Oleh:
Janu Arlinwibowo
Menurut
Undang-Undang Dasar 45 pasal 31 ayat 1, setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah
memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan termasuk kepada difabel. Hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional dalam (Kemensos RI, 2015) jumlah penyandang disabilitas
di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut
sekitar 1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.855 orang
penyandang disabilitas rungu wicara, 402.817 orang penyandang disabilitas
grahita/intelektual, 616.387 orang penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang
penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan sekitar 2.401.592
orang mengalami disabilitas ganda.
Menurut
Kemdikbud RI (2016: 1) hanya ada 2.070 sekolah luar biasa (SLB) yang selama
beberapa dekade terakhir memberikan fasilitas siswa difabel untuk belajar.
Perkembangan pendidikan menghasilkan suatu sistem inklusi yang dianggap dapat
menjadi solusi terbatasnya jumlah SLB. Konsep pendidikan inklusi dimunculkan
sebagai suatu sistem sekolah terpadu yaitu siswa berkebutuhan khusus juga
memiliki hak untuk menimba ilmu di SD.
Merespon konsep
pendidikan inklusi, pemerintah melalui Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan iklusif mengatur keberlangsungan sekolah inklusi untuk memfasilitasi
siswa berkebutuhan khusus sehingga dapat bersekolah di sekolah umum. Dalam
Permendiknas tersebut dipaparkan dengan lugas pada pasal 4 ayat 1 bahwa
seharusnya minimal dalam satu kecamatan terdapat satu sekolah inklusi yang
dapat memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus belajar. Amanat pemerintah pada
Undang-undang no. 8 Tahun 2016 pada pasal 40 ayat 4 sangat lugas mengatakan
bahwa Pemerintah Daerah wajib
mengutamakan anak penyandang disabilitas
bersekolah di lokasi
yang dekat tempat tinggalnya.
Kebijakan
tersebut merupakan respon dari masalah banyaknya siswa difabel yang terpaksa
tidak sekolah karena jauhnya instansi pendidikan yang dapat menerimanya sebagai
peserta didik. Contohnya, banyak siswa difabel netra yang harus merantau ke
Yogyakarta karena di kotanya tidak mendapatkan sekolah yang mampu mendidiknya
dengan baik.
SD merupakan
salah satu instansi pendidikan formal yang harus siap menjadi sekolah inklusi. Alasannya
adalah karena usia siswa SD pada umunya belum dapat dituntut untuk mandiri
sehingga sangat diupayakan untuk tidak merantau (sekolah di dekat rumah).
Kompleksitas
SD Inklusi
Ada banyak
perbedaan karakter antara siswa difabel dengan non difabel yang membuat
kebutuhannya sangat berbeda. Difabel netra terbatas dalam orientasi dan
mobilitas, bahkan kasus di SLB Yaketunis ada siswa yang belum dapat berjalan
dengan baik karena tidak percaya diri (keterbatasan orientasi mengakibatkan
hambatan mobilitas),
tuna rungu memiliki keterbatasan dalam pendengaran, tuna daksa pada umumnya
terkendala mobilitas ataupun aktifitas, autis terkendala konsentrasi, dan
sebagainya. Guru harus memenuhi kebutuhan semua siswa tanpa terkecuali sehingga
keterbatasan tersebut tidak membuat mereka terbedakan perolehan haknya dengan
siswa lain.
Terdapat
beberapa konsekuensi mengenai bahan ajar, jika untuk difabel lain proses
pembelajaran yang berbasis pada informasi visual dapat dipertahankan namun
untuk difabel netra tidak karena mereka terkendala penglihatan. Hal-hal yang
bersifat visual harus dikonversi menjadi taktual dan audio sehingga dapat
terakses dengan baik oleh difabel netra. Pada umumnya bahan ajar dicetak
menggunakan huruf Braille. Kebutuhan difabel netra memang memiliki perbedaan paling signifikan
dibanding yang lain karena secara umum 80% informasi yang ditangkap oleh manusia bersumber dari indera
penglihatan (Departement of Education,
2001: 2.1), sisanya
diakses melalui indera lain.
