Hmm... setelah seminggu kemarin
disibukan dengan menunggu anak sakit yang harus opnam, senin pagi kembali masuk
kerja tapi tidak ada jadwal ngajar...yoook mari cerita,
Dokter adalah profesi yang cukup
akrab dengan saya karena ibu dan bapak mertua yang cukup sering berkunjung ke
dokter karena usia yang sudah menua. Mungkin sudah lumayan banyak dokter yang
pernah saya temui, lebih banyak lagi ketika saya hitung teman sekolah saya yang
saat ini telah memiliki gelar dr. di depan namanya. Yuuuk mari bermincang
tentang pengalaman saya,
Curhatan ini mulai terfikirkan
saat saya menunggui anak saya kemarin opnam. Tiba-tiba semua memori tentang
pengalaman berkaitan dengan dokter mendesak-ndesak ingin keluar lewat tulisan.
Dari sekian banyak dokter ada yang berkesan baik ada juga yang membuat saya
trauma, ada juga yang sedikit saja kurang memuaskan.
Dokter adalah profesi yang sangat
menjanjikan di mata masyarakat. “mana ada dokter miskin?”. Sekilas kalimat
tersebut dapat menggambarkan asumsi publik. Di universitas jurusan kedokteran
pun selalu menjadi primadona sehingga hampir pasti penghuni jurusan tersebut
adalah mahasiswa terbaik di kampus. Yak kita simpulkan bahwa dokter itu memang
pintar.
Tidak akan bercerita tentang
kualitas intelegensi dokter, tapi saya akan bercerita tentang citra dokter di
mata saya. Dokter yang memiliki citra baik akan saya tulis dengan nama terang
sedangkan untuk dokter dengan citra buruk di mata saya akan saya tulis dengan
inisial saya. Semoga ini sudah bijak.
Saya punya kesan dengan dokter
keluarga saya di Kudus, dr. Rusdi Hartoyo namanya. Dari sekian banyak dokter,
saya merasa beliau memiliki keunikan tersendiri. Waktu itu saya memeriksakan
istri saya yang tangannya sering kesemutan pasca melahirkan. Beliau bertanya
tentang aktivitas keseharian istri saya yang memungkinkan menjadi penyebab
masalah tersebut. “kita harus cari akar masalahnya untuk memutus rantai
permasalahan ini”. Kalimat tersebut manurut saya sangat tidak biasa diucapkan
oleh seorang dokter. dr. Rusdi teliti sekali bertanya untuk mencari masalah
yang menjadi penyebab bahkan menghabiskan waktu lama sekitar 30 menit hanya
untuk mengobrolkan masalah tersebut. Itu adalah pertemuan pertama kami dan
akhirnya membuat saya mantab memilih beliau sebagai dokter keluarga.
Mengenai dokter keluarga saya
juga memiliki beberapa pengalaman lain saat saya masih berdomisili di Bantul.
Dokter keluarga pertama saya adalah dr. W. Sistem pengobatan beliau adalah
meminta pasiennya untuk dirawat di klinik miliki beliau. Padahal ibuk saya
pinginya minta rujukan saja karena masalah diabetnya sudah biasa ditangani oleh
dr. Barkah, Sp.PD. Karena sulitnya mencari rujukan dan ibuk saya tidak mau
selain dr. Barkah Sp.PD maka saya memutuskan untuk pindah faskes ke dr. Siti
Chalimah. Ibu dokter senior ini jauh lebih bijak dalam menanggapi kasus
pasiennya. Ibuk selalu diberi rujukan agar dapat dikelola penyakitnya oleh
spesialis dalam.
dr. Barkah Sp.PD juga memiliki
keunikan. tIdak seperti dr. Rusdi “ngobrol” dengan pasien, dr. Barkah Sp.PD
cenderung pendiam. Namun ibuk fanatik dengan beliau karena beliau yang
sekaligus direktur PKU Bantul punya paradigma bahwa konsumsi obat tidak akan
mengganggu aktifitas keagamaan (puasa). dr. Barkah Sp.PD selalu menyarankan
ibuk untuk tetap puasa dan memberikan anjuran minum obat yang menyesuaikan
aktivitas puasa. Ibuk pernah trauma saat priksa dengan dokter lain yang tidak
mau kompromi dengan puasa. Dokter tersebut bilang bahwa “ya gak bisa minum obat
kok puasa”. Sontak ibuk semakin mantab bahwa dr. Barkah Sp.PD adalah idolanya.
Bahkan saat beliau cuti haji, ibuk gak mau berobat, mau nunggu dr. Barkah Sp.PD
selesai cuti (bahaya...hehe).
Kembali ke faskes awal, saya
tidak tahu kenapa dr. W mempersulit rujukan? Tapi sudahlah dr. Siti Chalimah
sudah memberikan pelayanan yang sangat baik. Suatu saat telinga saya sakit dan
berobat ke dr. Siti Chalimah. Beliau langsung bilang “telinga, ini sebaiknya
langsung saya rujuk agar dapat penganganan yang lebih baik oleh spesialis THT”.
Menurut saya ini sangat bijak.
Dengan dokter THT saya perhan
sangat trauma saat kuping saya dibersihkan, dr. G namanya. Entah lupa atau
kenapa tanpa ditetesi kuping saya langsung di vacum, sakitnya bukan main.
