Social Icons

Pages

Jumat, 09 Oktober 2015

Mengecewakaanya Sistem Pembelian AQUA



Hmmm...curhat masalah aqua galon...
Setelah bertahun-tahun berlangganan air aqua galonan, beberapa bulan ini saya sungguh merasakan tidak nyaman. Di sekitar kudus, saya tidak tahun di daerah lain, kalau mau beli air aqua tampatnya dicek detail sekali oleh penjualnya. Saya sih biasa aja awalnya karena saya tidak merasa merusakkannya. Selama di jogja pun tidak pernah ada kasus demikian, di cek-cek gitu. Hingga pada akhirnya sekitar beberapa bulan yang lalu botol yang saya bawa untuk beli air aqua ditolak oleh penjual. Penjual ini melihat ada bekas tambalan di bawah aqua. Katanya nanti nggak diambil botol yang kayak gitu, gak bisa dituker yang ada isinya. Lha saya yo bingung, wong saya gak merasa nambal, selama saya pakai juga tidak ada indikasi bocor. “silahkan cari tempat lain mas, mbok ada yang mau nerima botol ini”. Okelah, tidak ada gunanya saya menerangkan macam-macam. Penjual Cuma pesen kalau beli cek dulu biar gak kaya gini (penjual tahu bukan saya yang salah). Dalam hati “mana mungkin saya cek bu...”.
Coba ke warung satunya, dicek lagi dan hasilnya lolos. Dengan perasaan yang tidak enak saya bingung untuk membawa air aqua itu. Takut penjualnya merugi karena botol itu. Tapi yasudahlah, saya berdoa semuga dilimpahkan rizki pedagang itu saja...
Atas ketidaknyamanan tersebut saya tetap menjadi lengganan setia aqua. Namun, tadi pagi nampaknya membuat saya benar-benar kecewa. Botol saya ditolak lagi dengan alasan bawahnya sudah pecah dari dalam. Lhooooh? Mana saya tau itu botol pecah di dalam? Lhawong saya pakai beres-beres saja gak bocor. Kalau adabnya membeli aqua galon harus memeriksa kondisi botol ya jelas tidak mungkin. Memeriksa botol dengan air 19 liter di dalamnya adalah hal  yang sangat merepotkan, kalo menurut saya yo imposuebel...
Lalu saya mulai berpikir dan merunut berbagai pengalaman dan kemungkinan. Apakah aqua sebagai perusahaan air minum terbesar di Indonesia memberlakukan sistem sebegitu jelek parahnya? Ini sangat jelek menurut saya dan menjatuhkan kredibilitas perusahaan.
Suatu produk jelas ada masa berlakunya, termasuk botol aqua galon. Ditambah bahan dasarnya plastik, jelas harus diremajakan secara berkala. Kasus di atas seolah-oleh pihak aqua menganggap botol tidak mungkin rusak dan meminta konsumen yang menanggung kerusakan botol! Tapi saya kok masih ragu apa ini benar-benar aturan dari pihak aqua? Pasalnya perusahaan sebesar aqua jelas memiliki tim riset handal yang mempu memprediksi daya tahan botol untuk mengatur peremajaan, pasti juga punya tim pengembang yang dapat mengatur kualitas botol, juga punya ahli keuangan yang dapat merumuskan harga untuk dapat mengcover biaya peremajaan botol. Sederhananya misal botol rata-rata bisa dipakai 30 kali isi ulang dan harga botol 30 ribu. Naikan saja harganya hingga dapat menutup biaya peremajaan. Atau jangan-jangan ini permainan oknum? Entahlah, dengan tulisan ini saya mencoba tabayun dan mengharap ada yang memberikan tanggapan.
Masalahnya, saat saya runut lebih teliti, saya pernah mendapatkan botol yang diindikasikan ditambal. Ini aneh, karena saya membeli aqua itu dengan isi air penuh. Logikanya jelas, jika aqua tersebut resmi berarti pihak aqualah yang mengisi air sehingga saya memberi tanda tanya besar pada botol yang diindikasikan ditambal tersebut. Tidak mungkin ditambal setelah ada isinya. Kemungkinan yang kedua adalah botol diisi oleh orang tidak bertanggungjawab yang terlebih dahulu menambalnya. Tapi saya pastikan waktu itu tutup segelnya resmi. Saya berani memastikan resmi karena saya pernah mendapatkan botol dengan tutup tidak resmi dan insya Alloh saya bisa membedakan.
Entahlah, yang jelas ini aneh tapi saya tidak berani untuk menyimpulkan secara lugas dan tegas. Saya berharap tulisan ini dibaca oleh pihak aqua sehingga ada tanggapan. Yang jelas saya selaku konsumen merasa sangat dirugikan.
Jika memang ini kasus yang ditimbulkan dari luar silahkan segera diatasi,
Namun jika keribetan ini memang aturan intern dari aqua, merk lain masih banyak.
Terimakasih.

Minggu, 04 Oktober 2015

CURHAT TENTANG DOKTER

Hmm... setelah seminggu kemarin disibukan dengan menunggu anak sakit yang harus opnam, senin pagi kembali masuk kerja tapi tidak ada jadwal ngajar...yoook mari cerita,
Dokter adalah profesi yang cukup akrab dengan saya karena ibu dan bapak mertua yang cukup sering berkunjung ke dokter karena usia yang sudah menua. Mungkin sudah lumayan banyak dokter yang pernah saya temui, lebih banyak lagi ketika saya hitung teman sekolah saya yang saat ini telah memiliki gelar dr. di depan namanya. Yuuuk mari bermincang tentang pengalaman saya,
Curhatan ini mulai terfikirkan saat saya menunggui anak saya kemarin opnam. Tiba-tiba semua memori tentang pengalaman berkaitan dengan dokter mendesak-ndesak ingin keluar lewat tulisan. Dari sekian banyak dokter ada yang berkesan baik ada juga yang membuat saya trauma, ada juga yang sedikit saja kurang memuaskan.
Dokter adalah profesi yang sangat menjanjikan di mata masyarakat. “mana ada dokter miskin?”. Sekilas kalimat tersebut dapat menggambarkan asumsi publik. Di universitas jurusan kedokteran pun selalu menjadi primadona sehingga hampir pasti penghuni jurusan tersebut adalah mahasiswa terbaik di kampus. Yak kita simpulkan bahwa dokter itu memang pintar.
Tidak akan bercerita tentang kualitas intelegensi dokter, tapi saya akan bercerita tentang citra dokter di mata saya. Dokter yang memiliki citra baik akan saya tulis dengan nama terang sedangkan untuk dokter dengan citra buruk di mata saya akan saya tulis dengan inisial saya. Semoga ini sudah bijak.
Saya punya kesan dengan dokter keluarga saya di Kudus, dr. Rusdi Hartoyo namanya. Dari sekian banyak dokter, saya merasa beliau memiliki keunikan tersendiri. Waktu itu saya memeriksakan istri saya yang tangannya sering kesemutan pasca melahirkan. Beliau bertanya tentang aktivitas keseharian istri saya yang memungkinkan menjadi penyebab masalah tersebut. “kita harus cari akar masalahnya untuk memutus rantai permasalahan ini”. Kalimat tersebut manurut saya sangat tidak biasa diucapkan oleh seorang dokter. dr. Rusdi teliti sekali bertanya untuk mencari masalah yang menjadi penyebab bahkan menghabiskan waktu lama sekitar 30 menit hanya untuk mengobrolkan masalah tersebut. Itu adalah pertemuan pertama kami dan akhirnya membuat saya mantab memilih beliau sebagai dokter keluarga.
Mengenai dokter keluarga saya juga memiliki beberapa pengalaman lain saat saya masih berdomisili di Bantul. Dokter keluarga pertama saya adalah dr. W. Sistem pengobatan beliau adalah meminta pasiennya untuk dirawat di klinik miliki beliau. Padahal ibuk saya pinginya minta rujukan saja karena masalah diabetnya sudah biasa ditangani oleh dr. Barkah, Sp.PD. Karena sulitnya mencari rujukan dan ibuk saya tidak mau selain dr. Barkah Sp.PD maka saya memutuskan untuk pindah faskes ke dr. Siti Chalimah. Ibu dokter senior ini jauh lebih bijak dalam menanggapi kasus pasiennya. Ibuk selalu diberi rujukan agar dapat dikelola penyakitnya oleh spesialis dalam.
dr. Barkah Sp.PD juga memiliki keunikan. tIdak seperti dr. Rusdi “ngobrol” dengan pasien, dr. Barkah Sp.PD cenderung pendiam. Namun ibuk fanatik dengan beliau karena beliau yang sekaligus direktur PKU Bantul punya paradigma bahwa konsumsi obat tidak akan mengganggu aktifitas keagamaan (puasa). dr. Barkah Sp.PD selalu menyarankan ibuk untuk tetap puasa dan memberikan anjuran minum obat yang menyesuaikan aktivitas puasa. Ibuk pernah trauma saat priksa dengan dokter lain yang tidak mau kompromi dengan puasa. Dokter tersebut bilang bahwa “ya gak bisa minum obat kok puasa”. Sontak ibuk semakin mantab bahwa dr. Barkah Sp.PD adalah idolanya. Bahkan saat beliau cuti haji, ibuk gak mau berobat, mau nunggu dr. Barkah Sp.PD selesai cuti (bahaya...hehe).
Kembali ke faskes awal, saya tidak tahu kenapa dr. W mempersulit rujukan? Tapi sudahlah dr. Siti Chalimah sudah memberikan pelayanan yang sangat baik. Suatu saat telinga saya sakit dan berobat ke dr. Siti Chalimah. Beliau langsung bilang “telinga, ini sebaiknya langsung saya rujuk agar dapat penganganan yang lebih baik oleh spesialis THT”. Menurut saya ini sangat bijak.
Dengan dokter THT saya perhan sangat trauma saat kuping saya dibersihkan, dr. G namanya. Entah lupa atau kenapa tanpa ditetesi kuping saya langsung di vacum, sakitnya bukan main. Kuping saya dimasuki corong dan dibersikan, katanya ada kotoran menggumpal di dalam. Dicukil beberapa kali nggak kena sambil bilang “aduh malah tambah mlebu”. Disedot lagi dengan vacum sakit sekali. Menahan sakit hampir pingsan. Saya minta istirahat, eh malah diminta ke dokter jantung katanya ada yang aneh. Kluar ruangan kuping saya ditutup kapas saat saya buka ternyata darah. Wah dokternya gak beres ini malah nyari kambing hitam jantung saya, sakit campur takut jelas detak jantungnya gak normal.
Pindah ke kudus saya juga menyambangi dokter THT, pengalaman buruk lagi-lagi saya dapatkan. Saat itu saya saya mencoba diskusi dan bertanya masalah di telinga saya. “gimana ya dok agar gak sakit lagi”. Jawabnya nyolot sekali kayak preman (lebai) “ya tuku iki regane 20 juta (camera yang buat lihat dalem telinga), resiki dewe” tambah nyolot dia “aku we sakit gigi ke dokter gigi kok”.  Ya harus priksake ke dokter THT setengah tahun sekali katanya. Astgflah... dr. AJ Sp.THT namanya. Saya diminta kontrol tapi males (Mahal bgt juga e...hahaha)
Beberapa saat kemudian kambuh masalah kuping saya. Saya memutuskan ke dr. Rusdi saja, tidak apalah dokter umum. Biasa diskusi dimulai, saya ceritakan masalah dan diskusi interaktif berjalan. Beliau menebak-nebak berbgai pemicu dan saya mencoba ikut mnceritakan keseharian saya. Bahkan dr. Rusdi menceritakan anatomi sekitar telinga, masalah-masalah yang mungkin terjadi, dan trik agar tidak terjadi sakit yang demikian. Well, dikasih obat, murah, tanpa antibiotik yang khusus telinga super mahal, 3 hari sembuh tanpa kambuh. Coba bandingkan dengan dr. Rusdi? Hmm...
Lanjut cerita ke masa opnam anak saya, ditangani oleh dr. F, Sp.A. Beliau meminta anak saya opnam karena panasnya sudah 39 derajat. Bingung tanpa pikir panjang saya yak saja. Yang membuat saya kecewa adalah perawatnya, (kesan pertama langsung buruk). Perawat tersebut dengan nada guyon bilang “pakai ilmu terawang ini, gendut gak kelihatan”. Astgfrlh anak saya dibuat mainan mosok pakai ilmu terawang. Benar saat saya cek ternyata tidak langsung jadi, ada coblosan infus di lain tempat. Okelah saya bisa memahami kalau memang sulit tapi jangan sambil becanda dan menyampaikan gurauan hingga orangtua dengar.
3 hari opnam belum ada kesimpulan penyakit. Diagnosa awal infeksi saluran kencing gugur saat darah dan urin diuji. Hari ketiga saat visit dr. F, Sp.A istri saya tanya dan dikasih tau kalau tipus. Memang hari itu anak saya rewel sekali. Ah pusing saya. Eh perawat bilang kalau “bukan dok”. Ternyata dokternya salah data pasien lain. Lhooooooh? Saya jadi bingung, ini obat salah juga nggak. Mana saya agak kecewa karena visit selalu keburu-buru, Cuma sekitar 1-2 menit saja. Siangnya saya cek kaki anak saya yang diinfus kok bengkak. Ternyata jarum infus bengkok pantes sejak hari kedua udah sering mampet infusnya. Kok ya bisa nggak terdeteksi sejak awal.
Akhirnya infus dilepas dan anak saya perlahan mulai ceria, nggak rewel lagi. Siang dicopot, sehat, pagi boleh pulang. Lhoooh? Jangan-jangan yang bikin rewel infusnya, yang bikin panas dia kesakitan. Ah sudahlah saya trauman dengan RS, perawat dan dokter itu.
Saat diijinkan pulang saya lihat nota pembayaran. Agak kaget lihat sekali visit dibayar sekitar 70 ribu. Tambah kecewa saya, mosok harga segitu visit sambil terburu-buru? Di rumah saat berbincang dengan istri, kita ngrasani dr. Rusdi. Sekali periksa ke beliau mungkin ASKES hanya memberi jasa kurang dari 20% spesialis anak visit. Tapi belian mau berbincang dengan pasien, menberikan edukasi, dll dengan waktu lebih dari 15 menit. Kenapa demikian? Entahlah...

Sementara sekian cerita saya. Tidak semua pengelaman saya tentang dokter dapat saya share. Saya sangat ingin dokter menjadi agen kesehatan, tidak hanya sekedar mengobati. Pada dasarnya pasien butuh edukasi mengenai penyekit, tidak hanya dikasih obat trus sakit berobat lagi. Kami mohon ilmu agar kami dapat menjadi pribadi yang lebih hati-hati sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan preventif.
Mohon tanggapan dari rekan-rekan,
Maturnuwun.