“Korupsi
ibarat warisan tanpa surat wasiat yang tetap lestari meskipun telah diharamkan”
(Dr. Indah Sri Utari)
Korupsi merupakan
masalah yang saat ini sudah mengakar di bangsa kita. Mulai dari pejabat tinggi
sampai dengan pejabat terendah terindikasi telah tersentuh virus jahanan ini.
Sebetulnya apa yang menjadi sebab dari merebaknya virus perusak mental ini?
Motivasi materi adalah alasan utama. Entah memang karena kebutuhan yang
mendesak atau hanya karena sifat tamak semata.
Di aparat golongan
bawah, virus ini merebak karena gaji yang diterima tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup. Tekanan kebutuhan membuat seekor gajah pun bisa segesit kancil
dalam memanfaatkan peluang. Hingga munculah pemakluman gila pada keadaan yaitu
“mencari uang haram aja susah, apalagi
uang halal”. Kalimat ini membumi di lapisan masyarakat bawah yang selalu merasa
tertekan beban finansial. Koruptor adalah seorang manipulator ulung yang dapat
meliuk-liuk dalam segala keadaan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan
(Marilyn Pincus, 2012: 104-105). Jika berlarut, bukan tidak mungkin dalam suatu
titik predikat halal dan haram akan hilang, semua yang ada di dunia menjadi
halal.
Di aparat golongan
atas, virus ini merebak tidak kalah luar biasa, bahkan asumsi masyarakat kecil,
semua aparat negara dengan kekayaan melimpah pasti koruptor. Padahal belum
tentu, karena banyak sekali aparat yang memiliki usaha potensial yang bisa
memberikan pemasukan berkali-kali lipat lebih besar dari gaji sebagai aparat
negara. Tapi faktor lain diluar profesinya sebagai aparat negara seolah diabaikan
begitu saja oleh pendangan masyarakat. Sebabnya adalah citra seorang aparat
yang sudah erat dengan korupsi.
Kenapa aparat golonga
atas korupsi? Apakah seperti aparat golongan bawah yang dilandari karena
tekanan finansial? Jawabanya jelas iya, jika dipandang dari individu koruptor.
Gaya hidup yang mewah membuat berapa saja uang yang dimiliki selalu saja
kurang. Selalu ingin berfasilitas mewah dan tidak ingin ketinggalan dengan
kolega menuntut mereka untuk memiliki kekayaan yang lebih lebih dan lebih. Jika
dipandang dari masyarakat menengah kebawah jelas ini merupakan perilaku tamak.
Bukan alasan kuat suatu desakan finansial untuk bermewah-mewahan karena dengan
berpenampilan lebih sederhanapun mereka tidak akan menurunkan martabat dan
kewibawaan.
Jika tidak diredam,
merebaknya virus korupsi akan membawa negara ini dalam kondisi yang semakin
terpuruk. Bahaya yang paling dahsyat dan saat ini sudah mulai tercium adalah
memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Bagaimana jika dalam
suatu situasi pemerintah tidak lagi mendapat kepercayaan publik? Dapat
dibayangkan negara ini akan semakin ricuh dan tidak terkontrol.
Pertahankan
Fitrah Baik Manusia
Bagaimanakah
menyelesaikan masalah korupsi? Membentuk individu baru dengan pahatan indah
adalah salah satu langkah penting. Bukan berarti mengesampingkan rehabilitasi
pelaku koruptor dan bukan pula menganggapnya tidak penting. Namun, mari kita
melihat sudut lain yang memiliki potensi untuk mengangani kasus ini. Anak,
sebagai elemen penting dalam menentukan nasib bangsa di masa mendatang. Kelak
individu “imut” inilah yang akan berdiri gagah di singgasana pemerintahan.
Sepertihalnya kaum
dewasa, tidak ada istilah hidayah untuk anak-anak. Pada dasarnya semua manusia
itu adalah individu yang baik (Munif Khatib, 2012: 5). Sehingga sewaktu masih
anak-anak semua orang baik. Hanya saja perkembangan yang membuat mereka tumbuh
menjadi sosok lain. Membuat anak mempertahankan kompetensinya sebagai insan
yang baik harus dilakukan hingga karakter baik melekat paten selamanya. Jika
diasumsikan bahwa suatu fitrah itu sebagai pondasi, akan sangat kokoh manusia
tersebut dalam menahan gempuran pengaruh buruk.
Menempatkan orang tua
sebagai garda terdepan dalam mempertahankan fitrah anaknya. Orang tua adalah
manajer dari suatu keluarga sebagai wahana pendidikan pertama. Apapun kebijakan
orangtua akan memberikan pengaruh pada proses anak dalam membentuk karakter.
Sehingga anak merupakan sebuah relief hasil karya pahatan yang dilakukan orang
tuanya.
Jangan
Buat Anak Kita Pintar, Tapi Buat Mereka Baik
Fitrah seorang anak
adalah baik, jangan buat mereka pintar tapi tidak baik. Seringkali orangtua
mendidik anak untuk menjadi anak yang pintar. Orientasi ini membuat fitrah anak
menjadi pudar. Unsur kebaikan yang dimiliki anak bertransformasi ke arah lain
yang akan membuatnya menjadi pribadi pintar. Kasus inilah yang sering terjadi.
Dimana banyak sekali orang pintar tapi tidak mendistribusikan kepintaran dalam
rute fitrahnya.
Banyak sekali orang tua
di Indonesia yang dapat memberikan fasilitas agar anaknya tumbuh menjadi
pribadi yang pintar. Sudah menjamur bimbingan belajar yang dapat memfasilitasi anak
untuk belajar. Dan memang saat ini bimbingan belajar semakin populer seiring
dengan tuntutan standar kelulusan yang terus ditingkatkan. Anak akan digembleng
habis-habisan untuk dapat mendapat nilai memuaskan. Nampak sekali arogansi orang
tua yang menginginkan kebanggaan dari anak melalui prestasi akademik sehingga
anak masuk di sekolah favorit atau universeitas terkemuka.
Pintar
= Blacklist
Terteguk masam ketika
muncul opini dari saat diskusi, “sebaiknya
pegawai instasi negara tidak diisi oleh alumni dari universitas ternama”. Anggapan
tersebut berdasar pada kompetensi lulusan universitas ternama sangat tinggi.
Dikhawatirkan ketika mereka menjabat maka semakin cerdas pula mereka dalam
mencari celah untuk kepetingannya sendiri. “Kalau
koruptornya cerdas, siapa yang bisa memberantas?”.
Sangat dilematis, citra
buruk tidak hanya melekat pada koruptor lagi, tapi sudah merambah ke
pribadi-pribadi cerdas yang sama sekali belum korupsi. Seolah mereka sudah
dijadwalkan kelak akan korupsi. Sangat dilematis, jika berkelanjutan maka orang
akan takut pintar, atau orang pintar akan takut menjadi pegawai abdi negara,
lalu bagaimana nasib bangsa kita? Bukankah seharusnya memang petinggi bangsa
ini adalah orang cerdas?
Anak
Baik, Pasti Pintar
Penekanan pada
pembentukan pribadi yang baik seharusnya menjadi prioritas. Anak baik akan
tumbuh menjadi anak yang pintar. Pintar dalam menyelesaikan permasalahan sesuai
kemampuan dan melalui rute yang baik. Anak baik akan menyelesaikan permasalahan
tuntutan nilai tinggi dengan belajar, akan tetapi anak tidak baik akan
menyelesaikan masalah tersebut dengan mencontek. Anak baik akan menyelesaikan
masalah keinginannya untuk membelih sesuatu dengan bersabar menabung, sedangkan
anak tidak baik saat tidak sabar memutuskan jalan pintas yang tidak terpuji,
mencuri.
Dengan pembentukan
karakter baik maka akan memperkuat pondasi (fitrah) baik yang memang alami
dianugrahkan oleh Tuhan. Pondasi kuat akan menahan hantaman virus buruk yang
dibawa oleh lingkungan. Semoga semua orangtua lekas menyadari mempertahankan
karakter baik itu jauh lebih penting dibanding motif materi. Dominasi individu
baru yang berakhlak baik diharapkan akan memusnahkan korupsi di bumi pertiwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar