Oleh:
Janu Arlinwibowo (18701261012)
Program
Studi S3 PEP 2018
Sangat
menarik saat kita mulai memetakan filsafat dengan basis pemikiran para filsuf.
Selain karena sebenar-benarnya berfilsafat adalah memahami pikiran-pikiran para
filsuf, juga dengan memetakannya kita dapat memperoleh wawasan baru. Secara
domain, filsafat terbagi menjadi dua, yaitu idealism dan realism. Idealism
adalah pemikiran yang dikembangkan dalam akal pikiran kita sehingga semua dapat
diidealkan, diabsolutkan, diasumsikan. Sedangkan realism adalah pemikiran yang
berkembang dengan basis pengalaman, hal yang telah terjadi.
Prof.
Marsigit mengonotasikan paham idealisme sbagai langit san realism sebagai bumi.
Langit menunjukkan bahwa hal tersebut sangat jauh dari jangkauan manusia, hanya
bisa dilihat, kemudian dipikirkan, tanpa harus ada kontak, apalagi observasi
mendalam. Bumi digambarkan sebagai suatu hal yang dekat sehingga sangat mungkin
berinteraksi, hal yang dimaksud adalah suatu kejadian. Pada mulanya, kedua
paham tersebut saling bertolak belakang sehingga menimbulkan
perbedaan-perbedaan cukup signifikan.
Paham
idealisme sesungguhnya adalah wujud kesadaran bahwa ada batas-batas
penginderaan manusia sehingga ada banyak ilmu yang tidak dapat dirasakan melalui
indera. Namun dapat dilakukan olah pikir sehingga mendapatkan suatu kesimpulan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Kasus ini sangatlah menarik karena dengan
demikian maka semua hal dapat disimulasikan, sehingga perkembangan keilmuan
sangat cepat, walaupun terkadang juga menemui kendala terkait relevansi
terhadap kenyataan. Bisa saja dipertentangkan pemikiran-pemikiran idealism
karena tidak ada fakta absolut yang mengiringi. Dengan demikian kita kenal
dengan baik saat ini bahwa banyak teori aliran idealisme yang selalu
menyantumkan toleransi kesalahan. Walaupun dibuat sangat kecil toleransi
kesalahannya namun demikian menunjukkan bawa ada suatu penekanan bahwa hal yang
dipikirkan adalah estimasi dimana tidak mampu menjamin bahwa akan 100% sesuai
dengan kebenaran atau akurasinya 100%.
Sedangkan
realism adalah kebalikannya dimana fakta menjadi pivot dalam berpikir. Semua
masalah adalah yang telah terjadi, semua pola adalah yang telah terjadi, semua
ilmu adalah yang telah terjadi. Paham ini juga berdasar pada kesadaran terhadap
keterbatasa dimana manusia memiliki keterbatasan dalam berpikir. Ada banyak
kombinasi ilmu yang sulit dipetakan secara holistik dalam angan-angan sehingga
memahami hal melalui suatu kejadian dianggap sebagai titik tumpu yang pas
sebagai dasar berpikir. Karena menerjemahkan fenomena alam tentunya akurasi
dari gaya berpikir realisme lebih akurat namun seringkali kecepatan
perkembangan jauh tertinggal karena pikirannya tersandera oleh indera,
sedangkan kuantitas informasi yang terekam oleh indera sangat terbatas.
Pada
era setelahnya muncul suatu tokoh, yaitu Immanuel Kant yang menjadi penengah
antara dua arus tersebut. Immanuel Kant berpikir bahwa ada korelasi erat antara
keduanya yang akan membuat perkembangan ilmu pengetahuan menjadi tetap cepat
dengan tingkat akurasi yang meningkat. Contohnya saja demikian, jika semua arus
hanya dipikiran dan tidak ada korelasinya atau korelasinya rendah dengan fakta
maka ilu yang berkembang tersebut hanya akan menjadi fiksi/khayalan atau
istilah lainnya adalah mempertanyakan konstribusinya untuk kehidupan.
Sebaliknya, bagaimana bisa seorang ilmua diminta menyelesaikan masalah jika
basis berpikirnya adalah empirisim murni? Padahal kita semua memahami bahwa ada
tak hingga kombinasi kejadian yang membuat empirism murni tidak dapat bergerak
karena selalu menunggu pengalaman. Perkembangannya selalu berjalan berdampingan
dengan pengalamannya. Kant membuat suatu gaya berpikir sintetik apriori dimana
menegaskan bahwa data fakta dapat dijadikan sebagai rujukan (a posteriori)
namun setelahnya untuk menemukan berbagai pola maka manusia dapat berpikir
secara apriori. Dengan demikian maka hidup diatara langit dan bumi dapat
menjadi alternatif pilihan yang sangat baik.