Siapakah Yang Menentukan Kecacatan?
“Kalau Allah itu mahasempurna, 
apakah seorang difabel diciptakan oleh-Nya dalam kesempurnaan? Dan 
apakah seorang difabel itu tergolong sebagai manusia yang sempurna?”
Demikianlah pertanyaan yang dikemukakan sebagai pembuka sarasehan 
Ramadhan. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan gugatan batin seorang 
difabel yang sangat mendasar dan membutuhkan refleksi mendalam tentang 
realitas difabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan ini muncul 
tentu saja dalam konteks social di mana difabilitas lebih sering 
dipandang sebagai kekurangan mendasar atas eksistensi manusia difabel  
yang pada gilirannya melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap kaum 
difabel. Realitasnya, kaum difabel lebih sering mengalami 
ketidaksetaraan dalam hal akses dan hak dalam kehidupan sehari-hari.
Sarasehan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2011 ini merupakan
 kerjasama antara  Jesuit Refugee Service dan Institut DIAN/Interfidei 
dalam rangka memperingati penandatanganan Konvensi Anti Penggunaan bom 
Curah yang banyak mengakibatkan difabilitas di tengah masyarakat, 
terutama penduduk sipil dan anak-anak, terutama di daerah bekas perang. 
Sarasehan ini mengangkat  tema Prospek Perlindungan dan Jaminan Hak Kaum
 Difabel di Indonesia.
Yang hadir sebagai pembicara dalam sarasehan ini adalah Drs. Setia 
Adi Purwanto, M.Pd [Direktur Yayasan Dria Manunggal Yogyakarta], Rofah, 
Ph.D [Kepala Pusat Studi dan Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga 
Yogyakarta], dan Lars Stenger [staf Jesuit Refugee Service Indonesia].  
Setia Adi Purwanto membincangkan Difabilitas dalam perspektif Filosofis 
dan Kebijakan Publik. Rofah, Ph.D mendiskusikan difabilitas dalam 
perspektif Islam. Sementara Lars Stenger memberikan gambaran dan 
pemahaman tentang bahaya bom curah bagi warga sipil dan tentang upaya 
kampanye Larangan Penggunaan Bom Curah oleh kaum difabel korban bom 
tersebut di berbagai negara, melalui pemutaran film dan paparan singkat.
Difabilitas yang berarti “perbedaan kemampuan” merupakan istilah yang
 dirumuskan oleh Almarhum Mansur Fakih dan Setia Adi Purwanto, sebagai 
perlawanan atas istilah disabilitas yang diartikan sebagai 
“ketidakmampuan” atau “kecacatan”. Perlawanan dalam penggunaan istilah 
ini merupakan sebuah perlawanan wacana [counter discourse] terhadap 
wacana dominan yang cenderung merumuskan kesempurnaan manusia dalam 
ukuran-ukuran fisik yang menimbulkan ketidakadilan. Dibalik penggunaan 
istilah difabel-difabilitas terdapat sebuah cara pandang bahwa setiap 
manusia diciptakan secara sempurna oleh Allah, meskipun masing-masing 
memiliki perbedaan kemampuan dan tugas dalam menjalankan kehidupan. Oleh
 karena itu, setiap manusia, bagaimanapun kondisi fisiknya, memiliki 
kesamaan dan kesetaraan hak asasi menyangkut berbagai macam aspek 
kehidupan seperti politik, ekonomi, social, dan budaya.
Sebaliknya, istilah disabilitas [ketidakmampuan/kecacatan] mengandung
 cara pandang bahwa terdapat manusia-manusia yang kurang sempurna, yang 
tidak sesuai dengan idealitas manusia ciptaan pada umumnya. Dengan 
demikian, sekelompok manusia yang tergolong tidak sempurna ini boleh 
disebut sebagai manusia cacat, produk cacat, atau afkir yang hak 
asasinya tidak setara dengan manusia yang lain, serta boleh 
dinomorduakan. Akibatnya, dalam kehidupan social, mereka ini boleh 
ditempatkan dalam prioritas yang berbeda dengan manusia yang lain.
Di Indonesia memang sudah terdapat beberapa produk kebijakan 
berkaitan dengan kaum difabel, namun kebijakan itu masih dipandang 
sebagai kebijakan semu yang menempatkan kaum difabel sebagai manusia 
lemah, nomor dua dan boleh dikatakan merupakan “pelengkap penderita”. 
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah masih berada dalam cara 
pandang karitatif dan liberal yang menempatkan kaum difabel sebagai 
orang yang pantas dibantu dan dilatih dengan berbagai macam 
keterampilan. Belum ada kebijakan yang dilandasi oleh cara pandang 
kritis terhadap difabilitas, yang menyadari dan mengakui bahwa konsep 
dan istilah disabilitas itu merupakan konsep yang diskriminatif dan 
menggunakan pendekatan “hak” atau “rights” dalam menyikapi kaum difabel.
Pertanyaan menarik yang pantas dikemukakan adalah bagaimanakah peran 
agama-agama dalam konstruksi soal difabilitas ini? Apakah agama-agama 
bersikap kritis terhadap konstruksi yang tidak adil tersebut ataukah 
justru terlibat dan mendukungnya?
Dalam Islam memang tidak ditemukan konsep khusus tentang difabel ini,
 terutama dalam al-Qur’an maupun hadits. Istilah-istilah yang ditemukan 
dalam Qur’an ternyata lebih menunjuk kepada makna konotatif atau 
metaforis daripada makna denotative, yang menunjukkan ketidaksanggupan 
manusia dalam menerima petunjuk Allah.  Berkaitan dengan difabilitas, 
ucapan, tindakan dan kehidupan Rasulullah secara sangat jelas 
menunjukkan sikap hormat dan positip yang dapat dijadikan sebagai 
landasan untuk mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak kaum 
difabel. Namun demikian pantas disadari bahwa sejarah masyarakat Islam 
dalam bentangan abad, menunjukkan perkembangan dan perubahan yang 
berbeda dalam cara pandang terhadap kaum difabel, sesuai dengan konteks 
dan factor-faktor baru yang mempengaruhinya, sehingga tidak dapat 
ditemukan keseragaman. Oleh karena itu, dasar-dasar normative 
sebagaimana ditemukan dalam al-Qur’an pantas senantiasa dikaji secara 
mendalam dan menjadi landasan inspiratif dalam menyikapi realitas 
difabel. Berdasarkan nilai-nilai normative inilah, Universitas Islam 
Negeri Sunan kalijaga Yogyakarta mengembangkan Pusat Studi dan Layanan 
Difabel bagi para mahasiswanya. Pada intinya, mahasiswa difabel memiliki
 akses dan hak yang sama dengan mahasiswa lain yang non-difabel.
Akhirnya pantas diakui bahwa kaum difabel adalah orang-orang berdaya 
yang senantiasa berjuang untuk mendapatkan hak-haknya di tengah 
masyarakat yang cenderung mendiskriminasikannya. Dibutuhkan kerjasama 
dan komitmen dari berbagai pihak untuk mewujudkan perlindungan dan 
jaminan hak-hak kaum difabel itu. Tentu saja, agama-agama dituntut untuk
 memberikan kontribusinya bagi upaya ini sebab agama-agama itu layak 
disebut agama hanya apabila ia mendatangkan keadilan, perdamaian, dan 
penghormatan kepada seluruh ciptaan. Apabila setiap manusia diciptakan 
sempurna oleh Allah, lalu manakah landasan yang kuat bagi seseorang 
untuk menyatakan orang lain sebagai cacat atau afkir?
Barangkali baik mengingat kata-kata bijak ini,”Tak seorangpun boleh disebut cacat kecuali mereka yang jahat”. [IS]