Social Icons

Pages

Sabtu, 19 Februari 2011

HARUSKAH ISTRIKU BERKUMIS?


Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendeka kaum ibu
Se-Indonesia
Beranjak dari potongan lagu karangan W.R. Supratman diatas, dapat kita resapi bahwa Kartini merupakan sosok wanita yang sangat diagungkan dan dipuja oleh kaumnya karena perjuangannya. Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Upaya-upaya keras Kartini untuk melepaskan wanita dari diskriminasi telah membuka penglihatan kaumnya di seluruh daerah nusantara. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Potret Tertindasnya Kaum Hawa
Banyak sekali hal yang terjadi selama ini dapat dijadikan sebagai refleksi tertindasnya kaum hawa. Penindasan tersebut terjadi terhadap hak-hak yang dimiliki oleh kaum hawa untuk beraktualisasi diri. Siti Nurbaya, contoh cerita popular yang sangat fenomenal kerena ceritanya disadari merupakan refleksi dari kondisi sosial bangsa kita sendiri. Kisah Siti Nurbaya pun kembali muncul dengan … dan syeh Puji sebagai pemerannya.
 Usia sekolah yang seharusnya menjadi sarana pengembangan diri telah terpasung dengan sumpah mereka di depan penghulu. Siti Nurbaya abad millennium ini memiliki tanggung jawab besar sebagai bunda dalam usian belia yang seharusnya masih mendapat kasih sayang seorang bunda. Tanpa disadari orangtua dari Luthfiana Ulfa yang menerima lamaran Syeh Puji telah menjadi salah satu “eksekutor pancung” terhadap pengembangan diri anaknya.
 “Mereka Bilang Saya Lemah! Mereka Bilang Tanpa Pria, Bisa Apa Saya? ”
            Kata-kata diatas dirasa cukup untuk menggambarkan ratapan kebanyakan wanita. Merasa kecil hati dan beranggapan bahwa dirinya selalu bergantung pada sosok “Adam” dengan segala kedigdayaannya.  Begitu pula anggapan pria dengan segala kedigdayaanya merasa besar hati karena sebagai tulang punggung keluarga dan merasa menjadi satu-satunya penerima wahyu Tuhan sebagai kepala keluarga dan satu-satunya jalan rizki bagi keluarga. Anggapan sempit seorang pria tersebut mencetaknya menjadi seorang ditaktor kejam yang apatis terhadap kebutuhan bidadarinya.
Tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah membawa dampak hebat pada kehidupan seorang wanita. Diskrimanasi terjadi dalam proses perkembangan kaum hawa. “Bocah wadon rasah sekolah duwur-duwur, sesuk dadi tanggungane wong lanang”. Kalimat tersebutlah yang sangat akrab di telinga kita ketika orang tua melarang anak gadisnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kondrat fisik wanita memang lebih lemah dibanding pria, masih ditambah dengan kapasitas ilmu melengkapi anggapan “wanita itu lemah”. Ujungnya saat berkeluarga rutinitasnya hanya memasak, mencuci, merawat rumah, merawat anak, dan harus berpenampilan manis ketika suami pulang dari tugasnya mencari nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Rutinitas itu membawa desakan hebat pada pribadi seorang wanita, bahkan terkadang suami melakukan tidakan kasar pada istri dan istri hanya diam saja karena rasa ketergantungannya dan merasa dirinya sangat lemah.
Kondisi tersebutlah yang lama-kelamaan menyulut kemarahan beberapa kaum hawa atas ketidak adilan perlakuan pada kaumnya. Amarah sedikit orang tersebut membakar seluruh kaum untuk melepaskan diri dari segala diskriminasi sehingga sosok Siti Nurbaya yang dulu biasa menjadi yang sangat tabu. Munculah banyak gerakan emansipasi kaum wanita dengan segala tuntutannya agar dipersejajarkan dan terlepas dari cengkraman kaum pria.
Emansipasi Wanita Indonesia: Kisah Ibu Prof. Dr.  dan Aktifis
            Emansipasi merupakan kata yang selalu terkait dengan nama seorang R.A Kartini. Emansipasi secara umum dipahami sebagai sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat. Seringkali pemahaman itu dipahami secara “mentah” sehingga timbul perilaku-perilaku yang jauh dari kata “wanita seutuhnya”. Coba kita lihat contoh ketimpangan-ketimpangan kasus berikut,
            Kasus pertama, seorang perempuan tengah baya berdiri di atas mimbar di depan kelas, menyampaikan materi kuliah kepada mahasiswanya. Di sampingnya terdapat onggokan buku literatur yang berjubel sebagai landasan apa yang sedang disampaikannya. Buku-buku itu sudah jarang dibuka karena semua yang tertuang dalam buku itu sudah terekam dalam otaknya. Ia seorang dosen, Prof Dr, yang rajin dan cerdas, dan mampu mentransfer ilmu-ilmu berkualitas dengan baik. Penyampaiannya fasih, logis, dan sistematis. Kata mahasiswanya, penyampaiannya ilmiah banget. Tapi sayang, sampai setua itu ia belum berumah tangga.
Kasus kedua, seorang ibu rumah tangga yang mempunyai kegiatan padat pada banyak organisasi. Selain ketua PKK di kampungnya, sekretaris LSM perlindungan wanita dan anak, ketua kumpulan Muslimatan, dan juga sebagai asisten dosen di kampusnya.
Dalam kesibukan seperti itu, seakan sudah biasa, suaminya disuruh mencuci baju, pagi-pagi buta sudah merejang air untuk memandikan anak-anak mereka yang masih kecil, mengganti popok, membedaki dan menemani sampai mereka tenang dan diam. Sang suami pun dapat berbelanja sayur dan lauk serta mencuci beras untuk ditanak demi kebutuhan anak dan istrinya.
Haruskan Istriku Berkumis?
Emansipasi menjadi tanda tanya besar dalam perkembangan tuntutan-tuntutan wanita. Kesejajaran seperti apakah yang diidamkan? Kesejajaran seperti apakah yang ideal? Jika sejajar apakah istri saya harus berkumis seperti saya? Sampai saat ini pertanyaan tersebut masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh wanita Indonesia, bahkan dunia.
Kartini memiliki cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat khususnya perempuan yang tidak mendapatkan hak pendidikan juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya.
Pria dan wanita punya karakternya masing-masing, sehingga kesejajaran yang ideal bukanlah kesamaan secara keseluruhan melainkan kesejajaran yang akan membawa keharmonisan hubungan antar kedua jenis manusia. Dalam emansipasinya wanita, Kaum wanita boleh saja berkarya sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, tentunya tanpa megabaikan kodrat dan tugasnya sebagai wanita, sebagaimana yang dilakukan oleh panutan mereka, ibu kita Kartini. Wanita harus tetap berada pada posisi kodratnya (4m) yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Kodrat yang pertama menstruasi tidak mungkin bisa ditolaknya, namun ada wanita yang tidak mau hamil berarti dia tidak mungkin juga untuk melahirkan dan menyusui.
Kenali Betul Siapa Anda!
            Wanita harus mampu mengenali betul siapakah dirinya, dalam hal ini adalah kodrat yang telah merekat pada dirinya. Pengenalah diri sangat vital dalam proses perkembangan, jika manusia tidak mampu mengenali dirinya seutuhnya maka akan timbul luapan emosi terhadap suatu tekanan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan visi penyelamatan apa yang mereka perjuangkan.
Dengan pengenalan diri secara utuh akan membawa emansipasi dalam penyelamatan hak-hak kaum hawa secara tepat dan akan membawa keselarasan hubungan antara kaum wanita dan pria. Membawa kehidupan dalam kesejajaran yang mengacu pada koridor-koridor tertentu sehingga keterpenuhan hak antara pria dan wanita pun akan terpenuhi. Bukan hidup dengan kesejajaran mutlak tanpa memperhatikan jati diri sebagai koridor sehingga hasil yang terbentuh adalah kehidupan penuh persaingan dan berujung pada diskriminasi pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar