Social Icons

Pages

Jumat, 04 Oktober 2013

Bijak dalam Berhaji

Saat ini, dimana mulai banyak orang memiliki finasial yang luar biasa sehingga lapang untuk menjalankan atau mendapatkan kemauan. Kasus di Indonesia dimana ibadah haji menjadi ibadah yang sangat populer. Menunaikan rukun Islam adalah dalih mendasar kenapa orang pergi haji. Istimewanya orang pergi haji dihargai mahal di Negeri ini, gelah Haji atau Hajah di sematkan dalam nama.
Beberapa orang yang melimpah finansial, atas ridho Alloh diberikan kesempatan untuk berulangkali pergi ke Makkah. Fenomena ini sedikit menggelitik pemirsa untuk membandingkan banyaknya warga miskin yang ada di Negara ini. Melalui fenomena tersebut mempermudah kita untuk menarik kesimpulan bahwa memang di Indonesia ini kesenjangan sosial sangat tinggi. Muncul pertanyaan, bagaimanakah fenomena orang kaya yang menginginkan berhaji berkali-kali? Secara pandangan awam tentu sah-sah saja, pakai harta sendiri. Namun tidak jarang pula orang berpandangan bahwa itu tindakan yang berlebihan, masih banyak cara lain untuk beribadah selain berhaji untuk yang ke-2, ke-3, dan seterusnya. Pada suatu saat saya menemukan artikel menarik yang ditulis oleh Ulis Tofa, Lc:

Berhubungan dengan apa yang saya pikirkan mengenai haji. Beliau mengemukakan bahwa cendekiwan muslim dunia, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menegaskan bahwa ada sejumlah syarat dan koridor secara syariat yang membatasi pelaksanaan ibadah haji bagi yang sudah melaksanakan sebelumnya, baik haji yang ke dua atau seterusnya.
Di antarannya adalah bahwa Allah tidak menerima ibadah sunnah –haji kedua dan seterusnya tergolong ibadah sunnah, yang wajib sekali seumur hidup-, jika mengarah pada perbuatan haram. Karena ada kaidah “menghindarr dari terjerumus pada yang haram di dahulukan dari pada meraih pahala sunnah.” Seperti misalnya, jika pengulangan berangkat haji sunnah justru menyakiti banyak orang, menyebabkan padat dan sesak sehingga menambah beban berat, tersebarnya suatu penyakit, banyak orang jatuh kurban, berdesak-desakan, tidak bisa maju dan mundur, terinjak-injak kaki dan kondisi bahaya lainnya. Padahal yang wajib adalah meminimalisir kesemrawutan, dan bahaya.
Dr. Al-Qaradhawi menjelaskan, bahwa Allah swt. tidak menerima ibadah nafilah –tambahan atau sunnat- sehingga yang wajib ditunaikan dengan baik. Kami melihat bahwa setiap orang yang melaksanakann haji atau umrah sunnah –bukan wajib-, namun ia ternyata pelit mengeluarkan zakat yang wajib, baik zakat secara keseluruhan atau sebagiannya, maka haji dan umrahnya tertolak. Lebih baik baginya untuk menyalurkan biaya haji dan umrah untuk mensucikan dirinya terlebih dahulu dengan menunaikan zakat.

Kesimpulan yang saya ambil adalah setiap orang harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara bijak, termasuk mengelola hak. Benar memang bahwa uang masing-masing individu adalah hak dari masing-masing individu tersebut, namun jika dikelola dengan bijak maka akan menghasilkan suatu hal yang lebih baik, termasuk menngelola keinginan kita untuk pergi ke tanah suci. Jika memang ada rizki melimpah, dan sudah berhaji, alangkah bijak jika uang kita untuk berhaji "lagi" kita gunakan untuk membantu sodara muslim kurang mampu untuk menunaikan kewajiban ibadah haji. Insya Alloh dengan memberikan fasilitas orang lain untuk menunaikan kewajiban, Alloh akan memberikan pahala dan kebarakahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar