Lama saya pulang ke rumah istri di bantar (dusun dekat
dengan pasar karangkobar, banjarnegara). Semangatnya istri saya saat perjalanan
pulang, walaupun tahu akses menuju rumah sulit karena bencana tanah longsor.
Bus yang biasa kami tunggangi pun tidak ada satupun yang beroperasi. Akhirnya
kami dijemput mbak zuhri dengan suaminya, mas bejo bersama si kecil ardan. Kami
dijemput di dekat terminal banjarnegara.
Mas bejo dan mbak zuhri cerita kalau jalan menuju rumah
macet sekali. “ya, jelas karena jalan utama terkena longsor jadi pasti macet”,
itulah pemikiran saya. Asiknya pulang melihat pemandangan yang sudah lama tidak
kami nikmati. Bagi sodara semua yang pernah melalui jalan
banjarnegara-karangkobar tentu tahu persis keindahannya.
Mulai masuk di sekitar area longsor, hal pertama yang saya
alami adalah macet. Masih logis di pikiran saya karena memang beberapa
kendaraan relawan banyak yang masuk sedangkan jalan yang diakses sempit.
Sesampai di karangkobar, dekat dengan pasar saya mulai melihat ramainya daerah
ini dimana rumah-sumah di tepi jalan dijadikan posko dan tentunya banyak sekali
mobil dengan atribut tulisan besar identitas masing-masing. Kondisi ini masih
belum menimbulkan keresahan dalam benak saya. Yes, this is the fact that Indonesian people have big empathy for the
other, I proud it.
Sampai di rumah,uaaaah senangnya merasakan hawa dingin yang
tidak saya rasakan di Jogja, apalagi di Kudus (kudus sumuk sekaliii). Malam
hari kami bercengkrama di depan tv. Sesekali saya menoleh karena tergelitik
dengan beberapa siaran televisi. Saya tiba-tida fokus sekali pada berita di tv
yang mengulas tentang bencana banjarnegara. Inilah awal keprihatinan saya pada
kondisi penanggulangan bencana tanah longsor di karangkobar.
“beberapa relawan membersihkan sampah makanan”. Presenter
mengungkapkannya dengan nada lugas dan bangga. Mungkin dia ingin menunjukan
etos kerja dari relawan yang peka terhadap kebersihan lingkungan.
Namun saat saya mendengar berita itu, saya malah merasa
miris cenderung marah. Saya lihat sampah-sampah berserakan itu sangat tidak
teratur dan seaolah memang tindakan “buang sampah sembarangan”. Pertayaan dalam
benak saya, “MEREKA ITU KESINI RELAWAN ATAU APA? MEREKA BUANG SAMPAH
SEMBARANGAN DAN MEREKA GOTONG ROYONG MEMBERSIHKAN SAMPAH? WHAAAT? APA
HUBUNGANNYA DENGAN BENCANA INI???”
Namun perlahan saya simpan kegelisahan ini dan mungkin
hampir melupakannya.
Minggu tanggal 21/12/14 saya pulang ke Jogja. Saya diantar
oleh saudara dengan motor karena memang belum ada angkutan umum yang beroperasi
ke banjarnegara. Dimulai dari sinilah kegelisahan saya mulai muncul lebih dari
sebelumnya. Pertama kali saya melintas di pasar karangkobar saya melihat:
1.
Jalan yang sangat padat, macet sekali
2.
Banyak sekali rumah warga di tepi jalan yang
disulap jadi posko dengan berbagai spanduk identitas di depan rumah.
3.
Banyak sekali mobil dengan identitas kelompok
yang sangat mencolok, partai (gambar lambang ataupun ketua umum), badan zakat, ormas
dan berbagai instansi
4.
Sampah bekas makanan di pinggir jalan
5.
Pemuda membantu polisi mengatur jalan
Well, sambil perjalanan saya menggerutu kenapa kok bisa
semacet ini, bahkan ambulan saja tidak dapat melintas cepat. “LALU BAGAIMANA
KALAU ADA YANG SAKIT DAN BUTUH MOBILITAS YANG SEGERA?”
Perlahan saya mulai memikirkan apa yang saya batin semalam
saat melihat berita di televisi. Banyaknya sampah yang dibuang sembarangan.
Saya mulai berpikir ini benar-benar tidak terkoordinir dengan baik. Relawan
terlalu banyak sehingga jobdesknya tidak jelas. Dan tentunya jutru membuat
keadaan semakin crowded sehingga tidak afektif dan efisien. Mari kita
hitung-hitungan:
Bayangkan jika ada relawan yang membersihkan sampah makanan
(hasil dari relawan). Jika relawan tidak membuang sampah sembarangan tentu
tidak perlu ada relawan kebersihan sampah. Mudah dilogika jika relawan
kebersihan dipulangkan maka akan mengurangi kepadatan karangkobar.
MASALAH KARANGKOBAR SEKARANG BUKAN HANYA BENCANA, TAPI
BERTAMBAH DENGAN PADATNYA LALU LINTAS. “PERLU KITA SADARI!!!”
Di saat pulang saya melihat berbagai mobil sejenis avanza
yang menamakan dirinya sebagai relawan. Lucu juga ketika kita bernalar logis.
Mari kita hitung-hitungan:
Kalau mereka menggunakan avanza sejenisnya hanya akan muat
mengusung maksimal 7/8 orang. Inilah yang menimbulkan kesesakan lalu lintas.
BAHKAN ADA YANG MENAMAKAN DIRI RELAWAN LOGISTIC!! Saya agak merasa ada yang
mengangkut logistic dengan menggunakan mobil sejenis avanza. Perlu disadari MASALAH
KARANGKOBAR SEKARANG BUKAN HANYA BENCANA, TAPI BERTAMBAH DENGAN PADATNYA LALU
LINTAS.
Mengatasi dua masalah tersebut nampaknya butuh manajemen
penanggulangan bencana yang mantab. Jangan sampai lokasi yang terkena bencana
mendapat masalah kepadatan jalan. Proses evakuasi dan penanggulangan kesehatan
adalah faktor yang harus diprioritaskan. Saya sama sekali tidak menyalahkan
luapan empati dari berbagai kalangan tapi tentu harus ditata dengan baik
sehingga efektif dan efisien.
Semua tahu bahwa kemacetan membuat suatu suasana yang panas,
dan cenderuk mematik emosi. Mari kita bersama membangkitkan lokasi bencana
dengan mendinginkan suasana. Efisien, efektif dan penuh dengan nuansa sejuk.
Berandai-andai
solusi, Sedikit lamunan saya:
Seharusnya memang ada filter, siapa yang boleh masuk lokasi
dan siapa yang enggak. Jika memang ada sumbangan logistic janganlah diangkut
dengan mobil kecil, mungkin ada fasilitas truk atau pickup yang dapat
mengangkutnya dengan kapasitas maksimal. Akan sangat baik jika jauh dari lokasi
ada tempat transit yang dijadikan sebagai terminal penyaluran barang, yang juga
menyediakan mobil pickup atau truck.
Filter juga sebaiknya dilakukan untuk penyaluran relawan.
Relawan jangan diangkut dengan mobil kapasitas kecil karena hanya muat sedikit
orang. Mungkin akan sangat baik pula di lokasi transit ada mobil angkut
relawan, menggunakan truck.
Dapat juga diadakan mobil khusus yang disediakan untuk
wira-wiri dari tempat transit ke lokasi bencana. Upaya ini agar lokasi tidak
terlalu pada oleh mobil-mobil. DENGAN DEMIKIAN MAKA KENDARAAN SEPERTI
AMBULANCE, TNI, POLISI, ALAT BERAT MEMILIKI MOBILITAS YANG SEMPURNA. HINGGA
SEMUA DAPAT DIEVAKUASI DENGAN BAIK. HINGGA SEMUA KORBAN DAPAT DITOLONG. Hanya
orang yang berkepentingan dan memiliki peran krusial saja yang diperbolehkan
masuk. SEMUA INGIN MEMBANTU TAPI KITA HARUS PUNYA SKALA PRIORITAS DEMI
KEBAIKAN!!!
“TAMPAKNYA HARUS MUNCUL GAGASAN DARI PARA AHLI MENGENAI
MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA ALAM”
Meraba masalah, opini saya: Mungkin benar mungkin
salah
Saya rasa masalah yang saya paparkan di atas adalah masalah
yang nampak jelas, bisa dikatakan objektif. Namun masalah yang mau saya
sampaikan ini nampaknya berbau subjektifitas. Mohon maaf jika ada yang
tersinggung dan opini saya salah. Saya mencermati bahwa banyak sekali yang
mengumbar lebel di lokasi bencana, icon golongan dipasang dengan besar-besaran.
Kenapa tidak bergabung menjadi satu nama saja? “WARGA PEDULI BANJARNEGARA?”
Jikapun ada tentu tidak usah mencolok sedemikian.
Saya berbincang dengan salah satu warga, dia mengeluarkan
kalimat yang membuat saya kaget. “SEMUA PADA PENGEN UNJUK”. Lho ini masyarakat
saja bisa menilai demikian. Memang mencolok sekali menurut saya bahwa banyak
instansi yang berlomba memasang spanduk penanda identitasnya. Imbasnya adalah
adanya nuansa pengotak-ngotakan ini bantuan dari siapa, ini posko siapa, posko
siapa yang lebih baik, posko siapa yang lebih lengkap dan sebagainya.
Semoga perasaan saya tidak benar, hanya subjektifitas saja.
SAYA TANTANG SEMUA RELAWAN UNTUK MENANGGALKAN KELOMPOKNYA DALAM MEMBANTU!!!
SEMUA ATAS NAMA “MASYARAKAT PEDULI BENCANA”
Satu fenomena yang lain, ada masyarakat yang menilai itu
posko relawan bertempat di rumah-rumah (bagus) sedangkan pengungsi ditempatkan
di lokasi alakadarnya (kecamatan, kelurahan dan sekolah). Saya belum crosscheck
lebih jauh tapi sekilah dari statement tersebut memang iya posko-posko
menempati rumah warga. Ini unik juga, ada kesenjangan. Mungkin tidak perlu
banyak posko, yang penting semua fasilitas tarsalurkan. JANGAN BERFOKUS PADA
PROSES MENGUKIR NAMA DI SEJARAH.
Sekian tulisan saya, bila ada yang salah mohon
revisi…