“Pesta demokrasi”
Hmmm…itulah yang menjadi jargon walaupun saya tidak sepenuhnya setuju
dengan kalimat tersebut. kenapa demikian? Dalam benak saya, suatu perta itu
adalah selebrasi kebahagiaan, penuh canda gurau, penuh keramahan, penuh cinta.
Singkatnya pesta itu full dengan keindahan dan perdamaian. Tapi coba kita
perhatikan pesta demokrasi kita? Penuh ketegangan, banyak fitnah, sering
ditemukan nada saling melecehkan. Bahkan salah satu capres, bapak Prabowo
bilang kalau masyarakat/pendukung capres lebih galak dari capresnya (debat pres
3).Dimananya to pestanya? Dimana seneng-senengnya? Dimana keramahannya…Hehe…
(maaf kepada pencetus jargon…hehehe)
Sebenarnya saya sudah lama pengen menulis mengenai pemilu ini, namun
karena kemarin ada ujian jadi baru kali ini bisa meluapkan pikiran.
Sejujurnya sampai detik ini saya bingung dengan pilihan saya, saya
belum memantabkan hati saya, siapakah yang akan saya pilih di 9 Juli 2014. Dan
semakin lama, bukannya semakin terang malah semakin berkabut. Dulu saya sangat kagum
dengan pak jokowi, lewat media sering saya dengar banyak sekali terobosan dan
prestasi dalam kepemimpinannya. Seiring berjalannya waktu saya pun melihat
sosok pak prabowo yang sangat matematis, nampak sangat realistis dan memiliki
wawasan kuat sebagai bekal. Kedua calon ini sangat bagus apalagi pak jokowi
didampingi oleh pak JK yang syarat pengalaman dan pak prabowo didampingi oleh
pak Hatta yang memiliki kontrol emosi cukup baik.
Prihatin….
Saya mencoba menyimak televise yang menyiarkan tentang profil ataupun
paparan visi misi. Saya lihat di salah satu program yang mempertemukan jurkam
kedua belah pihak. Ya ampun, semakin mantab saya menyimpulkan ini bukan pesta
bagi saya. Saling hujat dan saling menjelekan, motif dukungan juga tidak jelas.
Ada yang mendukung karena sakit hati dengan capres yang lain, ada yang
mendukung karena dijanjikan jabatan yang lebih dari menteri. Lebih prihatin
lagi ketika ada pertanyaan “kesan baik pada lawan politik?”… yang satu menjawab
dengan “blusukan” sambil muka mengejek, yang satu menjawab “pintar merawat
kuda”. Ealah, bukan suatu yang sulit untuk memuji Jokowi dan Prabowo karena
mereka adalah orang terpilih.
Di area debat malah saling hujat. Prabowo dihujat dengan pelanggaran
HAM dan status sebagai “pecatan” TNI, Jokowi dihujat sebagai boneka dan rakus
jabatan. Semua materi tidak memberikan kemapanan pada hati saya untuk memilih.
Nampaknya JKW-JK dan PRB-Hatta salah milih jurkam… Cuma satu pembicara
yang terlihat elegan dan cerdas dari keenam pembicara… Dan saya kapok lihat
debat kalo yang debat bukan capresnya… :p
Lucu lagiii…
Lagi pada rebut hasil survey…
TV nya pendukung Jokowi selalu menampilkan bahwa Jokowi unggul telak
atas Prabowo, sedangkan TV pendukung Prabowo menampilkan bahwa Prabowo mulai
unggul atas Jokowi…
Bebarapa waktu saya dengar pihak Prabowo menyindir bahwa salah satu lembaga
survey yang menampilkan keunggulan elektabilitas Jokowi adalah lembaga yang
dibayar oleh jokowi. Lembaga tersebut tidak terima dengan hal tersebut…rame deh…
Gak jelas banget, tak usahlah gubris hasil survey…yang penting
hasilnya besuk… :p
Milih yoook (bingung)…
Sebagai warga negara, jelas dong saya ingin pemimpin yang paling baik.
Ngutip dari mata najwa ah… “kita tidak mencari pemimpin yang sempurna”. Mulai
dari situlah muncul isyarat untuk membandingkan kedua calon. Kriteria “baik”
tentu subjektif, turunan dari pola pikir kita masing-masing. Kalau istri saya
katanya lebih suka jokowi “tu senyumnya lucu”…hahaha…
Awal perbandingan yang saya lakukan adalah dengan berbincang dengan
teman mengenai capres. Diskusi saya lakukan dengan teman yang sudah menetapkan
pilihannya, ketika berbincang dengan macan asia fansclub saya berposisi sebagai
jkw’ers, sebaliknya ketika saya berbincang dengan pendekar dua jari maka saya berposisi
sebagai serdadu ahmad dani. Pura-puranya bunglon…hehe
Selain itu saya juga mencari info melalui debat capres karena itu
nampaknya lebih baik daripada suara-suara jurkam yang geje!!!
Dari berbagai perbincangan, ada banyak yang memilih prabowo dengan alasan
singkat namun fundamen, “Indonesia belum bisa dipimpin oleh sipil”. Nampak
bukan? Bahwa masyarakat kita sangat historis. Mereka lihat kondisi negara saat
dipimpin oleh Suharto dan SBY, dipandang lebih baik. Eiiits jangan langsung
dipercaya, krisis moneter 98 karena pak tentara lho… “isih ra penak jamanku
tooo…”…hehehe…
Pandangan seperti itu pula yang digunakan Gerindra untuk mengambil
hati. Gaya bahasa prabowo pun sedikitnya menyerupai pak harto “….ken”.
Nampaknya calon presiden no. urut 1 ini paham betul pemikiran masyarakat yang
beberapa merasakan kekangenan dengan sosok Suharto.
Namun maaf, alasan itu belum cukup untuk meyakinkan saya, presiden
harus dari kalangan militer, Bung Karno dan Bung Hatta rakyat sipil lho… Oleh
karena itu jangan serta merta mejugde bahwa militer lebih tegas dari sipil.
Tegas apanya? Kalau galak mungkin… Suara keras mungkin… Tapi tegas belum tentu…
Tegas yang kita harapkan adalah tegas dalam ranah kebenaran.
Calon presiden nomor urut 2 memiliki popularitas yang luar biasa,
sering menjadi artis di media, khas dengan baju kotak-kotas dan senyumnya.
Pendukung dari capres ini pun sangat banyak, dianggap sebagai pemimpin yang
dekat dengan rakyat, sering blusukan, eksekutor yang anti kompromi. Dipandang
merupakan pemimpin yang memiliki trek rekor baik dan mulai dari bawah,
walikota, gubernur lalu mencalonkan diri menjadi presiden.
Namun sayangnya, dari 3 periode jabatannya, dua diantaranya tidak
selesai, mengundurkan diri untuk mencalonkan diri agar memperoleh jabatan yang
lebih tinggi. Muncul berbagai opini,
1.
Jokowi sebagai boneka, elektabilitasnya
dimanfaatkan untuk menyelamatkan muka partai, (di partai itu tidak ada calon
lain yang memiliki peluang menjadi presiden sebesar jokowi), singkat kata
“boneka” sehingga rela meninggalkan jawabatannya yang belum rampung.
2.
Jokowi sangat dinantikan rakyat, tidak ada waktu
lagi untuk menunggu pilihan presiden tahun mendatang sehingga beliau dapat
menyelesaikan jabatan sebagai gubernur karena Indonesia harus segara dimajukan,
melalui kepemimpinan jokowi
Kebenaran dari kedua opini tersebut tidak ada yang tahu pasti, semoga
opini kedualah yang benar.
Prabowo dengan sistem
ekonominya
Dari sudut pandang visi dan misi kedua capres sama baiknya, sama-sama
bertujuan untuk memajukan bangsa, sama-sama berpikiran futuristik. Namun pasti
ada perbedaan dalam penekanan. Prabowo berulang-ulang membahas tentang
perekonomian. Prabowo menilai bahwa ekonomi bangsa ini ada yang salah seperti
bocornya 1000T. Singkatnya Prabowo mengusung ekonomi kerakyatan anti neoliberalism…
(pakai sistem ekonomi syariah saja pak….sragam…)
Yang lebih mengagetkan saya, Prabowo berkeinginan memberantas korupsi
dengan menaikan gaji pegawai pemerintah termasuk DPR dll. Waduuuh…hehehe…
Mengutip kalimat pak Abraham Samad, “Korupsi itu bukan karena koruptor kurang
uang, tp karena serakah”. Lalu pertanyaanya apakah benar itu penambahan gaji
akan memberantas korupsi? Maaf saya sangsi dengan teori ini. Saya khawatir jika
itu terjadi. Maaf sedikit fulgar, saat ini untuk menjadi PNS dengan gaji 2 juta
saja rela menyuap, untuk menjadi anggota POLRI dengan gaji katakanlah 3 juta
saja bisa menyuap sampe dengan nominal 250 juta. Itu semua terjadi karena
pegawai negeri begitu popular, dianggap sangat menjamin kemapanan sehingga
orang rela menggelontorkan uang, berlomba-lomba menggelontorkan uang untuk
menjadi pegawai negeri. Kalau gaji pegawai negeri ditingkatkan? Katakanlah gaji
PNS IIIa adalah 4 juta, atau gaji anggota POLRI menjadi dua kali lipat dari
semula, hasilnya adalah “biaya masuk jadi pegawai negeri bisa naik, bisa-bisa
masuk POLRI mencapai 500 juta”. Singkatnya tidak ada hubungannya dengan tujuan
awal.
Sama pula tentang DPR. Pertanyaan besar muncul, kenapa orang ingin
menjadi DPR? Karena jabatan DPR itu strategis, strategis untuk berbagai hal
sehingga dapat memberikan banyak peluang untuk mendapatkan penghasilan. Kalau
gaji DPR dinaikan, semakin populer, malahan orang semakin ngotot untuk menjadi
DPR sehingga dana kampanye bisa berlipat ganda. Lagi-lagi tidak ada hubungannya
dengan tujuan awal, yaitu pemberantasan korupsi.
Kenapa demikian? Karena prabowo tidak menyampaikan suatu gagasan hukum
yang tegas berkaitan dengan konsekuensi penaikan gaji pegawai negara.
Seandainya ada konsekuensi, dinaikannya gaji berarti dilipatgandakan pula
hukuman bagi pelanggaran, mungkin itu lebih menggigit. Mengingkatkan gaji
adalah kendaraan untuk menegaskan hukum pada telaku korupsi.
Jokowi dengan sistem
pendidikannya
Dari segi ekonomi, pandangan kedua capres nampak berbeda, jokowi lebih
kepada anggaran efisien. Namun saya tidak terlalu tertarik mengamatinya. Saya
lebih tertarik dengan seruan jokowi mengenai “revolusi mental”. Revolusi mental
yang digagas jokowi dilaksanakan dengan kendaraan pendidikan, dimana pendidikan
akan mengutamakan dapa pembangunan karakter.
Secara umum saya sangat setuju dengan Jokowi, namun yang menjadi
masalah adalah konstruksi pendidikannya? Saya belum mendengar kaitan statement
Jokowi dengan kurikulum 2013? Apakah setelah Jokowi naik, aka nada kurikulum
2014? Atau kurikulum yang telah ada dilakukan penyempurnaan? Atau kurikulum
2013 ini saja sudah cukup? Ini menjadi pertanyaan besar dalam benak saya. Bukan
persoalan mudah untuk mengonstruksi pendidikan menjadi suatu wahana yang dapat
membentuk karakter siswa.
Sedikit masalah revolusi mental, mohon pak Jokowi, umatnya yang pakai
merah-merah itu, yang suka gembor-gembor itu mentalnya gmn ya? Arogan di jalan,
polusi suara (knalpot blombongan), mengganggu kenyamanan (bikin macet), boros
BBM (gembor-gembor)…Mungkin bisa diserukan “jangan dukung saya jika mentalnya
kayak gitu…” hehehe
Masalah lain yang menarik adalah pada kartu sehat. Bagaimanakah peran
kartu ini, apakah kartu ini adalah perwujudan lain dari BPJS? Atau benar-benar
digratiskan. Mungkin saya yang belum dengar atau mungkin memang belum
dipaparkan, langkah jokowi sendiri adalah fokus pada penyediaan fasilitas
kesehatan, sedangkan membina masyarakat yang sehat tidak dikupas lebih tajam.
Masalah kesadaran masyarakat untuk berperilaku preventif terhadap kesehatan
tidak ditekan. Apakah benar negara ini mau membina orang-orang yang sakit?
Lantas mengobatinya? Bukankah lebih bijak membina masyarakat yang sehat
sehingga sedikit masyarakat yang sakit?
Banyak sekali aspek yang membuat masyarakat nampak menyia-nyiakan
kesehatannya, seperti merokok dan minuman keras. Bagaimana mungkin suatu benda
yang dapat mengganggu kesehatan dibiarkan beredar luas? Nampaknya saya masih
mempertanyakan sistem kartu sehat dan konsentrasi pak Jokowi terhadap
kesehatan.
Dan akhirnya saya masih bingung…
Mohon informasi jika ada…