Situasi pada siswa tunarungu tidak kalah rumit. Tunarungu memiliki
kemampuan mengakses teks, namun informasi audio tidak dapat diterima padahal
informasi audio merupakan salah satu jalur dominan penyampaian informasi dalam
pembelajar seperti halnya visual. Pasti akan sangat kesulitan, terlebih jika
proses pembelajaran dilaksanakan dengan metode ceramah. Praktis siswa kesulitan
dalam merekam materi yang disampaikan, jika semua informasi dituliskan dalam
papan tulis maka akan memberikan masalah pada efisiensi waktu terkait tuntutan
kurikulum.
E-Learning
Beberapa tahun terakhir teknologi berkembang sangat pesat, diantaranya
adalah teknologi komunikasi dan informasi. Perkembangan tersebut membuat
berbagai kalangan melirik e-learning
sebagai optimalisasi proses pembelajaran. Menurut Tafiandi (2005: 85) e-learning merupakan model pembelajaran
yang dibuat pada suatu format digital dan disajikan dalam perangkat elektronik.
Melihat data statistik, e-learning sangat
relevan dilaksanakan di Indonesia. Faktanya, menurut
lembaga riset digital marketing Emarketer dalam Rahmayani (2015) pada tahun
2018 jumlah pengguna aktif smartphone
di Indonesia diperkirakan lebih dari 100 juta orang dan menjadi terbesar
keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. Angka 100 juta tercatat
hanya pada smartphone belum jika ditambah jumlah kepemilikan komputer dan
laptop. Dengan demikian maka dari segi sarana penudukung, e-learning sangat
relevan di sebagian besar daerah, dari sisi kesiapan sekolah, guru, maupun
siswa.
Selain fakta relevansi, pemanfaatan e-learning
juga menunjukan memiliki potensinya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di
Sekolah Dasar. Riset yang dilakukan Ibrahim & Suardiman (2014:78) menunjukan
bahwa strategi pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran di SD memberikan
pengaruh positif terhadap motivasi dan prestasi belajar
siswa di SD. Memang antara motivasi dan prestasi memiliki korelasi yang sangat
kuat, jika siswa telah termotivasi maka prestasi belajarnya cenderung akan meningkat.
Terdapat banyak keuntungan proses pembelajaran yang menggunakan e-learning. Pertama, siswa dapat belajar dan me-review
bahan ajar kapanpun dan dimanapun. Keuntungan tersebut menjawab permasalahan
keterbatasan waktu belajar di sekolah. Keuntungan kedua adalah siswa dapat
memperluas wawasannya melalui pencarian informasi di internet. Diketahui bahwa
saat ini sumber informasi tersebar luas di internet, dengan bantuan search engine siswa dapat secara mudah
mencari informasi tambahan untuk memperdalam pemahaman dan melakukan berbagai
klarifikasi terhadap materi yang belum dimengerti. Keuntungan ketiga adalah
guru dapat mengemas materi menjadi lebih menarik melalui berbagai tampilan
audio, visual, ataupun audio visual. Menariknya tampilan dapat membuat motivasi
siswa belajar meningkat karena pembelajaran menjadi lebih variatif tidak hanya sekedar
rutinitas mendengar dan menulis. Selain itu siswa juga dapat mengulang-ulang
sesuka hati. Keempat adalah media e-learning
dapat dibuat interaktif sehingga partisipasi
siswa meningkat atau dalam artian lain membuat siswa menjadi lebih aktif dalam
proses pembelajaran.
E-Leaning di SD Inklusi
Berbagai fakta dan hasil riset telah menunjukan bahwa e-learning memang dapat membantu siswa untuk dapat belajar lebih
baik. Data tersebut dapat menjadi landasan awal untuk mengkaji lebih lanjut
penerapan e-learning untuk SD yang
berlebel inklusi, bagaimana peran teknologi dalam memenuhi kebutuhan siswa non
difabel beserta difabel. Menurut Kuswari (2011: 148), saat ini banyak sekali
fasilitas penunjang proses pembelajaran e-learning
untuk difabel yang dikembangkan oleh pemerintah maupun berbagai instansi lain
yang bergerak di bidang pendidikan.
Kembali berbicara mengenai buah dari perkembangan teknologi. Pada zaman
dulu tidak pernah terbayang seorang difabel netra dapat mengoperasikan handphone ataupun laptop, namun faktanya
saat ini mereka sudah sangat lihai, bahkan diantaranya menggunakan gadget tipe touchscreen. Kemampuan tersebut tidak
lepas dari adanya software
pembaca layar tersebut dikenal dengan nama screen
reader. Prinsip kerja software
ini adalah membaca tulisan dan obyek yang ada dilayar monitor lalu
ditransfer ke bentuk suara, menjadi semacam 'mata telinga'. Dengan demikian, difabel
netra bisa mendengar semua yang ada dilayar, baik berupa tulisan, icon maupun simbol-simbol
lainnya. Dengan demikian maka e-learning sangat potensial untuk
memfasilitasi keterbatasan difabel netra. Ketiadaan bahan ajar Braille sudah
bukan masalah lagi karena siswa dapat mengakses sumber belajar berupa softfile, keterbatasan mobilitas yang
membuat siswa sering kesulitan sudah bukan masalah lagi karena transfer materi
dapat dilakukan melalui e-mail, dan klarifikasi kesukaran materi dapat
dilakukan berbasis online.
Difabel
lain yang memiliki keterbatasan akses informasi adalah tunarungu yang tidak
bisa menerima informasi audio. Dalam penggunaan teknologi, tuna rungu tidak
telalu mengalami masalah. Dengan demikian maka guru dapat memberikan berbagai
literatur virtual untuk dapat dijadikan bahan belajar. Lebih dari itu, terdapat
satu hal yang membuat e-learning dapat menjadi solusi masalah tuna
rungu. Pada umumnya tuna rungu merupakan tuna wicara sehingga memiliki masalah
dalam menyampaikan pendapat, lebih parah jika siswa lain dan guru tidak mampu
menangkap bahasa insyarat mereka dengan baik. Menggunakan e-learning membuat siswa tuna rungu dapat menyampaikan pendapat dengan
tulisan, misalkan mendisplay dalam layar in
focus ataupun diskusi berbasis online.
Dengan demikian maka pembelajaran menjadi semakin bersahabat bagi tuna rungu.
Difabel
lain memiliki berbagai keterbatasan diluar hambatan penggunaan indera.
Kebutuhan mereka adalah penanganan khusus dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran di kelas jelas sangat kurang jika guru harus memberikan perhatian
intensif pada perkembangan siswa. Pemanfaatan e-learning yang
memiliki keunggulan memangkas jarak dan waktu membuat guru memiliki potensi
untuk memberikan fasilitas lebih baik pada siswa yang membutuhkan pelayanan
khusus dan tentunya dapat juga dilakukan di luar jam sekolah. Dengan demikian
maka jika e-learning dapat menjadi solusi berbagai
masalah pembelajaran di sekolah inklusi.
Tantangan
Perbincangan lebih lanjut tentu tidak hanya mengupas e-learning untuk difabel. Dibalik semua potensinya, tentunya ada
berbagai hal yang harus diperhatikan sehingga tidak mengontaminasi proses
pembelajaran berbasis e-learning. Tantangan
yang paling kentara adalah siswa yang salah arah akibat tidak mematuhi
instruksi dengan baik. Kemandirian belajar merupakan salah satu poin yang
sering dibumikan. Siswa dapat belajar sendiri di luar jam sekolah, belajar
tidak harus di kelas, dan belajar tanpa harus tatap muka dengan guru. Pastinya
siswa akan menggunakan piranti elektronik ataupun internet untuk ber”e-learning”. Masalahnya adalah di dunia
“e” banyak sekali godaan, mulai dari game
hingga berselancar di dunia internet. Sangat mungkin siswa melenceng dari
tujuan awal dan memilih aktifitas lain yang mungkin “lebih mengasyikan”. Bahayanya orangtua dapat
kecolongan karena menganggap siswa sedang belajar, ternyata melakukan aktivitas
lain. Lebih berbahaya lagi jika siswa mendapatkan wawasan yang tidak semestinya
didapatkan.
Tantangan selanjutnya adalah menjamin motivasi belajar siswa. Motivasi
menjadi satu faktor yang sangat penting karena jika tidak ada dukungan motivasi
maka pembelajaran e-learning sangat
rentan. Salah arah merupakan salah satu imbas dari kurangnya motivasi siswa.
Imbas lain adalah siswa abai terhadap segala proses sehingga proses
pembelajaran tidak berjalan dengan baik. Secara umum dapat dikatakan bahwa memastikan
e-learning berjalan sesuai dengan
tujuan adalah tantangan utama.
Sinergi dan Batas
Siswa sekolah dasar masih dalam usia yang membutuhkan kontrol maksimal oleh
orangtua dan guru. Pada pelaksanaan e-learning
yang identik dengan kebebasan informasi, kedua belah pihak harus bersinergi
dengan baik. Guru harus memberikan informasi teknis pembelajaran pada orangtua
dan orangtua pun harus instensif berkomunikasi dengan guru perihal aktifitas
anaknya.
Terdapat suatu kajian dari Asosiasi dokter anak
Amerika Serikat dan Kanada menekankan bahwa anak usia 6-18 tahun seharusnya
hanya menggunakan gadget maksimal 2 jam per hari. Dengan demikian sekalipun e-learning membuat siswa dapat belajar
kapanpun dan dimanapun tidak berlaku mutlak, belajar kapanpun sesuai dengan
penjadwalan dan dimanapun sesuai dengan kesepakatan dengan orangtua. Disinilah
guru dan orangtua saling berdiskusi dan menyepakati teknis belajar di luar
sekolah.
Dalam memberikan
kontrol, syarat mutlak untuk orangtua adalah memahami teknologi dengan baik. Dewasa
ini lazim didapati fenomena bahwa anak punya kemampuan yang jauh melampauai
orangtuanya dan kondisi tersebut sangat tidak ideal. Berbekal pemahaman
teknologi dengan baik maka orangtua dapat mengimbangi daya eksplorasi dan
jelajah anak. Dengan demikian maka potensi e-learning
dapat dimanfaatkan secara maksimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Departement of Education. (2001). Teaching children who are blind or visually impaired inside, Februari
2011. Newfoundland: Government of Newfoundland and Labrador
Ibrahim,
D. S. & Suardiman, S. P. (2014). Pengaruh Penggunaan E-Learning Terhadap
Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa SD Negeri Tahunan Yogyakarta. Jurnal Prima
Edukasia, Vo. 2, No. 1, 66-79
Kemdikbud
RI. (2016). Statistik Persekolahan PLB
2016/2017. Jakarta: Author.
Kemensos RI.
(16/09/2015). Pelayanan Penyandang
Disabilitas Dalam Menggunakan Berbagai Sarana Aksebilitas. Retrieved 14
Mei, 2017, from http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=18765
Kuswari, H. (2011). E-Learning Untuk Siswa Berkebutuhan Khusus.
Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematikan dan Pendidikan Matematika
pada tanggal 3 September 2013, FMIPA UNY (ISBN: 978-979-16353-6-3)
Tafiardi.
(2005). Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning. Diambil tanggal 6
Oktober 2017 dari http://www.bpk-penabur.or.id/files/Hal.85-97%20-Meningkatkan%20-Mutu%20Pendidikan20melalui%20E-learning.pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar