Social Icons

Pages

Selasa, 23 April 2013

Developing of Taktual Student Worksheet for Pythagoras Theorem

Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengembangkan produk bahan ajar taktual pada materi teorema Pythagoras dan mengetahui efektivitas bahan ajar tersebut. 
Penelitian merupakan penelitian pengembangan dengan model yang dikembangkan oleh Walter R. Borg. Penelitian dilakukan mulai awal Januari 2012 sampai dengan akhir Juni 2012 di Bengkel Matematika FMIPA UNY, Resource Centre Yogyakarta (SLB N 1 Bantul), dan MTs LB/A Yaketunis. Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. 
Hasil penelitian menunjukan bahwa Hasil penelitian: (1) produk pengembangan merupakan lembar kerja siswa berbasis taktual dan media pendamping berupa puzzle dan penggaris, (2) Siswa tunanetra nyaman dalam menggunakan produk pengembangan, siswa dapat dengan mudah menggunakan produk, dan siswa memiliki antusiame dalam proses pembelajaran.

Kata Kunci
Tunanetra, Bahan Ajar, Media, Pythagoras



Abstract
The porpose of this research are: (1) to develop tactual student worksheet on the Pythagoras teorem and (2) to know efectifity tactual student worksheet to support visually impaired student learning.
The method of this research is research and development by using step from Walter R. Borg. This research have five step: observation, design, develop, aplication of product, and revision. Research data get from validation, result of pretest and posttest, quetioner about product, and in-depth interview. Research started January 2012 and finished in Juny 2012 at mathematic laboratory, Resource Centre Yogyakarta, MTs LB/A Yaketunis and researchers home. Method to data analize is deskriptive with qualitative approach.
The result of this research are (1) development products such as tactual student worksheet, blind puzzle, and tactual ruler. This product made by characteristic from visually impaired (2) The product efective and relevan to support visually impaired learning Pythagoras teorem. This state based from the product easy to used, visually impaired students feel more comfortable in learning process dan if we compare with pretest, posttest result increased.

Keyword
Visually Impaired, Worksheet, Pythagoras



Published in e-Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta Edisi 3 Volume 3 bulan Oktober - November 2012

Minggu, 14 April 2013

Talking About Diffable

Siapakah Yang Menentukan Kecacatan?
“Kalau Allah itu mahasempurna, apakah seorang difabel diciptakan oleh-Nya dalam kesempurnaan? Dan apakah seorang difabel itu tergolong sebagai manusia yang sempurna?”
Demikianlah pertanyaan yang dikemukakan sebagai pembuka sarasehan Ramadhan. Pertanyaan ini sebenarnya merupakan gugatan batin seorang difabel yang sangat mendasar dan membutuhkan refleksi mendalam tentang realitas difabilitas dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan ini muncul tentu saja dalam konteks social di mana difabilitas lebih sering dipandang sebagai kekurangan mendasar atas eksistensi manusia difabel  yang pada gilirannya melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap kaum difabel. Realitasnya, kaum difabel lebih sering mengalami ketidaksetaraan dalam hal akses dan hak dalam kehidupan sehari-hari.
Sarasehan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2011 ini merupakan kerjasama antara  Jesuit Refugee Service dan Institut DIAN/Interfidei dalam rangka memperingati penandatanganan Konvensi Anti Penggunaan bom Curah yang banyak mengakibatkan difabilitas di tengah masyarakat, terutama penduduk sipil dan anak-anak, terutama di daerah bekas perang. Sarasehan ini mengangkat  tema Prospek Perlindungan dan Jaminan Hak Kaum Difabel di Indonesia.
Yang hadir sebagai pembicara dalam sarasehan ini adalah Drs. Setia Adi Purwanto, M.Pd [Direktur Yayasan Dria Manunggal Yogyakarta], Rofah, Ph.D [Kepala Pusat Studi dan Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta], dan Lars Stenger [staf Jesuit Refugee Service Indonesia].  Setia Adi Purwanto membincangkan Difabilitas dalam perspektif Filosofis dan Kebijakan Publik. Rofah, Ph.D mendiskusikan difabilitas dalam perspektif Islam. Sementara Lars Stenger memberikan gambaran dan pemahaman tentang bahaya bom curah bagi warga sipil dan tentang upaya kampanye Larangan Penggunaan Bom Curah oleh kaum difabel korban bom tersebut di berbagai negara, melalui pemutaran film dan paparan singkat.
Difabilitas yang berarti “perbedaan kemampuan” merupakan istilah yang dirumuskan oleh Almarhum Mansur Fakih dan Setia Adi Purwanto, sebagai perlawanan atas istilah disabilitas yang diartikan sebagai “ketidakmampuan” atau “kecacatan”. Perlawanan dalam penggunaan istilah ini merupakan sebuah perlawanan wacana [counter discourse] terhadap wacana dominan yang cenderung merumuskan kesempurnaan manusia dalam ukuran-ukuran fisik yang menimbulkan ketidakadilan. Dibalik penggunaan istilah difabel-difabilitas terdapat sebuah cara pandang bahwa setiap manusia diciptakan secara sempurna oleh Allah, meskipun masing-masing memiliki perbedaan kemampuan dan tugas dalam menjalankan kehidupan. Oleh karena itu, setiap manusia, bagaimanapun kondisi fisiknya, memiliki kesamaan dan kesetaraan hak asasi menyangkut berbagai macam aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, social, dan budaya.
Sebaliknya, istilah disabilitas [ketidakmampuan/kecacatan] mengandung cara pandang bahwa terdapat manusia-manusia yang kurang sempurna, yang tidak sesuai dengan idealitas manusia ciptaan pada umumnya. Dengan demikian, sekelompok manusia yang tergolong tidak sempurna ini boleh disebut sebagai manusia cacat, produk cacat, atau afkir yang hak asasinya tidak setara dengan manusia yang lain, serta boleh dinomorduakan. Akibatnya, dalam kehidupan social, mereka ini boleh ditempatkan dalam prioritas yang berbeda dengan manusia yang lain.
Di Indonesia memang sudah terdapat beberapa produk kebijakan berkaitan dengan kaum difabel, namun kebijakan itu masih dipandang sebagai kebijakan semu yang menempatkan kaum difabel sebagai manusia lemah, nomor dua dan boleh dikatakan merupakan “pelengkap penderita”. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah masih berada dalam cara pandang karitatif dan liberal yang menempatkan kaum difabel sebagai orang yang pantas dibantu dan dilatih dengan berbagai macam keterampilan. Belum ada kebijakan yang dilandasi oleh cara pandang kritis terhadap difabilitas, yang menyadari dan mengakui bahwa konsep dan istilah disabilitas itu merupakan konsep yang diskriminatif dan menggunakan pendekatan “hak” atau “rights” dalam menyikapi kaum difabel.
Pertanyaan menarik yang pantas dikemukakan adalah bagaimanakah peran agama-agama dalam konstruksi soal difabilitas ini? Apakah agama-agama bersikap kritis terhadap konstruksi yang tidak adil tersebut ataukah justru terlibat dan mendukungnya?
Dalam Islam memang tidak ditemukan konsep khusus tentang difabel ini, terutama dalam al-Qur’an maupun hadits. Istilah-istilah yang ditemukan dalam Qur’an ternyata lebih menunjuk kepada makna konotatif atau metaforis daripada makna denotative, yang menunjukkan ketidaksanggupan manusia dalam menerima petunjuk Allah.  Berkaitan dengan difabilitas, ucapan, tindakan dan kehidupan Rasulullah secara sangat jelas menunjukkan sikap hormat dan positip yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak-hak kaum difabel. Namun demikian pantas disadari bahwa sejarah masyarakat Islam dalam bentangan abad, menunjukkan perkembangan dan perubahan yang berbeda dalam cara pandang terhadap kaum difabel, sesuai dengan konteks dan factor-faktor baru yang mempengaruhinya, sehingga tidak dapat ditemukan keseragaman. Oleh karena itu, dasar-dasar normative sebagaimana ditemukan dalam al-Qur’an pantas senantiasa dikaji secara mendalam dan menjadi landasan inspiratif dalam menyikapi realitas difabel. Berdasarkan nilai-nilai normative inilah, Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga Yogyakarta mengembangkan Pusat Studi dan Layanan Difabel bagi para mahasiswanya. Pada intinya, mahasiswa difabel memiliki akses dan hak yang sama dengan mahasiswa lain yang non-difabel.
Akhirnya pantas diakui bahwa kaum difabel adalah orang-orang berdaya yang senantiasa berjuang untuk mendapatkan hak-haknya di tengah masyarakat yang cenderung mendiskriminasikannya. Dibutuhkan kerjasama dan komitmen dari berbagai pihak untuk mewujudkan perlindungan dan jaminan hak-hak kaum difabel itu. Tentu saja, agama-agama dituntut untuk memberikan kontribusinya bagi upaya ini sebab agama-agama itu layak disebut agama hanya apabila ia mendatangkan keadilan, perdamaian, dan penghormatan kepada seluruh ciptaan. Apabila setiap manusia diciptakan sempurna oleh Allah, lalu manakah landasan yang kuat bagi seseorang untuk menyatakan orang lain sebagai cacat atau afkir?
Barangkali baik mengingat kata-kata bijak ini,”Tak seorangpun boleh disebut cacat kecuali mereka yang jahat”. [IS]