Oleh: Janu
Arlinwibowo
Filsafat, suatu kalimat yang
tidak terlalu populis, terutama maknanya. Banyak orang yang hanya sekedah
mengetahui dan mendeskripsikannya penuh stigma. Bahkan ada, mungkin banyak,
orang yang melarang atau minimal mewanti-wanti jika ada yang ingin belajar filsafat.
Hati-hati kalau tidak kuat nanti jalannya akan miring. Faktanya memang yang
lebih terkenal adalah permainan logika yang membuat kadang orang kebingungan.
Namun, tidak sepenuhnya benar
bahwa filsafa itu berbahaya. Ya tentu saja pisau itu berbahaya jika digunakan
untuk menusuk orang tapi sangat bermanfaat untuk memasak. Yang akan saya
tanyakan sekarang berapa persen pisau yang digunakan untuk menusuk? Berapa
persen yang dimanfaatkan untuk memasak? Narkotika bisa menjadi mala petaka,
bisa juga dijadikan sebagai obat. Makanya tidak ada yang bilang narkotika itu
buruk, yang ada hanyalah penyalahgunaan narkotika. Maknanya adalah bahwa
sebenarnya materi yang ada di dunia ini bersifat netral, positif dan negatif
adalah suatu citra yang dilekatkan oleh manusia pada subjek tersebut. Demikian
pula filsafat, jika anda salah prosedur penggunaan maka celakalah anda, tapi
jika anda menggunakannya dengat tepat maka beruntunglah anda.
Banyak sekali definisi filsafat
karena memang tidak ada satupun definisi yang dapat dipersalahkan karena
sesungguhnya tidak ada yang salah dalam filsafat, tergantung penjelasannya.
Filsafat didefinisikan sebagai ada dan yang mungkin ada, boleh, didefinisikan
filsafat adalah dirimu, boleh, filsafat didefinisikan sebagai dunia, boleh.
Semuanya tinggal bergantung pada penjelasannya. Cakupan filsafat pun sangat
luas, bahkan sampai seseorang yang mengaku anti filsafat pun sebenarnya sedang
berfilsafat.
Dalam filsafat kita diajari untuk
tidak membuat kesimpulan yang prematur. Dalam hal ini yang dikatakan prematur
adalah tidak melakukan proses pemikiran yang meluas, melebar, dalam, dan tinggi
sehingga muncul suatu penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan pada
kesimpulan. Yang selanjutnya adalah dilarang memaksakan kesimpulan yang telah
kita ambil agar diimani oleh orang lain karena bisa jadi ada tak hingga sudut
pandang sehingga akhirnya beda pendapat. Contohnya: “Kenapa saya menulis?” jawabnya
karena “belum tentu karena tugas” yang artinya bisa jadi karena tugas atau
kemungkinan lain yang jumlahnya tak hingga.
Keterbukaan ini membuahkan
toleransi dalam berpikir. Satu lagi ilustrasi yang dapat membuka wacana kita
untuk tidak memaksakan orang lain untuk sama. Gus Sabrang, putra sulung dari
Cak Nun, pernah bercerita pada saat 100 secara bersama-sama mengambil foto satu
ekor gajar, adakah satu foto yang sama? Tidak jawabnya. Bagaimana jika ada
1.000, atau 10.000 orang? Jawabnya tetap tidak ada foto yang sama. Itulah
kodrat bahwa memang seribu kepala bisa jadi menimbulkan 1000 persepsi. Dengan
demikian maka tidak bijaksana ketika kita meminta dengan paksa orang lain
menyetujuai ide kita.
Ada beberapa premis yang haris
diperhatikan dalam berfilsafat. Pertama adalah bahwa pikiranmu ada batasnya
walaupun tidak kamu ketahui batasnya itu sebenarnya ada dimana. Kedua adalah
luasnya ilmu itu tidak ada batasnya. Jadi pikiranmu pasti selalu tidak pernah
bisa menjangkau luasnya ilmu. Dengan demikian maka kita harus tahu batas-batas
umumnya, mana yang dapat dikejar oleh pikiran mana yang tidak. Prof. Marsigit membuat
hirarki dimana filsafat adalah tingkatan tertinggi kedua setelah agama.
Disinilah kunci, batasnya adalah agama.
Mari kita bahas letak agama di
pikiran kita. Mengapa agama menjadi batas? Apakah agama itu tidak logis
sehingga tidak bisa dijangkau oleh filsafat? Jawabnya bukan demikian. Semua
yang tertuang dalam firman Alloh itu logis namun kemampuan kita dalam berpikir
yang terbatas dan selalu saja dibelakangnya. Contohnya, dulu tidak pernah ada
orang yang mampu memahami firman Alloh bahwa orang jaman dulu tidak ada yang
tahu tentang adanya relativitas waktu. Hal ini telah disampaikan dalam Al-Quran
Surat Al-Ma’aarij ayat 4 dan baru bisa dibuktikan dengan teori modern. Yang
perlu kita paham adalah tidak ada yang kebetulan, semua kejadian selalu dapat dilogika,
cuma logika manusia selalu dibelakang firman Alloh.
Kesimpulannya adalah bahwa olah
pikir kita dapat saja mengembara hingga batas-batas tertentu, namun yang perlu
diingat adalah bahwa ada satu landasan yang tidak boleh ditinggalkan yaitu
agama. Dengan demikian maka berfilsafat menjadi suatu kegiatan menceburkan diri
ke lautan ilmu namun tidak akan membuat kita tenggelan dan mati kehabisan nafas
jika kita selalu berpegang pada agama. Kita suci itu fiksi kata Rocky Gerung?
Itu karena dia tidak menyadari keterbatasannya sebagai seorang manusia. Kita
suci itu adalah firman yang merupakan fakta-fakta namun bisa jadi anda belum
menyadari fakta tersebut.
Berdasarkan dua paragraf
sebelumnya maka clear bahwa filsafat tidak semengerikan yang dibayangkan, dia
sama seperti pisau yang jika dimanfaatkan sesuai prosedur maka dapat memberikan
manfaat seluas-luasnya.
Refeksi Perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. Dr. Marsigit,M.A. https://www.uny.ac.id/