(Solusi Bijak Dalam Berobat)
Oleh: Janu Arlinwibowo
Sakit, merupakan salah
satu kejadian yang pasti dialami oleh seluruh manusia di dunia. Dimulai sejak
jaman dahulu kala manusia menanggulangi sakit dengan olahan tradisional hingga saat
ini dengan suatu materi ekstrak yang dinamakan “obat”. Jaman dulu manusia menggunakan ilmu titen untuk
mencari penawar hingga saat ini ada pendidikan formal untuk mencetak sang
pembuat resep yang bernama dokter.
Upaya
penyembuhan
“Percaya akan sembuh adalah modal
utama untuk sembuh”
Sarana rehabilitasi
terpusat pada suatu instansi kesehatan. Rumah sakit, klinik, dan beberapa instansi kesehatan lain. Proses rehabilitas bertumpu pada si pahit obat. Namun bukan berarti obat
menjadi faktor utama dalam proses penyembuhan. Faktor lain yang tidak kalah
krusial adalah psikologis dari pasien. Psikologis dapat memberikan pengaruh besar pada proses penyembuhan.
Ketika pasien tidak
percaya terhadap aspek penyembuhan (dokter, obat, ataupun sarana kesehatan) akan
memberikan dampak buruk pada proses . Ketidakpercayaan pada dokter akan membuat
pasien tidak terbuka sepenuhnya menceritakan kondisi tubuh sehingga mempersulit
proses diagnosa. Lain hal ketika
pasien mengalami ketidakpercayaan terhadap alat identifikasi
kesehatan, pasien meragu terhadap diagnose dokter yang akan berujung pada tidak
mantabnya menjalani proses penyembuhan.
Obat adalah gerbang
akhir proses penyembuhan setelah pasien mantab dengan diagnosa dan metode treatment dokter. Ketidakpercayaan
terhadap obat membuat pasien underestimate
dan cenderung tidak disipling dalam mengonsumsinya. Kondisi psikis ini akan
memunculkan sugesti jauh dari kesembuhan.
Macam-macam
obat
“Beragam jenis obat yang beredar,
pengetahuan menjadi modal dasar untuk memilih”
Obat yang beredar di pasaran saat ini ada tiga jenis yang
perlu kita ketahui. Pertama adalah obat paten. Obat paten adalah
obat yang masih dilindungi oleh paten. Setiap obat umumnya ditemukan sebagai
hasil penelitian yang mendalam dan tentu saja dengan mengeluarkan biaya yang
tidak sedikit. Untuk mendapatkan penggantian biaya penelitian yang telah
dikeluarkan tersebut, maka obat yang baru ditemukan umumnya dilindungi oleh hak
paten. Dengan hak paten ini, penemunya akan mendapatkan penggantian biaya
penelitian yang telah dilakukannya untuk menemukan obat tersebut, karena
setiap perusahaan yang ingin memproduksi obat tersebut harus membayar sejumlah
tertentu uang kepada pemegang hak paten. Biaya yang dibayarkan kepada pemegang
hak paten tersebut tentu saja pada akhirnya dibebankan kepada konsumen atau
pembeli. Itu sebabnya, ”Obat Paten” harganya sangat mahal.
Kedua adalah obat generik bermerek. Obat ini adalah
obat yang hak paten patennya sudah habis. Paten suatu obat biasanya berumur
20 tahun. Setelah 20 tahun, tidak ada lagi yang memiliki hak paten atas obat
tersebut. Obat yang sudah habis masa perlindungan patennya disebut obat
yang off-patent. Obat-obat off-patent sebagian ada
yang diedarkan dan dijual sebagai obat generik yang diberi merek dagang
tertentu. Obat yang masih bermerek dagang inilah yang disebut “Obat Bermerek”.
Obat generik berlogo (OBG) adalah obat generik yang diedarkan
dan dijual tanpa merek tertentu, hanya dengan nama kimia populer dari zat
aktifnya. Misalnya parasetamol (mengandung zat aktif parasetamol) dan amoksilin
(mengandung zat aktif amoksilin). yang bikin saya heran, kok bisa yaa harganya
lebih murah dari harga obat generik bermerek? padahal kalau ditinjau dari zat
aktifnya kedua jenis obat ini punya zat aktif yang sama persis.
Asumsi
Masyarakat Terhadap Obat
“jer basuki mawa bea”
Kalimat di berarti
suatu yang baik pasti membutuhkan biaya. Jika dirunut dapat disimpulkan bahwa
semakin banyak modal maka hasil yang dicapai akan semakin baik. Kalimat
tersebut telah merasuk ke dalam masyarakat kita. Asumsi bahwa suatu barang
dengan harga tinggi pasti lebih baik dibandingkan dengan barang yang berharga
dibawahnya. Buktinya jelas, barang seperti sepeda motor, mobil, lemari,
makanan, ataupun sekolah memang harga yang lebih mahal menawarkan kualitas yang
lebih baik. Mayoritas barang dan jasa yang ada memang berlaku sesuai dengan
asumsi tersebut.
Dalam jasa kesehatan,
asumsi tersebut pula yang sering di pakai oleh masyarakat. Rumah sakit swasta
dengan biaya yang lebih mahal mulai menyejajarkan popularitasnya dengan rumah
sakit daerah. Alasannya serupa, masyarakat menganggap rumah sakit swasta dengan
biaya lebih mahal menawarkan pelayanan yang lebih baik. Kepercayaan tersebut
akan membawa kemantaban pasien dalam berobat dan menuju kesembuhan.
Begitu pula masyarakat
dalam memahami kualitas suatu obat. Beberapa kasus terjadi ketika seorang
pasien menolak saat dokter menawarkan obat generik berlogo (OBG). Alasannya
lugas, pasien merasa ragu dengan kualitas dari obat generik berlogo (OBG).
Logika pasien menuju pada harga obat generik berlogo (OBG) yang sangat murah. Jika
harga obat generik bermerek Rp 25.000,00 maka harga obat generik berlogo (OBG)
hanya kisaran Rp 5.000,00 saja. Memang tidak masuk akal ketika kedua harga
tersebut dibandingkan, sehingga wajar jika pasien menolak untuk diberikan obat
generik berlogo (OBG). Dokter pun tidak kuasa untuk mengarahkan ketika
kemantaban pasien sudah menuju pada suatu produk karena jika pasien sudah
memiliki rasa tidak percaya terhadap obat maka proses penyembuhannya pun akan
terhambat.
Mengupas
anomali dalam harga obat
“Dalam obat istilah jer basuki mawa
bea tidak berlaku”
Muncul suatu pertanyaan
mengenai perbandingan obat paten, generik bermerk, dan generik berlogo. Dari
sisi zat aktifnya (komponen utama obat) , antara obat generik (baik berlogo
maupun bermerek dagang), persis sama dengan obat paten. Sayangnya, meskipun
diproduksi dan dipasarkan sudah lebih dari 15 tahun, obat generik masih
dipandang dengan sebelah mata. Padahal, obat ini tak kalah bermutu dibandingkan
obat paten yang berharga jauh lebih mahal.
Pertanyaannya
adalah mengapa terdapat perbedaan harga? Mengapa obat generik belogo dihargai
sangat murah jika kandungannya sama dengan obat generik bermerk dan obat paten?
Jawaban dari murahnya
harga obat generik berlogo (OBG) adalah karena mengenai harganya diatur oleh
pemerintah, dengan harapan agar harga obat dapat terjangkau oleh masyarakat
luas. Jadi produsen obat generik tidak dapat menentukan harga obatnya sendiri.
Sedangkan obat bermerek, harganya tidak ditekan oleh pemerintah, sehingga
produsen obat lebih leluasa menetapkan harga.
Obat generik berlogo
(OBG) dapat dijual dengan harga murah karena langsung diproduksi dalam jumlah
yang besar, sehingga skala produksinya efisien. Selain itu obat generik berlogo
(OBG) mengemas obat secara sederhana asalkan tetap bisa melindungi obat
sehingga biaya untuk memproduksinya pun relatif murah. Dan yang jelas murahnya obat
generik berlogo (OBG) adalah karena tidak adanya beban membayar royalti paten
seperti halnya obat paten.
Obat generik memang
harganya murah, tapi bukan berarti murahan. Artinya, harganya memang dimurahkan
sesuai dengan ketetapan pemerintah. Namun, mulai dari bahan pengadaan baku
awal, produksi, hingga finish product, dilakukan quality control sebagaimana
dilakukan jika memproduksi obat paten.
Sama seperti obat
bermerek, tidak semua perusahaan farmasi boleh memroduksi obat generik berlogo
(OBG). obat generik berlogo (OBG) hanya boleh diproduksi oleh perusahaan
farmasi yang sudah sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Karena itu,
kualitasnya dijamin oleh pemerintah. Dengan demikian, kualitas dan keamanan
obat generik dan obat paten relatif sama. Untuk itulah, masyarakat tidak perlu
khawatir jika minum obat generik berlogo (OBG) karena kualitasnya terjamin.
Dalam produksi obat
generik berlogo (OBG) diterapkan beberasa standar yang mengontrol kualitas obat
tersebut. Adapun standar tersebut
1. Bahan baku obat yang digunakan harus
memenuhi standar bahan baku obat Amerika Serikat (USP) dan Eropa
2. Fasilitas produksi sudah memenuhi
standar CPOB dan sudah mendapat sertikat ISO 9001: 2000
3. Sudah diuji banding biovailabilitas
dengan obat paten, dan memberikan hasil yang sama.
Oleh karena itu jangan ragu untuk memilih obat
generik berlogo (OBG) karena dalam kasus kemanjuran dan harga obat terjadi suatu
anomali. Terjadi fenomena dimana “jer
basuki mawa bea” tidak berlaku. Antara yang mahal dan yang murah memiliki
kandungan dan kualitas setara. Berbekal pengetahuan bijaklah dalam memilih
obat.