Beberapa
waktu ini dahi cukup berkerut saat melihat media berulang-ulang memberitakan
jurang narkoba terus menelan korban. Produk syaiton telah menjebak korban tanpa
pandang bulu, mulai dosen dengan latar belakang pendidikan menterang (Antara, 6
Maret 2017), abdi negara yang diberi mandat sebagai pegawai pemkot (Tribun
Kaltim, 22 Maret 2017), pelaku seni dengan suara merdu (Tribun Jateng, 26 Maret
2017), sampai dengan anggota DPRD (Jawapos, 6 februari 2017). Lebih
mencengangkan saat melihat data Direktorat IV Bareskrim pada
semester pertama 2015 tercatat ada 9.412 kasus. Jumlah ini meningkat jika
dibanding dengan semester pertama 2016 di mana tercatat ada 13.851 kasus.
Alarm meraung-raung
keras saat ditemukan kasus penyalahgunaan narkoba karena penyakit tersebut
sangat mudah mewabah. Pemakai dapat kecanduan hingga mengalami gangguan fisik,
mental, maupun emosional. Dampaknya adalah kerja otak sudah tidak dapat
terkontrol dengan baik, sibuk dengan halusinasi, tempramen, malas, kesurakan
organ, penularan penyakit, hingga kematian. Manusia pecandu sangat jauh dari
perilaku produktif karena sudah tidak presisi porsi psikis dan fisik, ingin
kaya tapi malas bekerja, ingin juara malas berusaha, semua masalah diselesaikan
di alam lamunan. Logis bila narkoba dilabeli penyakit terdahsyat perusak
generasi muda.
Merunut
Akar Masalah
Untuk menentukan
langkah maka masalah harus ditelusuri hingga akarnya. Menurut Capizzi dalam
buku Adolescence,
Adolescents karangan Fuhrmann, sebab
penyalahgunaan narkoba terbagi menjadi dua yaitu determinan sosial (keluarga,
teman, agama, dan sekolah) dan determinan personal (sikap dan karakter
individu). Jika ditarik benang merah, kedua kelompok tersebut mengarah pada
satu titik inti yaitu pola asuh. Karakter seseorang terbentuk dari tumpukan
pengalaman yang diajarkan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, dan sosial).
Lebih spesifik dikatakan oleh Indiyah dalam penelitianya yang termuat pada
Jurnal Kriminologi Indonesia bahwa 88% kasus narkoba di LP Wirogunan disebabkan
karena faktor keluarga. Dengan demikian “keluarga” merupakan “kartu AS” dari
kasus narkoba.
Jika
dipahami lebih mendalam terdapat dua fungsi keluarga yaitu pendidikan dan
kontrol. Saat kedua hal tersebut mampu dimaksimalkan maka segala bentuk resiko
negatif dapat diminimalisir. Keluarga merupakan wahana pendidikan sesungguhnya
bagi anak. Di dalam keluarga, anak diajarkan berbagai macam hal yang akan membentuk
kombinasi wawasan dan karakter. Dengan demikian maka tidak heran jika ada
pribahasa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Setiap
orangtua pasti mengajarkan anak untuk menjadi pribadi yang mampu menemukan
solusi dalam setiap masalah. Namun seberapa kuat mengakar karakter tesebut di
diri anak patut dipertanyakan. Frustasi pada tekanan hingga memilih pelarian
pada hal negatif menandakan ada tiang-tiang karakter yang keropos sehingga ambruk
saat menerima guncangan.
Hal kedua
yang tidak kalah penting adalah fungsi kontrol. Orangtua memiliki kewajiban
untuk melakukan pengawasan pada setiap aktivitas anaknya, namun impossible untuk menjelma menjadi
seorang bodyguard yang selalu
mendampingi. Mekanisme yang mungkin adalah membangun kedekatan sehingga tanpa
melakukan pengintaian orangtua mengetahui segala kegiatan anaknya melalui
curhatan selepas aktivitas. Tidak mengada-ada jika hasil riset Rice dalam buku The Adolescent: Development, Relationships,
and Culture menyebutkan kacaunya hubungan dan komunikasi antara
orangtua-anak membuat membuat seorang remaja riskan terjebak narkoba.
Mengingatkan
Orangtua
Melihat kuantitas yaitu
13.851 kasus, belum ditambah dengan kasus lain yang belum teridentifikasi,
tampaknya bangsa ini butuh obat non generik. Kartu AS harus dimaksimalkan untuk
preventif mendampingi pemerintah yang mengambil porsi kuratif dan
rehabilitatif.
Jaminan bahwa seseorang
tumbuh dalam keadaan yang baik dan tidak terkontaminasi oleh pengaruh negatif
adalah konstruksi jati diri yang kuat. Pondasi bangunan karakter ditata
perlahan sejak individu masih di usia dini. Karakter yang dilengkapi
pondasi kuat akan membuat seseorang tahan terhadap guncangan, tidak mudah
keblinger dan tetap mampu berpikir rasional dalam keadaan irasional. Sebagai
kontraktor karakter, kehadiran menjadi sangat penting karena menurut Robert
Fulghum jangan mengkuatirkan anak tidak mendengarkan Anda, kuatirkanlah bahwa
mereka selalu mengamati anda. Maka percuma saja memberikan banyak pesan, saran,
wejangan namun jarang hadir memberikan contoh.
Semua orangtua harus
segera menyadari bahwa nasib anaknya sebagai representasi wajah masa depan
Indonesia ada di tangannya. Kesadaran bahwa segala bentuk kesibukan di luar
rumah merupakan aktivitas untuk memperjuangkan kualitas hidup di dalam rumah
harus ditekankan. Harus ada keseimbangan peran dalam keluarga dan di luar rumah
sehingga semuanya berjalan secara harmonis. Ayah bunda harus siap menyediakan
waktu guna menjalin komunikasi, berperan sebagai contoh teladan, menanamkan
nilai-nilai untuk menyikapi masalah, dan menerangkan bahaya narkoba, semuanya
dilaksanakan secara intensif.
Dimuat Tribun Jateng Edisi Rabu 29 Maret 2017,