARU DUNIA AKAN KAMI GONCANGKAN


BERIKAN KAMI TELADAN,
BARU DUNIA AKAN KAMI GONCANGKAN
Oleh: Janu Arlinwibowo

Seruan Sang Proklamator
”Berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan gocangkan dunia” itulah salah satu seruan yang diucapkan oleh Bung Karno dalam pidatonya yang berjudul Jasmerah ”Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Beranjak dari kata-kata yang dungkapkan Bung Karno pada pidatonya tersebut terlihat begitu besarnya kehebatan pemuda sehingga beliau hanya membutuhkan “sepuluh” pemuda saja untuk mengguncangkan dunia.
Jika kita lebih mencermati kata-kata yang dilontarkan Bung Karno diatas, terkandung maksud untuk menggugah semangat pemuda sekaligus beramanah pada kaum muda untuk memimpin bangsa Indonesia kelak. Bung Karno beramanah seperti itu karena beliau sadar betul bahwa pemuda merupakan penentu nasib bangsa dan untuk menuju sebuah Negara dengan peradaban yang tinggi semangat kaum muda harus selalu terjaga.

Pemuda, Fase Potensial yang Penuh Kebimbangan
            Pemuda merupakan seseorang yang sedang dalam masa peralihan. Sebetulnya pemuda tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk sebagai golongan anak-anak, akan tetapi juga belum dapat diterima sacara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Namun, yang perlu ditekankan bahwa fase peralihan ini merupakan fase perkembangan yang tengah berada dalam masa potensial, baik dilihat secara kognitif, emosi, maupun fisik (Ali dan Asrori, 2004: 9-10).
            Menurut Shaw dan Coztanzo (1985) dalam buku karangan Ali dan Asrori (2004: 9), pemuda sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan mereka mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakan dewasa. Masa ini adalah masa paling menonjol dari semua periode perkembangan.
            Menurut Shaw dan Coztanzo (1985) dalam buku karangan Ali dan Asrori (2004: 10) perkembangan intelektual yang terus-menerus menyebabkan pemuda mencapai tahap berpikir operasional formal. Tahap ini memungkinkan pemuda mampu untuk berpikir secara abstrak, menguji hipotesis, dan mempertimbangkan peluang tidak hanya melihat apa adanya. Dapat dibilang bahwa fase ini merupakan fase unggul karena fase dimana seseorang akan berpikir secara kritis dalam penyelesaian sebuah masalah. Oleh karena itu, pikiran-pikiran pemuda merupakan aset yang dapat menjadikan wacana untuk menentukan kebijaksanaan yang diambil kaum dewasa.
            Di balik itu semua, pemuda merupakan sosok yang masih dalam kebimbangan. Dalam fase peralihan dari golongan imut-imut menuju golongan amit-amit seseorang akan mengalami krisis identitas, fase dimana seseorang sedang mencari-cari siapakah dirinya atau lebih akarab didengar dengan fase ”mencari jati diri” atau fase ”topan dan badai”. Oleh karena itu, pada fase ini seseorang berada dalam masa kebimbangan harus dimanakah dia melangkah.
            Fase peralihan ini merupakan fase terpenting dalam pembentukan karakter seorang manusia. Ibarat perjalanan, fase peralihan adalah fase dimana seseorang sampai di persimpangan jalan. Disitulah dia menentukan akan dibawa kemana raga dan fikirannya berjalan.
Pada masa pencarian jati diri seseorang akan sangat mudah untuk dirasuki paham-paham mendasar dalam pola-pikirnya. Oleh karena itu, pemuda sangat rawan dengan provokasi-provokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Rasukan pola pikir yang tidak baik akan membawa dampak buruk pada perkembangan pemuda dan bangsanya.

Lingkungan Adalah Teladan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Hal tersebut disebabkan karena lingkungan sekitar merupakan sesuatu yang selalu kita lihat setiap saat. Lingkungan sekitar pun seakan menjadi arus yang mampu membawa kita sesuai dengan arah dimana dia ingin mengalir.
Persepsi di atas selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Djoko Widaghi, dkk (2008:22) ”seorang bayi manusia yang dibesarkan dalam lingkungan kehidupan serigala, ia akan menjadi besar dan bertingkah laku seperti serigala”. Seorang bayi itu akan hidup seperti singa karena dia telah meneladani atau mencontoh segala sesuatu yang dimiliki singa.
Contoh nyata adalah munculnya group band the lucky laki yang gawangi oleh 3 anak musisi penuh sensasi Ahmad Dhani. Ketiga anak tersebut dibesarkan di dalam lingkungan bermusik yang kental, oleh karena itu tidak heran apabila naluri dan kemampuan bermusik mereka jauh melampaui anak-anak lain yang seusianya. Selain memang memiliki bakat, keberhasilan Al, El dan Dul dalam membawakan lagu ”Bukan Supermen" juga tidak lepas dari meneladani keteladanan yang ditunjukan Ayahnya dalam bermusik.
Oleh karena itu, banyak sekali ahli Psikologi yang mengemukakan bahwa orangtua sebagai salah satu lingkungan terdekat tidak boleh menunjukan hal-hal negatif kepada anaknya, misal bertengkar, bicara kasar atau berlaku kasar karena hal tersebut akan membawa dampak buruk pada kepribadian anak. Begitu pula pada faktor lain misal acara televisi, radio ataupun media informasi lainnya, orangtua harus benar-benar jeli karena media informasi marupakan lingkungan terdekat kita pula. Seseorang dalam masa peralihan mempunyai potensi besar untuk meneladani apa yang ada disekelilingnya ataupun apa yang sering dilihatnya termasuk parilaku orang tua dan hal-hal yang termuat di media informasi.

Pentingnya Sosok Teladan
            ”Berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan gocangkan dunia”, nampaknya ucapan Bung Karno itu sangat realistis. Coba kita lihat, hanya ada seorang Ir. Soekarno saja, dunia bisa “bergetar” dengan gagasan-gagasan briliannya seperti Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok, apalagi dengan adanya sepuluh pemuda yang mampu meneladani sifat, sikap, dan pola pikir Sang Proklamator, bukan tidak mungkin dunia ini akan “terguncang”.
            Jika saat ini Bung Karno kembali menyerukan  kata-kata ”Berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan gocangkan dunia” dari alam baka, saya sebagai pemuda akan mengajukan pertanyaan kepada beliau, “Wahai Sang Proklamator, saat ini siapakah yang layak kami jadikan panutan agar kami tumbuh menjadi insan yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini? Kami butuh panutan selayaknya Engkau, wahai Sang Proklamator! Kami ingin diberikan banyak panutan seperti pada masaMu, Ki Hajar Dewantara Sang Ahli Pendidikan, Muhammad Hatta Sang Ahli Ekonomi, Jendral Sudirman Sang Ahli Strategi”.
            “Satu teladan lebih baik daripada seribu nasihat” nampaknya pepatah tersebut benar adanya. Panutan merupakan unsur penting di dalam kehidupan manusia. Strategi ini diterapkan oleh Negara dimana Gunung Fuji berdiri tegak. Sebenarnya, kartun Kapten Tsubasa yang beberapa waktu lalu menjadi dambaan bocah-bocah Indonesia, sebenarnya sudah beredar di negeri Matahari Terbit sekitar awal tahun 90-an. Kartun ini awalnya dibuat dengan tujuan menjadikan anak-anak Jepang bercita-cita tinggi supaya kelak Jepang bisa berbuat banyak di Piala Dunia, bahkan menjadi juara dunia (Fajar Budi Suryawan, 2007:101).
Tampak idealis sekali memang, akan tetapi berkat semangat yang ditunjukan dalam kartun Kapten Tsubasa, Jepang sekarang bermetamorfosis dalam dunia persepakbolaan, lihat saja sepak terjang Jepang dalam Piala Dunia 2002. Selain itu bebarapa pemainnya juga sudah menjadi pemain sepakbola populer yang bermain di liga-liga Eropa (Liga Calcio di Italia, Liga Premier di Inggris sampai Liga Eredivise di Belanda) seperti Shunsuke Nakamura, Hidetoshi Nakata dan Shinji Ono (Fajar Budi Suryawan, 2007:101).

Media Informasi dan Trend
Tak sobek-sobek” salah satu dari sekian banyak kata yang sempat popular di jagad Indonesia. Kata-kata yang dipopulerkan oleh Tukul Arwana tersebut terus menjamur di kalangan masyarakat, tidak perduli orangtua, anak-anak maupun remaja sering mengucapkannya.
            Ada satu kata-kata lagi yang menarik perhatian penulis, “abis ujan, becek, nggak ada ojek”. Kata-kata yang dipopulerkan oleh artis muda Cinta Laura ini pun menggema di telinga seluruh masyarakat Indonesia, bahkan kata-kata itu pun banyak dijadikan sebagai ring tone pada telepon seluler. Dengan logat Cinta Laura yang ”kebule-bulean” menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan masyarakat. Saking larisnya keluarga Cinta Laura sampai ingin mematenkan kata-kata tersebut.
            Kata-kata memang merupakan trend yang paling cepat merebak di segala penjuru masyarakat. Berkata-kata merupakan kegiatan yang dapat dilakukan tanpa mengeluarkan biaya sehingga trend ini mampu merebak ke segala penjuru tanah air tanpa harus memandang golongan.
            Trend memilih suatu makanan merupakan fenomena unik yang terjadi di negeri ini. Saat ini masyarakat kebanyakan makan tanpa memandang ”gizi” akan tetapi mengutamakan ”gengsi”. Junk food misalnya, makanan ini menjadi makanan favorit mayoritas masyarakat khususnya pemuda. Bahkan tidak jarang kita jumpai masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah yang hidupnya pas-pasan pun menyempatkan diri untuk menyantap makanan ini hanya demi ”gengsi” belaka.
Menurut pendapat Soetjipto Wirosardjono (1991) bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang telah ada. Dengan demikian, iklim kehidupan masyarakat memberikan urutan penting bagi variasi perkembangan hubungan sosial remaja. Apalagi remaja senantiasa ingin selalu seiring sejalan dengan trend yang sedang berkembang dalam masyarakat sehingga selalu terlihat trandy (Ali dan Asrori, 2004: 96).
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa saat ini masyarakat berkiblat pada media informasi terutama televisi. Dari mulai berpakaian sampai dengan cara bicara yang ditampilkan media informasi menjadi trend masyarakat. Hal tersebut menujukan bahwa media informasi memiliki peran vital dalam penentuan sebuah trend yang dianut oleh masyarakat.

Buramnya Sosok Teladan di Hadapan Kita
Sebagai kaum muda saya selaku penulis merasakan kemirisan melihat konsumsi informasi masyarakat terdominasi oleh hal-hal kurang manfaat. Kemirisan khususnya ditujukan kepada kaum muda yang merupakan seseorang yang berdiri tegak dalam fase ”mencari jati diri”. Sikap yang kritis, penuh tanda tanya, dan selalu ingin mencoba menjadikan informasi-informasi yang diterima sangat berpengaruh terhadap perilaku pemuda.
Menurut Toenggoel P. Siangian (1985) fase peralihan atau krisis identitas merupakan fase yang sangat sulit. Dalam masa ini diperlukan norma dan pegangan sederhana sebagai bekal hidup mereka. Keteladanan akan berdampak besar bagi perkembangan pemuda (Ali dan Asrori, 2004: 97), permasalahannya adalah siapakah figur yang akan mereka teladani, figur positif ataukah negatif.
Beberapa waktu lalu kita sempat mendengar beberapa kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur yang mengaku mendapatkan ide memperkosa dari film porno yang dia lihat. Miris memang melihat fenomena tersebut, informasi tidak bermoral itu menjadikan salah satu generasi penerus bangsa kita bertingkah seperti bukan manusia. Mau dibawa kemana bangsa kita jika anak mudanya meneladani sesuatu yang sama sekali tidak pantas untuk diteladani.
Jika kita cermati, madia informasi di Indonesia saat ini didominasi oleh informasi-informasi negatif dibandingkan informasi positif. Padahal sebetulnya Indonesia mempunya “seabrek” contoh yang yang layak dijadikan sebagai panutan. Hanya saja manusia-manusia dengan keistimewaan tersebut tidak terekspos dengan tajam sehingga tidak banyak masyarakat yang tahu mengenai mereka.
Berapa banyak orang yang tahu bahwa seorang Gita Gutawa mampu memperoleh nilai sempurna pada mata pelajaran Matematika dan IPA pada ujian akhir nasional SMP? Kedua pelajaran itu seringkali menjadi momok bagi siswa akan tetapi Gita Gutawa yang hidup tidak seperti siswa biasa dengan segudang kegiatannya bisa meraih nilai sepuluh bulat. Pola belajar dan manajemen waktu pelantun lagu Bukan Permainan ini sebetulnya mampu menjadi panutan dan motivasi siswa-siswa SMP yang lain. Akan tetapi seberapa gempar berita yang sedahsyat itu? Nampaknya berita sedahsyat itu hanya terdengar lirih di telinga masyarakat.
Coba kita cermati beberapa kasus yang terjadi secara bersamaan. Beberapa waktu lalu negara kita dibanggakan oleh Jusuf Kalla yang menerima anugerah doktor kehormatan (doctor honoris causa/Dr HC) di bidang perdamaian dari Universitas Soka, Tokyo, Jepang, Senin (2/2/2009) siang waktu setempat (Surya Online: Senin, 2 Februari 2009). Akan tetapi berita menggembirakan itu seakan hilang ditelan bumi karena pada saat bersamaan terjadi pula kejadian perceraian dan penganiyayaan yang dilakukan oleh publik figur kita dan berita tersebut jauh lebih “dibombastiskan” daripada berita penerimaan gelar doktor kehormatan oleh Wakil Presiden kita, Jusuf Kalla.
Ulasan kehidupan publik figur pun terkesan hanya menyoroti permasalahan-permasalahan yang menerpa mereka, kasus perceraian yang alot, penganiyayaan, pelecahan nama baik, pelecehan seksual, dan fenomena-fenomena serupa. Bahkan ironisnya publik figur yang melakukan tidakan tersebut akan jauh lebih terkenal dibandingkan dengan publik figur yang menujukan dedikasinya sebagai insan bangsa yang baik.
Bahkan beberapa kasus sering menimbulkan opini bahwa seorang publik figur sengaja melakukan hal-hal yang negatif demi mendongkrak popularitasnya. Memprihatinkan memang ketika seorang publik figur mendapatkan popularitasnya dengan strategi seperti itu, tanpa menyadari bahwa mereka telah menanamkan hal negatif kepada jiwa konsumen berita tentang dia khususnya pemuda.

Media Informasi, Sarana Strategis Meningkatkan Kualitas Bangsa
Pemuda cenderung memiliki tokoh-tokoh orang besar yang sangat diidealkan dalam hidupnya. Tokoh ideal tersebut bisa berada di lingkungannya ataupun di tempat jauh yang sulit terjangkau. Jika tokoh tersebut berada di jauh dan tidak terjangkau pemuda akan menjangkaunya dengan caranya sendiri. Misalnya, membaca riwayat hidup Sang Idola, mengoleksi foto-foto, ataupun mencari informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber.
Kelangkaan tokoh ideal karena kelangkaan informasi dapat mengakibatkan pemuda tersesat kepada pilihan tokoh yang salah atau bahkan sama sekali tidak mengidolakan seseorang karena merasa tidak ada satupun orang yang baik. Oleh karena itu, mereka sangat memerlukan informasi untuk mendapatkan tokoh yang mereka idealkan sebagai teladan dan motivasi dalam perkembangan.
Tapi tidak bisa kita pungkiri kedahsyatan media informasi dalam menanamkan pola pikir ke masyarakat. Media informasi yang dulu merupakan barang langka saat ini menjadi barang yang ada dimana-mana. Semua orang dari golongan apapu, dimanapun dapat mengkonsumsi berbagai informasi dengan mudah. Lihat saja fenomena saat ini, betapa mudah dan murahnya mencari informasi, hampir semua rumah punya televisi, harga surat kabar sangat terjangkau, dan pembelian jasa internet pin sangat murah.
Pada insan perinformasian Indonesialah kita menggantungkan sebagian besar masa depan bangsa ini. Akankah anak-anak penerus bangsa ini dituntun untuk menjadi insan yang suka melotot, berkata kasar pada orang tua, menunjuk-nunjuk muka orang yang diajak bicara, penuh iri dengki dan dendam kesumat ataukah akan dituntun untuk kembali ke image yang didoktrinkan kepada kita beberapa dasawarsa yang lalu bahwa orang Indonesia itu murah senyum, suka gotong royong, ramah, dan suka bekerja keras.
Oleh karena itu, media informasi harus mampu menyediakan “segudang” sosok ideal yang dibutuhkan oleh konsumennya khususnya pemuda. Memang tidak pernah ada yang ideal di dunia ini akan tetapi media informasi seharusnya mampu menampilkan sosok yang mendekati ideal dan berkompeten di bidangnya.
Perlu diingat pula bahwa sosok ideal tidak harus merupakan sosok nyata namun dapat juga sosok imajiner. Seperti yang dilakukan Jepang dalam upaya mengangkat prestasi sepak bolanya dengan tampilan sosok Kapten Tsubasa. Sosok imajiner yang sebenarnya merupakan harapan itupun berbuah manis beberapa tahun kemudian, Jepang mampu menjadi raksasa sepak bola ASIA bahkan dunia.
Akan tetapi, bukan berarti suatu keburukan tidak boleh ditampilkan, keburukan ataupun kegagalan akan sangat bagus untuk ditampilkan ketika ulasan bukan ditekankan pada kesalahan akan tetapi lebih kepada hikmah yang diperoleh dari kegagalan atau kesalahan tersebut. Jadi masyarakat belajar sehingga mampu melihat suatu fenomena dengan lebih bijak.
Dengan demikian seseorang tidak akan merasa kebingungan lagi untuk menentukan harus kemana ketika mereka telah sampai di persimpangan jalan. Mereka tidak akan merasa kebingungan ingin menjadi seperti siapakah kelak. Tampilnya “segudang” sosok teladan, pemuda kita akan mampu mengguncangkan dunia dengan prestasi-prestasinya dan melambungkan negeri kita ini menjadi sebuah bangsa berperadaban tinggi yang mampu bersaing dengan negara manapun. Amin.

































DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad dan Mohammad Asrosi. 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara

Anonimous. 2007. Berikan Aku 10 Pemuda Maka Aku Akan Goncangkan Dunia. Diakses 18 April 2009 (18.00 WIB) pada situs:http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v02/?mod=berita&id=236

Anonimuos. 2009. Jusuf Kalla Terima Doctor Honoris Causa dari Tokyo. Diakses 18 April 2009 (18.30 WIB) pada situs: http://www.surya.co.id/2009/02/02/jusuf-kalla-terima-honoris-causa-dari-tokyo/

Anonimuos. Diakses 18 April 2009 (18.15 WIB) pada situs: http://www.seleb.tv/content/view/ 13991/2/

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya

Suryawan, Fajar Budi. 2007. “Idealisme, Sang Pedang Bermata Dua”. Dalam Jurnal Ilmiah Sagasitas, No. 2, Volume 4, halaman 98-103. Yogyakarta: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Widagdhono, Djoko, dkk. 1988. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar