Social Icons

Pages

Jumat, 24 Maret 2017

Revitalisasi Peran Wali Murid



Oleh: Janu Arlinwibowo, M.Pd
Seluruh dunia telah menyerahkan pengembangan potensi bibit-bibitnya ke dalam suatu wadah pendidikan yang biasa disebut sekolah. Indonesia sangat menyadari pentingnya bersekolah agar semua pemudahnya dapat memaksimalkan potensinya dan memiliki bekal untuk bersaing di masa mendatang. Saat ini bangsa Indonesia telah memberikan standar bagi masyarakat untuk belajar minimal 9 tahun (hingga SMP) yang sering disebut sebagai wajib belajar 9 tahun. Walaupun pada faktanya, banyak orang yang menganggap saat ini pendidikan SMA tidak cukup. Seseorang harus menempuh hingga jenjang strata 1 untuk dapat bersaing.
Untuk menjamin tidak ada lagi dengungan tidak bersekolah karena mahal maka saat ini pendidikan hingga jenjang SMP telah digratiskan oleh pemerintah. Upaya tersebut telah menghapuskan diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Lebih lanjut bahkan pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan inklusi sehingga anak dengan kebutuhan khusus dapat bersekolah bersama anak-anak lain. Dengan demikian maka diskriminasi terhadap keterbatasan siswa pun perlahan telah diatasi.
Pada saat bersekolah seseorang berubah status dari seorang anak menjadi seorang siswa. Anak ketika di rumah dengan kontrol dan aturan main yang dibuat oleh orangtua sedangkan siswa ketika di sekolah dengan kontrol dan tata tertib sekolah. Pada saat bersekolah, siswa berproses sendiri bersama teman dalam sistem yang ada di sekolah. Orangtua didesain untuk minim intervensi dengan harapan anak tumbuh menjadi sosok yang lebih mandiri. Siswa diajari untuk mulai berani tidak ditunggui dari PAUD dan TK. Pada saat SD, siswa dikondisikan untuk sudah masuk gerbang sekolah sendiri dan kluar gerbang sekolah sendiri. Sekolah adalah dunia siswa dimana orantua tidak memiliki banyak campur tangan.
Komunikasi Orangtua dan Sekolah
Selama ini, campur tangan orangtua hanya pada hal administrasi, sosialisasi program, dan ketika siswa mengalami permasalahan. Pada hal administrasi dan sosialisasi, orangtua dilibatkan dalam acara kontinu seperti penerimaan rapor ataupun rapat awal semester. Namun, pembahasan masalah pribadi mengenai perkembangan siswa sangat jarang dilakukan secara intensif, kecuali untuk siswa bermasalah. Anak yang tidak mengalami masalah dianggap sebagai anak “normal” sehingga tidak perlu ada komunikasi khusus dengan orangtua.
Situasi tersebut berlangsung terus-menerus sehingga lazimnya jika guru atau pihak sekolah menemui atau memanggil orangtua maka dianggap pasti ada hal spesial yang dilakukan oleh putra/putrinya. Tidak kaget jika saat guru menemui atau memanggil, hal yang pertama ditanyakan oleh orangtua adalah “apakah anak saya membuat masalah?”. Bahkan tidak jarang ketika ada undangan untuk ke sekolah, orangtua langsung marah dan menyimpulkan bahwa anaknya melakukan perilaku yang tidak baik, padahal belum tentu.
Citra negatif melekat pada aktifitas “komunikasi antara guru dan orangtua” pada waktu yang bukan agenda rutin dan tidak diagendakan masal. Fakta demikian membuat ketiadaan inisiatif orangtua untuk melakukan komunikasi dengan pihak sekolah. Dengan demikian maka terputuslah hubungan dan komunikasi intensif antara orangtua dan guru. Imbasnya sangat fatal yaitu sinergi yang tidak dapat terbangun dengan baik. Padahal sinergi orangtua dan guru merupakan salah satu aspek fundamen dalam memaksimalkan potensi siswa.
Urgensi Sinergi Orangtua dan Sekolah
Sinergi antara pihak sekolah dan orangtua sangat penting. Handerson (Mariyana, 2009) menyatakan bahwa jika sekolah tidak membuat dan melakukan usaha untuk mengikutsertakan orangtua dalam proses pendidikan maka anak akan kesulitan dalam menggabungkan dan meenyatukan pengalaman yang mereka peroleh di rumah dan di sekolah. Kedua pengalaman terpisah oleh ruang dan waktu sehingga jika tidak dilakukan penyatuan maka akan sangat mungkin seorang siswa tumbuh menjadi individu yang berbeda dalam setiap kondisi. Kasus yang sering dihadapi adalah perbedaan sikap saat di sekolah dan di rumah. Terdapat guru yang tidak menyadari kenakalan siswa karena sikap yang ditunjukan di sekolah sangat baik akan tetapi dirumah sebaliknya, atau orangtua tidak percaya informasi guru bahwa anaknya berkelakuan kurang baik karena saat dirumah merupakan seorang yang sangat santun. Kasus demikianlah yang memicu banyak “kecolongan”. Siswa teridentifikasi memiliki perkembangan yang kurang baik saat sudah melakukan perbuatan fatal.
Banyak pihak yang mulai menyadari arti penting sinergi dengan orangtua. Zaman sudah mulai bergeser dimana saat ini posisi sekolah dan orangtua sudah seharusnya menjadi partner dalam mengembangkan potensi siswa. Kurikulum saat ini telah menekan keseimbangan perkembangan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Dari ketiga hal tersebut, guru hanya dapat mendominasi pada perkembangan kognitif, sedangkan untuk sikap dan ketrampilan, proses pembelajaran sekolah hanya dapat menjangkau ranah teoritis. Itupun hanya dari mulai pukul 7.00 hingga 14.00, selebihnya siswa sudah hidup dalam lingkungannya masing-masing. Diluar jam sekolah sikap dan ketrampilan diasah lebih lama. Orangtualah yang memiliki kemampuan dalam mengendalikan lingkungan luar sekolah.
Revitalisasi Peran Orantua Sebagai Wali Murid
Intensitas komunikasi siswa dengan pihak sekolah harus ditingkatkan. Citra bahwa orangtua ke sekolah adalah orangtua dari siswa yang berkelakuan kurang baik harus dihilangkan. Langkah strategis yang dapat diambil adalah revitalisasi peran wali murid. Sekolah memiliki peran besar pada upaya tersebut yaitu dengan memberikan arahan terbuka pada orangtua untuk menjadi sebenar-benarnya wali tanpa harus mengkhawatirkan citra yang saat ini berkembang. Orangtua memiliki hak untuk mendapatkan informasi perkembangan anaknya tidak hanya melalui rapor tapi juga data leboh detail melalui komunikasi intensif dengan guru. Disamping itu orangtua juga harus sadar bahwa semua perkembangan anaknya adalah penting untuk diketahui dan didiskusikan. Jika peran orangtua sebagai wali menjadi lebih nyata, semakin intensif komunikasi orantua dan guru, kondisi perkembangan anak semakin terkontrol, dan “bincang-bincang” orangtua dengan pihak sekolah menjadi hal biasa maka proses pendidikan anak menjadi semakin baik, potensi berkembang maksimal, dan hal negatif ditekan minimal. Sekolah memupuk, orangtua menyiram, dan bersama memproteksi dari hama.
Artikel ini dimuat di MuriaNewsCom, Kamis 9 Maret 2017 [klik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar