Social Icons

Pages

Kamis, 15 November 2012

AYAH, IBU, PERTAHANKAN FITRAHKU


“Korupsi ibarat warisan tanpa surat wasiat yang tetap lestari meskipun telah diharamkan” (Dr. Indah Sri Utari)
Korupsi merupakan masalah yang saat ini sudah mengakar di bangsa kita. Mulai dari pejabat tinggi sampai dengan pejabat terendah terindikasi telah tersentuh virus jahanan ini. Sebetulnya apa yang menjadi sebab dari merebaknya virus perusak mental ini? Motivasi materi adalah alasan utama. Entah memang karena kebutuhan yang mendesak atau hanya karena sifat tamak semata.
Di aparat golongan bawah, virus ini merebak karena gaji yang diterima tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Tekanan kebutuhan membuat seekor gajah pun bisa segesit kancil dalam memanfaatkan peluang. Hingga munculah pemakluman gila pada keadaan yaitu “mencari uang haram aja susah, apalagi uang halal”. Kalimat ini membumi di lapisan masyarakat bawah yang selalu merasa tertekan beban finansial. Koruptor adalah seorang manipulator ulung yang dapat meliuk-liuk dalam segala keadaan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan (Marilyn Pincus, 2012: 104-105). Jika berlarut, bukan tidak mungkin dalam suatu titik predikat halal dan haram akan hilang, semua yang ada di dunia menjadi halal.
Di aparat golongan atas, virus ini merebak tidak kalah luar biasa, bahkan asumsi masyarakat kecil, semua aparat negara dengan kekayaan melimpah pasti koruptor. Padahal belum tentu, karena banyak sekali aparat yang memiliki usaha potensial yang bisa memberikan pemasukan berkali-kali lipat lebih besar dari gaji sebagai aparat negara. Tapi faktor lain diluar profesinya sebagai aparat negara seolah diabaikan begitu saja oleh pendangan masyarakat. Sebabnya adalah citra seorang aparat yang sudah erat dengan korupsi.
Kenapa aparat golonga atas korupsi? Apakah seperti aparat golongan bawah yang dilandari karena tekanan finansial? Jawabanya jelas iya, jika dipandang dari individu koruptor. Gaya hidup yang mewah membuat berapa saja uang yang dimiliki selalu saja kurang. Selalu ingin berfasilitas mewah dan tidak ingin ketinggalan dengan kolega menuntut mereka untuk memiliki kekayaan yang lebih lebih dan lebih. Jika dipandang dari masyarakat menengah kebawah jelas ini merupakan perilaku tamak. Bukan alasan kuat suatu desakan finansial untuk bermewah-mewahan karena dengan berpenampilan lebih sederhanapun mereka tidak akan menurunkan martabat dan kewibawaan.
Jika tidak diredam, merebaknya virus korupsi akan membawa negara ini dalam kondisi yang semakin terpuruk. Bahaya yang paling dahsyat dan saat ini sudah mulai tercium adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Bagaimana jika dalam suatu situasi pemerintah tidak lagi mendapat kepercayaan publik? Dapat dibayangkan negara ini akan semakin ricuh dan tidak terkontrol.
Pertahankan Fitrah Baik Manusia
Bagaimanakah menyelesaikan masalah korupsi? Membentuk individu baru dengan pahatan indah adalah salah satu langkah penting. Bukan berarti mengesampingkan rehabilitasi pelaku koruptor dan bukan pula menganggapnya tidak penting. Namun, mari kita melihat sudut lain yang memiliki potensi untuk mengangani kasus ini. Anak, sebagai elemen penting dalam menentukan nasib bangsa di masa mendatang. Kelak individu “imut” inilah yang akan berdiri gagah di singgasana pemerintahan.
Sepertihalnya kaum dewasa, tidak ada istilah hidayah untuk anak-anak. Pada dasarnya semua manusia itu adalah individu yang baik (Munif Khatib, 2012: 5). Sehingga sewaktu masih anak-anak semua orang baik. Hanya saja perkembangan yang membuat mereka tumbuh menjadi sosok lain. Membuat anak mempertahankan kompetensinya sebagai insan yang baik harus dilakukan hingga karakter baik melekat paten selamanya. Jika diasumsikan bahwa suatu fitrah itu sebagai pondasi, akan sangat kokoh manusia tersebut dalam menahan gempuran pengaruh buruk.
Menempatkan orang tua sebagai garda terdepan dalam mempertahankan fitrah anaknya. Orang tua adalah manajer dari suatu keluarga sebagai wahana pendidikan pertama. Apapun kebijakan orangtua akan memberikan pengaruh pada proses anak dalam membentuk karakter. Sehingga anak merupakan sebuah relief hasil karya pahatan yang dilakukan orang tuanya.
Jangan Buat Anak Kita Pintar, Tapi Buat Mereka Baik
Fitrah seorang anak adalah baik, jangan buat mereka pintar tapi tidak baik. Seringkali orangtua mendidik anak untuk menjadi anak yang pintar. Orientasi ini membuat fitrah anak menjadi pudar. Unsur kebaikan yang dimiliki anak bertransformasi ke arah lain yang akan membuatnya menjadi pribadi pintar. Kasus inilah yang sering terjadi. Dimana banyak sekali orang pintar tapi tidak mendistribusikan kepintaran dalam rute fitrahnya.
Banyak sekali orang tua di Indonesia yang dapat memberikan fasilitas agar anaknya tumbuh menjadi pribadi yang pintar. Sudah menjamur bimbingan belajar yang dapat memfasilitasi anak untuk belajar. Dan memang saat ini bimbingan belajar semakin populer seiring dengan tuntutan standar kelulusan yang terus ditingkatkan. Anak akan digembleng habis-habisan untuk dapat mendapat nilai memuaskan. Nampak sekali arogansi orang tua yang menginginkan kebanggaan dari anak melalui prestasi akademik sehingga anak masuk di sekolah favorit atau universeitas terkemuka.
Pintar = Blacklist
Terteguk masam ketika muncul opini dari saat diskusi, “sebaiknya pegawai instasi negara tidak diisi oleh alumni dari universitas ternama”. Anggapan tersebut berdasar pada kompetensi lulusan universitas ternama sangat tinggi. Dikhawatirkan ketika mereka menjabat maka semakin cerdas pula mereka dalam mencari celah untuk kepetingannya sendiri. “Kalau koruptornya cerdas, siapa yang bisa memberantas?”.
Sangat dilematis, citra buruk tidak hanya melekat pada koruptor lagi, tapi sudah merambah ke pribadi-pribadi cerdas yang sama sekali belum korupsi. Seolah mereka sudah dijadwalkan kelak akan korupsi. Sangat dilematis, jika berkelanjutan maka orang akan takut pintar, atau orang pintar akan takut menjadi pegawai abdi negara, lalu bagaimana nasib bangsa kita? Bukankah seharusnya memang petinggi bangsa ini adalah orang cerdas?
Anak Baik, Pasti Pintar
Penekanan pada pembentukan pribadi yang baik seharusnya menjadi prioritas. Anak baik akan tumbuh menjadi anak yang pintar. Pintar dalam menyelesaikan permasalahan sesuai kemampuan dan melalui rute yang baik. Anak baik akan menyelesaikan permasalahan tuntutan nilai tinggi dengan belajar, akan tetapi anak tidak baik akan menyelesaikan masalah tersebut dengan mencontek. Anak baik akan menyelesaikan masalah keinginannya untuk membelih sesuatu dengan bersabar menabung, sedangkan anak tidak baik saat tidak sabar memutuskan jalan pintas yang tidak terpuji, mencuri.
Dengan pembentukan karakter baik maka akan memperkuat pondasi (fitrah) baik yang memang alami dianugrahkan oleh Tuhan. Pondasi kuat akan menahan hantaman virus buruk yang dibawa oleh lingkungan. Semoga semua orangtua lekas menyadari mempertahankan karakter baik itu jauh lebih penting dibanding motif materi. Dominasi individu baru yang berakhlak baik diharapkan akan memusnahkan korupsi di bumi pertiwi.

EKSPANSI FUNGSI KELUARGA BERENCANA: SOLUSI CETHAR MEMUTUS REGENERASI KORUPTOR YANG MEMBAHANA


Korupsi di Indonesia sudah masuk dalam kategori cethar membahana badai

Cethar membahana badai adalah kalimat diva pop syahrini yang menyatakan sebuah sesuatu luar biasa tiada tandinganya. Kalimat nyentrik ini penulis sadur untuk mengungkapkan betapa parahnya korupsi di negara ini. Bahkan jika dianalogikan dalam stadium penyakit, mungkin sudah masuk kedalam stadium empat. Untuk mengetahui kronisnya kondisi bangsa, mari kita lihat rapor bangsa. Menurut Adnan Topan Husodo dalam Assriana Issa Sofia, dkk. (2011: 41), hasil survei Transparency Internasional memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei.
Prestasi buruk tentang korupsi sudah menjadi rahasia umum. Bukan tanpa upaya, pemberantasan korupsi terus dielu-elukan dari waktu ke waktu. Dari mulai orde lama dengan Operasi Budhi, Orde baru dengan Tim Pemberantasa Korupsi (TPK), hingga saat ini di era reformasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun melihat realita saat ini, timbul public judgement bahwa korupsi merupakan manifestasi budaya bangsa. Banyak usaha yang dilakukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi hasilnya masih tetap belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Memang, predikat stadium empat dalam bidang kesehatan berarti harapan sembuh sedikit, bahkan dalam beberapa kasus kematian sudah dapat dijadwalkan. Namun dengan usaha total dari tim dokter, tidak jarang pula keajaiban bisa terjadi. Oleh karena itu mari kita optimis bahwa masih ada keajaiban yang dapat memulihkan negara ini. Mari dekatkan bangsa ini dengan keajaiban melalui usaha keras dan jeli mengambil langkah solutif.
Menelusur Calon Koruptor
Memperhatikan carut marutnya, bangsa ini dihuni oleh dua kubu masyarakat, koruptor dan calon koruptor. Untuk mengatasi masalah korupsi adalah dengan merehabilitasi koruptor. Akan tetapi cara ini sangat sulit karena naluri korupsi sudah melekat dalam karakter. Contoh nyata adalah terpidana korupsi yang sudah jelas dalam proses hukuman pun masih melakukan perbuatan buruk dengan bersenang-senang diluar tahanan ataupun menikmati fasilitas mewah di dalam tahanan. Jelas hukuman tidak memberikan rehabilitasi pada mereka. Penggodogkan formula untuk membuat jera pun saat ini sedang terus dibincangkan, walaupun mayoritas kalangan dalam keadaan pesimis.
Tanpa bermaksud mengabaikan rehabilitasi koruptor, mari kita celah lain yang strategis untuk memutus generasi kelam. Kubu kedua yaitu calon koruptor. Dalam keadaan sistem seperti saat ini semua individu dengan podasi apapun menyandang gelar calon koruptor. Akan tetapi, sebelum naik pangkat menjadi koruptor, kubu ini dapat dibentengi agar tidak mengikuti generasi atasnya yang terlanjur.
Dahulu kala, mereka yang sekarang adalah koruptor adalah individu lugu yang tidak sadar telah menjadi calon koruptor. Kesempatanlah yang membuat mereka naik pangkat menjadi koruptor. Kenapa mereka dapat naik pangkat dengan mudah? Karena sikap matrealistis itulah jawab singkatnya. Tidak mampu menahan iming-iming harta dan langkah praktis untuk memperoleh kekuasaan membuat mereka lupa diri. Sikap tamak yang tidak terkontrol mengalahkan secuil bekal iman yang diperoleh di saat masa lalu. Oleh karena itu, asupan iman yang tak terhingga harus disuntikan ke calon koruptor sejak dini.
Masalah muncul ketika bagaimana proses penyuntikan? Ya, saat ini mulai dikembangkan pendidikan anti korupsi di sekolah. Namum pertanyaanya, bagaimana pola pendidikan sebelum anak sekolah dan sepulang sekolah bagaimana saat dia dirumah? Orangtau berkewajiban menjadi seorang guru ketika anak berada diluar sekolah.
Orangtua = Guru = Butuh Kompetensi
Apakah orangtua paham bagaimana membuat anaknya tumbuh menjadi individu baik dan mengundurkan dari persaingan calon koruptor? Inilah masalah sesungguhnya, dimana orangtua tidak memahami benar pendidikan anti korupsi. Perilaku, informasi dan ajaran orangtua pada anak tidak disortir. Semua yang menurut orangtua baik dimasukkan dalam logika anak tanpa memperhatikan masukan tersebut memiliki residu negatif yang mengendap di pikiran anak.
Seharusnya orangtua harus mampu menyortir informasi yang akan disampaikan membangun. Cerita yang dapat membuat anak memiliki motivasi berkembang dan semangat. Bahkan akan sangat luar biasa jika orangtua dapat membuat cerita sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. Dapat diberikan doktrin-doktrin kebaikan yang kedepanya dapat menjadi landasan hidup dan acuan dalam melangkah.
Sayangnya sangat sedikit orangtua yang memiliki kompetensi mumpuni untuk mendidik anak. Selama ini pertumbuhan badan menjadi fokus dari orang tau. Untuk pembentukan karakter, perhatian orangtua masih sangat kurang. Sebagai seorang guru, orangtua seharusnya memiliki standart kompetensi yang jelas. Dengan adanya standart kompetensi orang tua maka kualitas pendewasaan anak dapat dipertanggungjawabkan.
Seharusnya ada kompetensi khusus yang disiapkan pranikah berkaitan sengan pola asuh atau dapat juga dibekalkan. Saat ini, untuk pranikah pembekalan masih sangat minim. Seharusnya pemerintah merumuskan dengan jelas kompetensi apa saja yang harus dikuasai calon mempelai. Gambaran untuk dan penyikapan terhadap suatu masalah dengan benar harus dibekalkan.
Pemerintah seolah hanya mendata, lalu melepas pasangan suami istri. Fasilitas pasca menikah pun jarang ditemui, jika ada masyarakat masih belum familiar. Dalam masalah anak, pembekalan oleh dokter hanya mengenai perawatan kesehatan fisik saja, tanpa masuk ke ranah perkembangan mental dan karakter anak. Hal ini membuat orangtua mendidik anak semampunya dan setaunya. Dampaknya jelas, tidak ada standar kualitas pendidikan anak. Salah-salah anak dapat tumbuh menjadi pribadi kurang baik yang kelak akan merugikan banyak pihak.
Ekspansi Fungsi KB: Langkah Membangun Kualitas Anak
Bisakah pemerintah menyelenggarakan program yang memberikan fasilitas berkaitan dengan strategi orangtua dalam mendidik anak? Jawabnya adalah sangat bisa. Fasilitas konsultasi dan penambahan wawasan pola didik anak dapat dimasukan dalam program Keluarga Berencana (KB). Saat ini terdapat program KB hanya berfungsi untuk mengontrol populasi penduduk.  
Hanya berfungsi sebagai kontrol kuantitas jumlah anak nampaknya belum cukup mewakili arti dari nama KB. Ditinjau dari namanya “Keluarga Berencana”, jika diartikan meluas dapat memiliki arti suatu perencanaan yang dibangun dalam keluarga sehingga terbentuk keluarga sehat dan berkualitas. Dengan demikian pemasukan fasilitas konsultasi dan penambahan wawasan pola didik anak tidak bertentangan. Dengan dihuni keluarga sehat dan berkualitas maka akan terbentuk suatu negara yang sehat dan berkualitas pula. Bibit-bibit baru akan terdidik dan memiliki karakter kuat sehingga musnahlah predikat calon koruptor.
Keuntungannya memasukan fasilitas konsultasi dan penambahan wawasan pola didik anak dimasukan dalam program KB adalah kepercayaan masyarakat akan lebih mudah didapat. Interaksi program juga akan lebih cepat merasuk dalam komponen masyarakat.
Saat ini, KB sudah memiliki konotasi yang baik di kalangan masyarakat. Ikut keluarga berencana tidak berarti memiliki masalah, akan tetapi kondisi biasa yang diarahkan menjadi sesuatu luar biasa. Karena kita ketahui masyarakat kita memiliki budaya malu yang tinggi, sering menganggap kekurangan sebagai aib. Misal jika anak nakal, malu untuk berkonsultasi ke ahli anak ataupun psikolog karena dianggap suatu aib. Akan tetapi penyatuan dengan keluarga berencana yang memiliki konotasi baik akan menghilangkan rasa malu masyarakat. Dengan demikian maka diharap semua orangtua akan memiliki kompetensi cukup untuk membangun budaya baik dalam keluarga. Dengan demikian pertumbuhan anak dapat mengarah ke insan berkarakter kuat anti kejahatan (korupsi).

Sabtu, 10 November 2012

EXPERIENCE OF TEACHING WAS AMAZING (part 1): LKIR TEKNIK2010

This was an amazing experience. In 2010 stembayo's student got amazing achievement. Imam and Slamet can be winner in prestigious event, LKIR. Their invention is "the box clear of emision as tool for decrease polution at servis proccess". They got the prize from LIPI and Bumiputera Rp 12.000.000.