Kuping saya dimasuki corong dan dibersikan, katanya ada kotoran menggumpal di
dalam. Dicukil beberapa kali nggak kena sambil bilang “aduh malah tambah mlebu”.
Disedot lagi dengan vacum sakit sekali. Menahan sakit hampir pingsan. Saya
minta istirahat, eh malah diminta ke dokter jantung katanya ada yang aneh. Kluar
ruangan kuping saya ditutup kapas saat saya buka ternyata darah. Wah dokternya
gak beres ini malah nyari kambing hitam jantung saya, sakit campur takut jelas
detak jantungnya gak normal.
Pindah ke kudus saya juga
menyambangi dokter THT, pengalaman buruk lagi-lagi saya dapatkan. Saat itu saya
saya mencoba diskusi dan bertanya masalah di telinga saya. “gimana ya dok agar
gak sakit lagi”. Jawabnya nyolot sekali kayak preman (lebai) “ya tuku iki
regane 20 juta (camera yang buat lihat dalem telinga), resiki dewe” tambah
nyolot dia “aku we sakit gigi ke dokter gigi kok”. Ya harus priksake ke dokter THT setengah tahun
sekali katanya. Astgflah... dr. AJ Sp.THT namanya. Saya diminta kontrol tapi
males (Mahal bgt juga e...hahaha)
Beberapa saat kemudian kambuh
masalah kuping saya. Saya memutuskan ke dr. Rusdi saja, tidak apalah dokter
umum. Biasa diskusi dimulai, saya ceritakan masalah dan diskusi interaktif
berjalan. Beliau menebak-nebak berbgai pemicu dan saya mencoba ikut mnceritakan
keseharian saya. Bahkan dr. Rusdi menceritakan anatomi sekitar telinga,
masalah-masalah yang mungkin terjadi, dan trik agar tidak terjadi sakit yang
demikian. Well, dikasih obat, murah, tanpa antibiotik yang khusus telinga super
mahal, 3 hari sembuh tanpa kambuh. Coba bandingkan dengan dr. Rusdi? Hmm...
Lanjut cerita ke masa opnam anak
saya, ditangani oleh dr. F, Sp.A. Beliau meminta anak saya opnam karena
panasnya sudah 39 derajat. Bingung tanpa pikir panjang saya yak saja. Yang
membuat saya kecewa adalah perawatnya, (kesan pertama langsung buruk). Perawat tersebut
dengan nada guyon bilang “pakai ilmu terawang ini, gendut gak kelihatan”.
Astgfrlh anak saya dibuat mainan mosok pakai ilmu terawang. Benar saat saya cek
ternyata tidak langsung jadi, ada coblosan infus di lain tempat. Okelah saya
bisa memahami kalau memang sulit tapi jangan sambil becanda dan menyampaikan
gurauan hingga orangtua dengar.
3 hari opnam belum ada kesimpulan
penyakit. Diagnosa awal infeksi saluran kencing gugur saat darah dan urin
diuji. Hari ketiga saat visit dr. F, Sp.A istri saya tanya dan dikasih tau
kalau tipus. Memang hari itu anak saya rewel sekali. Ah pusing saya. Eh perawat
bilang kalau “bukan dok”. Ternyata dokternya salah data pasien lain. Lhooooooh?
Saya jadi bingung, ini obat salah juga nggak. Mana saya agak kecewa karena
visit selalu keburu-buru, Cuma sekitar 1-2 menit saja. Siangnya saya cek kaki
anak saya yang diinfus kok bengkak. Ternyata jarum infus bengkok pantes sejak
hari kedua udah sering mampet infusnya. Kok ya bisa nggak terdeteksi sejak
awal.
Akhirnya infus dilepas dan anak
saya perlahan mulai ceria, nggak rewel lagi. Siang dicopot, sehat, pagi boleh
pulang. Lhoooh? Jangan-jangan yang bikin rewel infusnya, yang bikin panas dia
kesakitan. Ah sudahlah saya trauman dengan RS, perawat dan dokter itu.
Saat diijinkan pulang saya lihat
nota pembayaran. Agak kaget lihat sekali visit dibayar sekitar 70 ribu. Tambah
kecewa saya, mosok harga segitu visit sambil terburu-buru? Di rumah saat
berbincang dengan istri, kita ngrasani dr. Rusdi. Sekali periksa ke beliau
mungkin ASKES hanya memberi jasa kurang dari 20% spesialis anak visit. Tapi
belian mau berbincang dengan pasien, menberikan edukasi, dll dengan waktu lebih
dari 15 menit. Kenapa demikian? Entahlah...
Sementara sekian cerita saya. Tidak semua pengelaman saya tentang dokter dapat saya share. Saya sangat ingin dokter menjadi
agen kesehatan, tidak hanya sekedar mengobati. Pada dasarnya pasien butuh
edukasi mengenai penyekit, tidak hanya dikasih obat trus sakit berobat lagi.
Kami mohon ilmu agar kami dapat menjadi pribadi yang lebih hati-hati sehingga
dapat melakukan tindakan-tindakan preventif.
Mohon tanggapan dari rekan-rekan,
Maturnuwun.