Hak belajar merupakan
isu yang tak pernah berhenti diperbincangkan. Pada dasarnya negara Indonesia
telah menjamin hak setiap masyarakat untuk dapat belajar dengan nyaman. Dengan
tegas 31 ayat 1 UUD 45 yang menyatakan setiap warga negara mempunyai kesempatan
yang sama memperoleh pendidikan. Pada tahun 2009 pemerintah mulai memberi
dukungan diselenggarakan sekolah inklusi melalui Permendiknas nomor 70.
Pemangku kebijakan memunculkan sistem pendidikan terpadu untuk memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus sehingga dapat
bersekolah di sekolah umum. Gerakan lebih massive nampak pada pasal
4 ayat 1 bahwa seharusnya minimal dalam satu kecamatan terdapat satu sekolah
inklusi yang dapat memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus belajar.
Haruskah
Inklusi?
Konsep sekolah inklusi merespon
masalah kompetensi sosial difabel. Banyak ahli yang menganggap SLB memunculkan
pengkotakan sehingga membentuk sekat tebal, anak berkebutuhan khusus seolah
dibuatkan dunia sendiri sehingga mengakibatkan masalah yang akut saat siswa berada
di luar lingkungan sekolah. Difabel menjadi tidak siap untuk bergaul dengan
mayarakat umum.
Untuk menghadapi
pergaulan, siswa di SLB dikenalkan dengan cara menyikapi lingkungan sosial yang
didominasi oleh orang umum. Namun sayangnya masalah sosial sangat kompleks
sehingga tidak cukup hanya dengan memberikan teori. Berapapun buku yang
dikatamkan tidak akan mampu menjelaskan secara menyeluruh konflik sosial. Dengan
demikian maka praktik adalah cara paling baik untuk belajar.
Masalah sosial
sesungguhnya tidak hanya dihadapi oleh orang berkebutuhan khusus. Pertanyaanya
apakah kita sebagai non difabel telah dibekali kemampuan untuk bersosialisasi
dengan difabel? Tanpa pikir panjang, jawabnya “tidak”. Idealnya ada kesiapan
antara kedua belah pihak, orang berkelainan siap bergaul dengan masyarakat umum
dan sebaliknya.
Sekolah adalah tempat
latihan bersosialisasi, disinilah seseorang diajarkan untuk mampu bersikap baik
dengan orang lain yang memiliki beda pendapat, kebiasaan, sikap, dan kemampuan.
Dua belas tahun bersekolah, menemui ribuan orang dengan beragam karakter, lulus
dengan pengalaman berbagai konflik dan pemecahannya membekali siswa menjadi
kaum sosial yang baik. Bukan perkara mudah dan instan mengajari siswa dapat
bijaksana dalam bergaul. Dengan demikian pada dasarnya kemunculan sekolah
inklusi bukan hanya semata-mata memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus, tapi
lebih pada kepentingan bersama untuk membentuk mesyarakat yang utuh dan
harmonis.
Ubah
Paradigma
Jujur harus
disampaikan, sering sekali terdengar bahwa pada saat prestasi sekolah inklusi
tidak baik maka siswa difabel menjadi alasan. Ramai terdengar bahwa sekolah
inklusi berjuang sekuat tenaga agar difabel terfasilitasi pendidikannya dengan
lebih baik. Kaum berkebutuhan khusus menjadi kambing hitam, seolah-olah demi
merekalah sistem terpadu dimunculkan. Imbasnya, setiap terjadi kesulitan dalam
penyelenggaraan pendidikan, kaum mayoritas selalu merasa berkorban demi kaum
minoritas.
Terdapat kejanggalan
pada paradigma mengorbankan dan dikorbankan. Jika dikembalikan pada dasar
negara bahwa semua warga berhak mendapatkan pendidikan maka akan nampak bahwa
sama sekali tidak disinggung kaum minoritas dan mayoritas. Analisis lebih
mendalam saat kita mengkaji sila kelima dan falsafah bhinneka tunggal ika,
fokusnya hanya pada persatuan tanpa memperdebatkan jumlah anggota setiap kroni.
Singkatnya mampu bersosialisasi dengan semua warga adalah kebutuhan bersama,
orang non difabel butuh kompetensi untuk bergaul dengan difabel, begitu pula
sebaliknya agar keseimbangan sosial di dalam negeri terjaga dengan baik.
Gagap
Istilah
Hingga saat ini masih
sering diperdebatkan relevansi sistem sekolah inklusi. Mulai dari wali muri,
guru, hingga pemangku kebijakan masih mempertanyakan apakah sekolah terpadu
merupakan solusi dalam mengembangkan potensi siswa difabel dan non difabel.
Keraguan muncul karena sistem tersebut dikira merupakan hal baru di negara
kita. Padahal mari kita telaan lebih tajam konsep bhinneka tunggal ika,
berbeda-beda tapi tetap satu. Lebih detailnya adalah banyak perbedaan tapi
tetap dapat rukun (bersosialisasi) dalam kehidupan (juga pendidikan).
Kata inklusi dianggap baru karena kata serapan,
jika dibranding menjadi pendidikan
berbhinneka tunggal ika mungkin mayarakat dapat menerima dengan lebih mudah.
Tidak ada yang dikorbankan, berkembang bersama adalah kebutuhan bersama.
Dimuat dalam Kedaulatan Rakyat (Jumat, 21 Juli 2017). [klik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar