Oleh: Janu Arlinwibowo, M.Pd
Seluruh
dunia telah menyerahkan pengembangan potensi bibit-bibitnya ke dalam suatu
wadah pendidikan yang biasa disebut sekolah. Indonesia sangat menyadari
pentingnya bersekolah agar semua pemudahnya dapat memaksimalkan potensinya dan
memiliki bekal untuk bersaing di masa mendatang. Saat ini bangsa Indonesia
telah memberikan standar bagi masyarakat untuk belajar minimal 9 tahun (hingga
SMP) yang sering disebut sebagai wajib belajar 9 tahun. Walaupun pada faktanya,
banyak orang yang menganggap saat ini pendidikan SMA tidak cukup. Seseorang
harus menempuh hingga jenjang strata 1 untuk dapat bersaing.
Untuk
menjamin tidak ada lagi dengungan tidak bersekolah karena mahal maka saat ini pendidikan
hingga jenjang SMP telah digratiskan oleh pemerintah. Upaya tersebut telah
menghapuskan diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Lebih lanjut bahkan
pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan inklusi sehingga anak dengan
kebutuhan khusus dapat bersekolah bersama anak-anak lain. Dengan demikian maka
diskriminasi terhadap keterbatasan siswa pun perlahan telah diatasi.
Pada saat
bersekolah seseorang berubah status dari seorang anak menjadi seorang siswa.
Anak ketika di rumah dengan kontrol dan aturan main yang dibuat oleh orangtua
sedangkan siswa ketika di sekolah dengan kontrol dan tata tertib sekolah. Pada
saat bersekolah, siswa berproses sendiri bersama teman dalam sistem yang ada di
sekolah. Orangtua didesain untuk minim intervensi dengan harapan anak tumbuh
menjadi sosok yang lebih mandiri. Siswa diajari untuk mulai berani tidak
ditunggui dari PAUD dan TK. Pada saat SD, siswa dikondisikan untuk sudah masuk
gerbang sekolah sendiri dan kluar gerbang sekolah sendiri. Sekolah adalah dunia
siswa dimana orantua tidak memiliki banyak campur tangan.
Komunikasi Orangtua dan Sekolah
Selama ini,
campur tangan orangtua hanya pada hal administrasi, sosialisasi program, dan ketika
siswa mengalami permasalahan. Pada hal administrasi dan sosialisasi, orangtua
dilibatkan dalam acara kontinu seperti penerimaan rapor ataupun rapat awal
semester. Namun, pembahasan masalah pribadi mengenai perkembangan siswa sangat
jarang dilakukan secara intensif, kecuali untuk siswa bermasalah. Anak yang
tidak mengalami masalah dianggap sebagai anak “normal” sehingga tidak perlu ada
komunikasi khusus dengan orangtua.
Situasi
tersebut berlangsung terus-menerus sehingga lazimnya jika guru atau pihak
sekolah menemui atau memanggil orangtua maka dianggap pasti ada hal spesial
yang dilakukan oleh putra/putrinya. Tidak kaget jika saat guru menemui atau
memanggil, hal yang pertama ditanyakan oleh orangtua adalah “apakah anak saya
membuat masalah?”. Bahkan tidak jarang ketika ada undangan untuk ke sekolah,
orangtua langsung marah dan menyimpulkan bahwa anaknya melakukan perilaku yang
tidak baik, padahal belum tentu.
Citra
negatif melekat pada aktifitas “komunikasi antara guru dan orangtua” pada waktu
yang bukan agenda rutin dan tidak diagendakan masal. Fakta demikian membuat
ketiadaan inisiatif orangtua untuk melakukan komunikasi dengan pihak sekolah. Dengan
demikian maka terputuslah hubungan dan komunikasi intensif antara orangtua dan
guru. Imbasnya sangat fatal yaitu sinergi yang tidak dapat terbangun dengan
baik. Padahal sinergi orangtua dan guru merupakan salah satu aspek fundamen
dalam memaksimalkan potensi siswa.
Urgensi Sinergi Orangtua dan Sekolah
Sinergi
antara pihak sekolah dan orangtua sangat penting. Handerson (Mariyana, 2009)
menyatakan bahwa jika sekolah tidak membuat dan melakukan usaha untuk
mengikutsertakan orangtua dalam proses pendidikan maka anak akan kesulitan
dalam menggabungkan dan meenyatukan pengalaman yang mereka peroleh di rumah dan
di sekolah. Kedua pengalaman terpisah oleh ruang dan waktu sehingga jika tidak
dilakukan penyatuan maka akan sangat mungkin seorang siswa tumbuh menjadi
individu yang berbeda dalam setiap kondisi. Kasus yang sering dihadapi adalah
perbedaan sikap saat di sekolah dan di rumah. Terdapat guru yang tidak
menyadari kenakalan siswa karena sikap yang ditunjukan di sekolah sangat baik
akan tetapi dirumah sebaliknya, atau orangtua tidak percaya informasi guru
bahwa anaknya berkelakuan kurang baik karena saat dirumah merupakan seorang
yang sangat santun. Kasus demikianlah yang memicu banyak “kecolongan”. Siswa
teridentifikasi memiliki perkembangan yang kurang baik saat sudah melakukan
perbuatan fatal.
Banyak
pihak yang mulai menyadari arti penting sinergi dengan orangtua. Zaman sudah
mulai bergeser dimana saat ini posisi sekolah dan orangtua sudah seharusnya
menjadi partner dalam mengembangkan potensi siswa. Kurikulum saat ini telah
menekan keseimbangan perkembangan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Dari
ketiga hal tersebut, guru hanya dapat mendominasi pada perkembangan kognitif, sedangkan
untuk sikap dan ketrampilan, proses pembelajaran sekolah hanya dapat menjangkau
ranah teoritis. Itupun hanya dari mulai pukul 7.00 hingga 14.00, selebihnya
siswa sudah hidup dalam lingkungannya masing-masing. Diluar jam sekolah sikap
dan ketrampilan diasah lebih lama. Orangtualah yang memiliki kemampuan dalam
mengendalikan lingkungan luar sekolah.
Revitalisasi Peran Orantua Sebagai Wali Murid
Intensitas
komunikasi siswa dengan pihak sekolah harus ditingkatkan. Citra bahwa orangtua
ke sekolah adalah orangtua dari siswa yang berkelakuan kurang baik harus dihilangkan.
Langkah strategis yang dapat diambil adalah revitalisasi peran wali murid. Sekolah
memiliki peran besar pada upaya tersebut yaitu dengan memberikan arahan terbuka
pada orangtua untuk menjadi sebenar-benarnya wali tanpa harus mengkhawatirkan
citra yang saat ini berkembang. Orangtua memiliki hak untuk mendapatkan
informasi perkembangan anaknya tidak hanya melalui rapor tapi juga data leboh
detail melalui komunikasi intensif dengan guru. Disamping itu orangtua juga
harus sadar bahwa semua perkembangan anaknya adalah penting untuk diketahui dan
didiskusikan. Jika peran orangtua sebagai wali menjadi lebih nyata, semakin
intensif komunikasi orantua dan guru, kondisi perkembangan anak semakin
terkontrol, dan “bincang-bincang” orangtua dengan pihak sekolah menjadi hal
biasa maka proses pendidikan anak menjadi semakin baik, potensi berkembang
maksimal, dan hal negatif ditekan minimal. Sekolah
memupuk, orangtua menyiram, dan bersama memproteksi dari hama.
Artikel ini dimuat di MuriaNewsCom, Kamis 9 Maret 2017 [klik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar