“Korupsi di Indonesia sudah masuk dalam kategori cethar membahana badai”
Cethar membahana badai
adalah kalimat diva pop syahrini yang menyatakan sebuah sesuatu luar biasa
tiada tandinganya. Kalimat nyentrik ini penulis sadur untuk mengungkapkan
betapa parahnya korupsi di negara ini. Bahkan jika dianalogikan dalam stadium
penyakit, mungkin sudah masuk kedalam stadium empat. Untuk mengetahui kronisnya
kondisi bangsa, mari kita lihat rapor bangsa. Menurut Adnan Topan Husodo dalam
Assriana Issa Sofia, dkk. (2011: 41), hasil survei Transparency
Internasional memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2
kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159
negara tersurvei.
Prestasi
buruk tentang korupsi sudah menjadi rahasia umum. Bukan tanpa upaya,
pemberantasan korupsi terus dielu-elukan dari waktu ke waktu. Dari mulai orde
lama dengan Operasi Budhi, Orde baru dengan Tim Pemberantasa Korupsi (TPK),
hingga saat ini di era reformasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun
melihat realita saat ini, timbul public
judgement bahwa korupsi merupakan manifestasi budaya bangsa. Banyak
usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi hasilnya masih
tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Memang, predikat
stadium empat dalam bidang kesehatan berarti harapan sembuh sedikit, bahkan
dalam beberapa kasus kematian sudah dapat dijadwalkan. Namun dengan usaha total
dari tim dokter, tidak jarang pula keajaiban bisa terjadi. Oleh karena itu mari
kita optimis bahwa masih ada keajaiban yang dapat memulihkan negara ini. Mari
dekatkan bangsa ini dengan keajaiban melalui usaha keras dan jeli mengambil
langkah solutif.
Menelusur
Calon Koruptor
Memperhatikan carut
marutnya, bangsa ini dihuni oleh dua kubu masyarakat, koruptor dan calon
koruptor. Untuk mengatasi masalah korupsi adalah dengan merehabilitasi
koruptor. Akan tetapi cara ini sangat sulit karena naluri korupsi sudah melekat
dalam karakter. Contoh nyata adalah terpidana korupsi yang sudah jelas dalam
proses hukuman pun masih melakukan perbuatan buruk dengan bersenang-senang
diluar tahanan ataupun menikmati fasilitas mewah di dalam tahanan. Jelas
hukuman tidak memberikan rehabilitasi pada mereka. Penggodogkan formula untuk
membuat jera pun saat ini sedang terus dibincangkan, walaupun mayoritas
kalangan dalam keadaan pesimis.
Tanpa bermaksud
mengabaikan rehabilitasi koruptor, mari kita celah lain yang strategis untuk
memutus generasi kelam. Kubu kedua yaitu calon koruptor. Dalam keadaan sistem
seperti saat ini semua individu dengan podasi apapun menyandang gelar calon
koruptor. Akan tetapi, sebelum naik pangkat menjadi koruptor, kubu ini dapat
dibentengi agar tidak mengikuti generasi atasnya yang terlanjur.
Dahulu kala, mereka yang
sekarang adalah koruptor adalah individu lugu yang tidak sadar telah menjadi
calon koruptor. Kesempatanlah yang membuat mereka naik pangkat menjadi
koruptor. Kenapa mereka dapat naik pangkat dengan mudah? Karena sikap
matrealistis itulah jawab singkatnya. Tidak mampu menahan iming-iming harta dan
langkah praktis untuk memperoleh kekuasaan membuat mereka lupa diri. Sikap
tamak yang tidak terkontrol mengalahkan secuil bekal iman yang diperoleh di
saat masa lalu. Oleh karena itu, asupan iman yang tak terhingga harus
disuntikan ke calon koruptor sejak dini.
Masalah muncul ketika
bagaimana proses penyuntikan? Ya, saat ini mulai dikembangkan pendidikan anti
korupsi di sekolah. Namum pertanyaanya, bagaimana pola pendidikan sebelum anak
sekolah dan sepulang sekolah bagaimana saat dia dirumah? Orangtau berkewajiban
menjadi seorang guru ketika anak berada diluar sekolah.
Orangtua
= Guru = Butuh Kompetensi
Apakah orangtua paham
bagaimana membuat anaknya tumbuh menjadi individu baik dan mengundurkan dari
persaingan calon koruptor? Inilah masalah sesungguhnya, dimana orangtua tidak
memahami benar pendidikan anti korupsi. Perilaku, informasi dan ajaran orangtua
pada anak tidak disortir. Semua yang menurut orangtua baik dimasukkan dalam
logika anak tanpa memperhatikan masukan tersebut memiliki residu negatif yang
mengendap di pikiran anak.
Seharusnya orangtua
harus mampu menyortir informasi yang akan disampaikan membangun. Cerita yang
dapat membuat anak memiliki motivasi berkembang dan semangat. Bahkan akan
sangat luar biasa jika orangtua dapat membuat cerita sendiri yang disesuaikan
dengan kebutuhan anak. Dapat diberikan doktrin-doktrin kebaikan yang kedepanya
dapat menjadi landasan hidup dan acuan dalam melangkah.
Sayangnya sangat
sedikit orangtua yang memiliki kompetensi mumpuni untuk mendidik anak. Selama
ini pertumbuhan badan menjadi fokus dari orang tau. Untuk pembentukan karakter,
perhatian orangtua masih sangat kurang. Sebagai seorang guru, orangtua
seharusnya memiliki standart kompetensi yang jelas. Dengan adanya standart
kompetensi orang tua maka kualitas pendewasaan anak dapat
dipertanggungjawabkan.
Seharusnya ada kompetensi
khusus yang disiapkan pranikah berkaitan sengan pola asuh atau dapat juga
dibekalkan. Saat ini, untuk pranikah pembekalan masih sangat minim. Seharusnya
pemerintah merumuskan dengan jelas kompetensi apa saja yang harus dikuasai
calon mempelai. Gambaran untuk dan penyikapan terhadap suatu masalah dengan
benar harus dibekalkan.
Pemerintah seolah hanya
mendata, lalu melepas pasangan suami istri. Fasilitas pasca menikah pun jarang
ditemui, jika ada masyarakat masih belum familiar. Dalam masalah anak,
pembekalan oleh dokter hanya mengenai perawatan kesehatan fisik saja, tanpa
masuk ke ranah perkembangan mental dan karakter anak. Hal ini membuat orangtua
mendidik anak semampunya dan setaunya. Dampaknya jelas, tidak ada standar
kualitas pendidikan anak. Salah-salah anak dapat tumbuh menjadi pribadi kurang
baik yang kelak akan merugikan banyak pihak.
Ekspansi
Fungsi KB: Langkah Membangun Kualitas Anak
Bisakah pemerintah
menyelenggarakan program yang memberikan fasilitas berkaitan dengan strategi
orangtua dalam mendidik anak? Jawabnya adalah sangat bisa. Fasilitas konsultasi
dan penambahan wawasan pola didik anak dapat dimasukan dalam program Keluarga
Berencana (KB). Saat ini terdapat program KB hanya berfungsi untuk mengontrol
populasi penduduk.
Hanya berfungsi sebagai
kontrol kuantitas jumlah anak nampaknya belum cukup mewakili arti dari nama KB.
Ditinjau dari namanya “Keluarga Berencana”, jika diartikan meluas dapat
memiliki arti suatu perencanaan yang dibangun dalam keluarga sehingga terbentuk
keluarga sehat dan berkualitas. Dengan demikian pemasukan fasilitas konsultasi
dan penambahan wawasan pola didik anak tidak bertentangan. Dengan dihuni
keluarga sehat dan berkualitas maka akan terbentuk suatu negara yang sehat dan
berkualitas pula. Bibit-bibit baru akan terdidik dan memiliki karakter kuat
sehingga musnahlah predikat calon koruptor.
Keuntungannya memasukan
fasilitas konsultasi dan penambahan wawasan pola didik anak dimasukan dalam
program KB adalah kepercayaan masyarakat akan lebih mudah didapat. Interaksi
program juga akan lebih cepat merasuk dalam komponen masyarakat.
Saat ini, KB sudah
memiliki konotasi yang baik di kalangan masyarakat. Ikut keluarga berencana
tidak berarti memiliki masalah, akan tetapi kondisi biasa yang diarahkan
menjadi sesuatu luar biasa. Karena kita ketahui masyarakat kita memiliki budaya
malu yang tinggi, sering menganggap kekurangan sebagai aib. Misal jika anak
nakal, malu untuk berkonsultasi ke ahli anak ataupun psikolog karena dianggap
suatu aib. Akan tetapi penyatuan dengan keluarga berencana yang memiliki
konotasi baik akan menghilangkan rasa malu masyarakat. Dengan demikian maka
diharap semua orangtua akan memiliki kompetensi cukup untuk membangun budaya
baik dalam keluarga. Dengan demikian pertumbuhan anak dapat mengarah ke insan
berkarakter kuat anti kejahatan (korupsi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar