Social Icons

Pages

Sabtu, 31 Desember 2011

XL, KATALISATOR POTENSIAL PEBANGKIT EKONOMI RAKYAT (Membuka Ruang Pemberdayaan Industri Kreatif Melalui Program Modem Bundling)

Oleh: Kuntari Dasih

Telekomunikasi dalam Basis Era Transparansi
“sektor telekomunikasi menjadi pembelanja terbesar dari total pengeluaran agregat di kuartal III/2011. Jumlah itu tumbuh 89% dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu”
(Irawati Pratignyo, Managing Director untuk Media Group di Nielsen Indonesia )

Perkembangan peradaban yang ditandai dengan adanya circle evolution telah mengarah pada era globalisasi yang tak terbendung. Dimulai dengan komparasi ekonomi yang tercermin dari adanya competitive adventage, kemudian merambah luas ke dunia teknologi yang ditandai dengan akses e-(elektronik). Tak dapat dipungkiri bahwa arus globalisasi yang bercirikan keluesan tanpa hambatan telah menempatkan telekomunikasi termasuk di dalamnya operator seluler untuk menjadi based core actor. Berbagai diversifikasi produk kemudian muncul untuk mensupply permintaan pasar yang semakin menggelembung.
Adanya kemajuan telekomunikasi telah membawa dunia pada lintas tanpa batas sehingga tercipta akselerasi di berbagai bidang, tak terkecuali di bidang ekonomi. Bagi dunia usaha, khususnya industri seluler, hal ini merupakan stimulus untuk menggenjot profit dari opportunity yang paling tinggi. Begitu pula dengan konsumen, mereka akan berusaha mengkombinasikan budget line demi mencapai utilitas yang maksimum. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan dan dilirik sebagai lahan penetrasi bisnis karena didukung pula dengan komposisi penduduk yang tinggi. Seperti yang dikutip dalam harian kompas bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 mencapai 241 juta jiwa, lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 yaitu 237,6 juta jiwa[1].
Kenyamanan dan kecanggihan akses telekomunikasi sudah menjadi hal instan yang mudah didapatkan. Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus ke segala aspek kehidupan. Sebuah konklusi menarik dapat diambil dari UU Telekomunikasi No.39 tahun 1999 bahwa di samping menciptakan iklim yang kompetitif dalam menggerakkan persaingan usaha, industri telekomunikasi selayaknya bisa menjadi motor penggerak bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di tengah kompetisi global yang memanas. Hal Ini dapat diwujudkan dengan ikut berpartisipasi dalam mengembangkan perekonomian rakyat melalui gerakan ekonomi riil. Lalu, apakah industri seluler sudah benar-benar berpartisipasi dalam konsesi pembangunan ataukah hanya menjadi jangkar kecil di tengah kenyamanan dunia bisnis?

Industri Seluler dalam Korelasinya dengan UU No. 36 Tahun 1999 (Studi tentang Tujuan dan Manfaat dalam Bab II pasal 3)
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa telekomunikasi memegang peranan yang vital dalam sebuah negara. Bahkan bisa dikatakan merupakan tonggak berjalannya kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Menyorot pada fungsi dan manfaat dari pendirian industri seluler yang tertuang dalam UU No. 36 Tahun 1999 Bab II pasal 3 berbunyiTelekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa”. Selain memegang peran dalam memudahkan encoding jarak jauh dalam kaitannya dengan penguatan persatuan dan kesatuan bangsa, telekomunikasi juga mempunyai peran implisit untuk membantu meningkatkan economic growth baik dari tingkat mikro sampai tataran makro.
Bukan hal yang mudah mengingat di satu sisi ada persaingan yang semakin ketat, namun di sisi lain dominasi masyarakat terutama di daerah urban belum siap memberikan tanggapan dan respon balik. Akibatnya, ada ketimpangan yang tinggi dalam arus informasi, dalam praktek dan penerimaan teknologi, yang pada akhirnya berakibat pada retardation of economic. Di sinilah peran industri seluler sangat dibutuhkan yaitu sebagai komunikan yang menjembatani antara pihak yang mengalami shortage (baca:UMKM) dan excess (baca:industri besar yang sudah merasakan dampak kemajuan teknologi) sehingga dapat tercipta suatu titik equilibrium yang dapat dirasakan oleh semua kalangan. Lalu, bagaimana menciptakan keseimbangan agar semua pihak dapat merasakan dampak kemajuan teknologi telekomunikasi?

Umkm sebagai Basis Perekonomian Rakyat
SME atau lebih dikenal dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah dipercaya sebagai unit yang penting untuk mendukung perkembangan ekonomi suatu negara. Terdapat tiga tingkatan pada sektor industri ini, yaitu mikro, kecil, dan menengah. Industri dikatakan mikro apabila modal usahanya kurang dari 50 juta, kecil antara 50 juta hingga 500 juta, sedangkan industri menengah modalnya berkisar antara 500 juta hingga 1 Miliar. Jumlah UMKM di Indonesia tercatat sebanyak 42,4 juta dan memberikan kontribusi 56,7% dari total GDP[2].
Melalui pendirian industri berskala mikro, kecil, dan menengah diharapkan dapat menjawab permasalahan pengangguran. UMKM berusaha untuk menyedot pengangguran dalam jumlah banyak dan mengubahnya sebagai bagian dari  faktor produksi asli (SDM). Tahun 2008 usaha mikro menyerap 83.647.711 pekerja atau sekitar  86,89% tenaga kerja. Angka tersebut juga mengalamai tren positif dengan kenaikan rata-rata sekitar 2,26% selama periode tahun 2006-2008[3].
Dengan berkurangnya pengangguran maka tingkat daya beli masyarakat akan meningkat, sehingga menambah persentase untuk konsumsi. Konsumsi rumah tangga inilah yang diharapkan mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi produk-produk dalam negeri. Muaranya, tentu akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Gambar 2. Grafik Proyeksi Konsumsi Rumah Tangga

Dalam jangka panjang, sustainability UMKM dapat menjadi saingan mutlak sekaligus benteng pertahanan terhadap masuknya produk-produk dari luar negeri. Angka pengganda (multiplier effect) dan perputaran modal industri UMKM hanya sebatas di dalam negeri, sehingga apabila terjadi gejolak krisis ekonomi global sektor ini tidak akan terkena imbasnya secara langsung. Bertahannya UMKM pada krisis ekonomi 1997/1998 semakin membuka mata kita akan ketangguhan sektor ini dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia dari bahaya krisis ekonomi.

Potensi Indonesia sebagai Pelaku Umkm
Jumlah penduduk Indonesia terus mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2010 jumlah penduduk berkisar 237 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2011 sudah mencapai 241 juta jiwa, naik sekiar 4 juta jiwa dalam satu tahun. Sayangnya, kondisi ini kontras dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dan kualitas hidup masyarakat. Badan Pusat Statistik memaparkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang atau 12,49 persen[4].
Apabila disandingkan dengan potensi sumber daya alam yang terbentang dari sabang sampai merauke, masyarakat Indonesia seakan ada dalam marginalitas yang diciptakan sendiri. Padahal jika dilihat secara gamblang, ada banyak potensi dari sektor pertanian, kebudayaan, bahkan kerajinan yang sudah menembus pangsa ekspor.
Indonesia menyimpan banyak produk unggulan yang dapat dijadikan alternatif bagi brand dan pencitraan UMKM. Seperti kain tenun khas Bali yaitu Grinsing yang merupakan salah satu produk unggulan yang ditampilkan di UKM Gallery, gedung Smesco Indonesia. Kain tenun Gringsing ini dihasilkan melalui metode ikat ganda, dan pada saat ini hanya bisa ditemukan di Gujarat dan India. Pulau Jawa pun menyimpan perrmadani berupa kain batik tulis  yang telah mendunia.
Tidak hanya itu, Kalimantan juga memiliki potensi khas yaitu Batik Sasirangan yang menjadi kain adat khas suku Banjar. Kerajinan ini dibuat dengan cara tradisional yaitu menggunakan teknik tusuk jelujur kemudian diikat dengan tali rafia, sehingga mempunyai nilai jual yang tinggi. Potensi kerajinan songket, assesoris, patung, anyaman, furniture serta produk anyaman juga tidak dapat dipandang sebelah mata karena hasil produk ini juga telah menyumbang kenaikan Gross Domestic Product yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Konklusi singkat yang dapat diambil bahwa Indonesia mempunyai potensi luar biasa dalam pengembangan UMKM sebagai basis perekonomian, selain karena kontribusinya terhadap peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) yang mencapai 56 persen dari seluruh total konsumsi rumah tangga, juga karena fungsinya yang dapat menyeluruh ke segala lapisan.

Komparasi Tren Produk Industri Seluler dalam Sektor UMKM (Tren Tiga Market Leader Industri Seluler)
-Telkom
PT. Telekomunikasi Indonesia mulai menyisir UMKM dengan melakukan ekspansi melalui program Private Cluster. Tujuannya agar Telkom dan UKM bissa sama-sama membangun industri telekomunikasi yang menguntungkan semua pihak sambil memberdayakan ekonomi rakyat.
Private Cluster merupakan program pemberdayaan area yang belum tersentuh oleh operator lain di kawasan rural ataudesa. Konkretnya, PT. Telkom mengajak kerja sama dealer pulsa skala UKM untuk pengembangan layanan. Melalui program ini, UKM yang bergerak di bisnis penjualan kartu perdana dan pulsa diberi keleluasaan mengembangkan layanan Flexi dengan dukungan dari Divisi Telkom Flexi.
-Indosat
Dalam menyikapi adanya persaingan yang semakin ketat, tak tanggung-tanggung operator seluler yang masuk dalam 3 peringkat atas inipun gencar melakukan pendekatan ke ranah UMKM. Salah satu produk yang sedang diluncurkan adalah layanan Blackberry Enterprise Service on Demand (BES on Demand).
Adanya sistem ini dapat memudahkan pelanggan untuk ter-sinkronisasi atau terhubung dengan mail inbox yang ada di komputer. Pelanggan juga bisa mengakses Global Address yang berisi alamat e-mail kantor serupa seperti yang terdapat pada inbox komputer. Sayangnya, layanan ini hanya bisa dinikmati oleh perusahaan berskala besar dengan server yang harus memenuhi spesifikasi tertentu.
-XL
Sebagai salah satu industri besar yang bergerak dalam bidang seluler, XL terus melakukan pengembangan dan terobosan baru untuk mempertinggi kualitas layanan dalam menjawab permintaan konsumen. Salah satunya yang sedang booming adalah program modem bundling yang sudah dimulai pada tanggal 10 Desember 2011. Program ini terlaksana dengan menggandeng ZTE Cooperation.
Bundling XL-ZTE ini adalah upaya XL untuk memanjakan pelanggan dalam mengakses Internet XL, yang lebih cepat, lebih jernih dan lebih jelas dengan jaringan XL Hot Rod 3G+. Dengan paket bundling pelanggan dapat menikmati layanan internet unlimited dengan kecepatan hingga 3,6 Mbps. Adanya program ini juga menjadi wujud komitmen XL dalam optimalisasi peningkatan layanan akes internet yang berkualitas.
Adanya inovasi-inovasi ini sayangnya kurang diimbangi dengan keterlibatan XL di sektor UMKM. Padahal sektor ini membutuhkan banyak suntikan dari operator seluler terkait telekomunikasi dan pemasaran. Oleh karena itu, untuk melengkapi resolusi yang telah ada, selayaknya XL juga ikut andil peran dalam pengentasan industri kreatif ke taraf yang lebih tinggi, dengan mengubah citra konvensional-tradisional menjadi enthusiastic-global.

XL sebagai Penggugah Kebangkitan Ekonomi Rakyat Melalui Pemberdayaan UMKM (Optimalisasi Program Gratis Modem Bundling untuk Menggerakkan Sektor Riil)
Sejak Januari hingga Maret tahun 2011 volume ekspor Indonesia sudah menurun 35%, jika hal ini berlanjut maka dunia usaha diperkirakan akan mengalami bleeding. Dibutuhkan upaya untuk menggerakkan kembali lokomotif perekonomian melalui gerbong industri kreatif karena entitas skala usaha ini mempunyai ketahanan sebagai jaring pengaman rakyat dalam menghadapi krisis dan turbulensi ekonomi. Dilihat dari segi jumlah unit usaha untuk tahun 2007 dan 2008, UMKM menguasai pangsa sebesar 99,99% dari keseluruhan pelaku usaha di Indonesia[5]. Menurut Indiarti, UMKM dapat diklasifikasikan dalam kriteria entrepreneurship[6] yang terdiri dari:
Livelihood activities. Yang termasuk dalam kategori ini adalah UMKM yang pada umumnya melakukan kegiatan produksi dan operasional untuk mencari nafkah. Para pelaku kelompok ini tidak memiliki jiwa kewirausahaan dan berada dalam sektor informal. Inilah yang mendominasi dari keseluruhan persentase UMKM yang ada di Indonesia.
Micro Enterprice. Kelompok ini biasanya lebih bersifat pengrajin, dalam artian tidak mempunyai skill dan mental untuk menciptakan inovasi dan pembaharuan sehingga mereka hanya tahu tentang cara bertahan, bukan menentang risiko untuk menciptakan peluang.
Small Dynamic Enterprises. Pelaku usaha dalam kategori ini sudah cukup mempunyai jiwa kewirausahaan sehingga memiliki peluang yang cukup potensial untuk dikembangkan. Sayangnya, jumlahnya hanya seperlima dari keseluruhan yang ada. Sisi positifnya, golongan ini sudah mampu melakuakan ekspor dan menerima pekerjaan subkontrak yaitu jalinan kemitraan dengan usaha besar.
Fast Moving Enterprises. UMKM dalam golongan ini sudah memiliki jiwa kewirausahaan yang mantap, mengarah pada pembaharuan dan selalu beradaptasi dengan keadaan yang berfluktuasi. Dari sinilah lahir pengusaha-pengusaha golongan menengah dan besar sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi core image UMKM.
Berkaca dari perkembangan yang ada, UMKM seakan mendapat tempat kedua dibandingkan dengan industri manufaktur dan industri besar lainnya mulai dari bantuan permodalan, marketing, sampai dengan subsidi produksi. Bahkan pola pengembangan yang selama ini dilakukan hanya mengacu pada sistem production linkage yaitu suatu mekanisme di mana UMKM hanya berlaku sebagai pemasok bahan baku dan penolong bagi industri besar. Bukan posisi yang menguntungkan karena akan memudarkan iklim kemandirian yang seharusnya menjadi ciri dari UMKM itu sendiri.
Permasalahan selanjutnya terkait aset faktor produksi asli yang masih ada dalam golongan rendah, dengan penguasaan teknologi yang masih minim. Hal ini menimbulkan dampak siklus di mana akan berujung pada sedikitnya akses untuk melakukan pemasaran dan ekspansi produk. Inilah yang perlu dijadikan target oleh industri seluler dalam rangka membantu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan,-bantuan pemasaran-.
Tak bisa dipungkiri bahwa terbatasnya akses teknologi dan keterlambatan dalam mengikuti arus telekomunikasi menjadi salah satu penyebab sulitnya pemasaran melalui media online. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa media pemasaran yang digunakan oleh sebagaian besar pelaku usaha UMKM hanyalah mouth to mouth, kartu nama, dan pamflet sederhana. Masih jarang pula yang menggunakan billboard, mobile billboard, backdrop, katalog, surat kabar, banner dan buklet. Program free economic reinventing yang merupakan inovasi pemasaran online bagi umkm pun masih terbatas aksesnya, di samping karena belum adanya minat yang tinggi dari pelaku UMKM, fasilitas ini hanya mengarah pada sektor yang berskala besar.
Menurut Kotler yang mencetuskan teori marketing mix yang terdiri dari product, price, place, and promotion menempatkan iklan sebagai bagian penting dalam pemasaran, termasuk di dalamnya media yang digunakan karena akan berdampak pada jumlah produk yang terjual. Peran industri seluler sebagai basis telekomunikasi yang menjadi penjembatan antara teknologi dengan kebutuhan masyarakat akan sangat diperlukan karena salah satu hal yang menjadi penghalang adanya program go online adalah kurangnya akses internet apalagi untuk UMKM yang berada di wilayah pedesaan.
Adanya kemajuan teknologi-globalisasi telah menyeret area persaingan pada lintas negara, bukan lagi sebatas regional. Didukung dengan ketatnya kompetitor dan banyaknya jumlah pelaku yang bermunculan, mengharuskan sektor UMKM untuk mencari strategi baru dalam memenangkan pasar. Keberadaan internet pada akhirnya menjadi salah satu solusi bagi para pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya karena luasnya jangkauan pemasaran dan mudahnya sistem yang digunakan.
Krusialitas pemasaran online juga dapat dirasakan ketika terjadi krisis ekonomi yang diakibatkan adanya subprime mortgage di Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Pada awalnya UMKM turut merasakan tamparan lewat menurunnya tingkat produktifitas, namun berkat adanya pemasaran online, sektor ini mulai bergairah kembali yang ditandai dengan meningkatnya ekspor.
Berkaca dari kasus yang terjadi di Amerika, sangat bijaksana jika UMKM dibekali dengan fasilitas telekomunikasi yang mumpuni. XL sebagai salah satu bagian dari industri seluler berusaha menyediakan layanan telekomunikasi yang nyaman dan mudah bagi pelanggan. Hal itu didukung dengan adanya 19.349 Base Transceiver Station (BTS) sampai akhir 2009 diseluruh Indonesia, tersebar melalui Sumatra termasuk Aceh, jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dengan cakupan populasi 90%[7]. Jaringan yang ditawarkan XL pun menggunakan kombinasi antara fiber optic dan transmisi microwave sehingga dapat dinikmati akses dengan kemampuan tinggi untuk transmisi data dalam jumlah besar.
Tidak berhenti di situ, XL mulai melakukan resolusi dengan melakukan penambahan BTS 3G dan meningkatkan layanan seluler mulai dari Bandara Ngurah Rai sampai Nusa Dua, juga di Denpasar. GM Sales East II XL, Djie Yannes mengatakan bahwa  perbaikan kapasitas jaringan terutama jaringan 3G telah dilakukan  untuk mempersiapkan layanan internet yang baik. Bahkan beberapa di antaranya sudah menggunakan second carrier, yaitu dua 3G per BTS. Adanya program ini tentu akan semakin menambah kepercayaan pelanggan terhadap XL karena jaminan kecepatan yang semakin komprehensif dan terjangkau.
Resolusinya bahwa XL, melalui program modem bundling dapat menjadi penggagas adanya program pemasaran online. Modem di sini akan membantu masyarakat dalam melakukan koneksi internet 24 jam. Selain membantu dalam hal pemasaran, adanya program ini juga dapat meminimalisir cost sehingga anggaran dapat dialokasikan untuk kegiatan operasional lain yang produktif. Gambaran singkat dapat dijelaskan lewat bagan berikut ini:

Gambar : Alur Proses Bantuan Modem Bundling ke UMKM

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengklasifikasikan UMKM menjadi 2 golongan yaitu potensial dan belum potensial. UMKM yang masuk dalam golongan potensial adalah Small Dynamic Enterprises dan Fast Moving Enterprises, sedangkan yang masuk dalam kategori belum potensial Livelihood activities dan Micro Enterprice. Tujuan diadakannya pengelompokan ini karena berkaitan dengan langkah yang akan diambil selanjutnya. Untuk UMKM yang memang sudah memiliki kesiapan untuk go online, modem langsung dapat diberikan. Pemberian modem di sini adalah sebagai stimulus, setelahnya ada monitoring dan juga kerjasama dari pihak XL untuk berkomitmen membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui UMKM dengan memberikan layanan-layanan baru yang mendukung.
Untuk golongan kedua yaitu UMKM yang belum potensial, tidak serta merta diberikan bantuan modem bundling begitu saja. Sebelumnya harus ada pendampingan dan pengenalan teknologi online untuk membantu mempersiapkan kondisi sosial masyarakat. Baru setelah dirasa siap, pihak XL bisa memberikan bantuan berupa modem. Pendampingan dan juga praktek-praktek riil akan sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kacakapan.
Program ini juga tidak terlepas dari desperindag dan juga koperasi. Kedua lembaga ini mempunyai peran dan proporsi untuk membantu dalam keberlanjutan. Desperindag nantinya akan berfungsi untuk memberikan pelatihan mengenai kegiatan ekspor impor setelah UMKM go online, kemudian koperasi akan penting fungsinya dalam melakukan integrasi lokal. Semuanya akan mengerucut menuju satu goal yang diinginkan bersama yaitu online marketing sebagai tanggapan dari adanya era teknologi dan liberalisasi. Dengan adanya program ini, diharapkan seluruh lapisan masyarakat dapat menikmati adanya kemajuan teknologi dan ikut andil dalam peningkatan kesejahteraan lewat industri kreatif.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Gratis Modem Bundling dari XL. Diunduh dari http://Gratis.Modem.Bundling.Paket.Internet.dari.XL.htm pada tanggal 21 Desember 2011
Anonim. 2011. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun 2011. Diunduh dari http://ads3.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a3aa91ab&cb
Anonim. 2011. Undang-undang RI No. 36 th. 1999 tentang Telekomunikasi. Diunduh dari http://www.apjii.or.id/uu36/index.html pada tanggal 20 Desember 2011
Imamah, Nuruh. 2011. Peran Bussiness Development dalam Pengembangan Usaha Kecil Menengah. Diunduh dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/10208169176_1411-1438.pdf pada tanggal 28 Desember 2011
Indiarti, N. 2007. Entrepreneurship dan Usaha Kecil Menengah di Indonesia. Yogyakarta: Ardana Media
Karyana, Y. 2005. Teori Ringkas Ekonomi. Yogyakarta: Intersolusi Pressindo
Sugiarto, dkk.  2002. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
TIM LOPI. 2007. Langkah Sukses Menuju Olimpiade Ekonomi. Jakarta : LOPI

MENGUAK POROS POTENSIAL PENGEMBANGAN INTELEKTUAL TUNANETRA (Optimalisasi Industri Selular sebagai Pendamai Tunanetra dengan Kegelapan)

Oleh : Janu Arlinwibowo

“Jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 3,5 Juta orang atau 1,5% dari populasi penduduk” Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2008

Kutipan data di atas menjadi refleksi dari keadaan tunanetra di Indonesia. Proporsinya yang besar dari keseluruhan total penduduk menjadikan masalah ini ada dalam perhatian khusus. Alhasil masih banyak tunanetra yang gagal mengoptimalkan potensi diri sehingga dalam kehidupannya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain. Dengan sedemikian banyak jumlah tunanetra, komponen pendidikan menyadari bahwa tunanetra pun harus diupayakan pengembangan intelektualnya agar dapat menjadi insan yang produktif.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka membangun pondasi konsep education for all melalui landasan hukum pun sangat kuat. Hal tersebut nampak dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dinyatakan bahwa “setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan”. Landasan hukum tersebut dipertegas dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003 bagian ke-11 pasal 32 yang menyebutkan bahwa, pemerintah menyediakan layanan pendidikan Khusus. Secara rinci undang-undang tersebut berbunyi, “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.

Sumber Informasi dan Komunikasi Tunanetra
Indera pengelihatan merupakan indera penangkap informasi dengan
proporsi yang paling tinggi dibandingkan dengan keempat indera lainnya, yaitu 83%
(Juang Sunanto, 2005:47).
Proporsi indera pengelihatan yang sangat tinggi dalam menangkap informasi itulah yang disinyalir menimbulkan hambatan besar dalam pengembangan intelektual tunanetra. Optimalisasi indera normal lain menjadi satu-satunya cara dalam mengembangkan potensi seorang tunanetra. Walaupun pada umumnya tunanetra memiliki kepekaan di atas rata-rata, namun budaya intelektual telah mendesain mayoritas sumber informasi menjadi berbasis pada simbol visual sehingga tunanetra tidak dapat mengakses informasi dengan leluasa.
Mengacu pada masalah tersebut, tercipta sistem tulisan untuk tunanetra, sistem huruf Braille. Sistem tulisan ini muncul sebagai tulisan yang berbasis pada indera peraba, bukan seperti sistem tulisan lain yang berbasis pada indera pengelihatan. Dengan adanya sistem ini, diharapkan ruang informasi untuk tunanetra semakin luas. Keberadaan sistem huruf Braille diharapkan dapat membantu tunanetra dalam mendokumentasikan informasi dan berkomunikasi dengan tunanetra lain tanpa harus melakukan kontak langsung.
Dalam realitanya, pemanfaatan huruf Braille masih sangat minim. Dalam artian bahwa bahan ajar yang dikemas baru terbatas pada buku-buku pokok. Bahkan jika ditinjau dari segi kelengkapan masih terdapat kesenjangan dengan fasilitas buku-buku untuk orang awas. Salah satu penyebabnya adalah adanya cost yang tinggi dalam produksi huruf Braille dengan tingat keawetan yang rendah pula.
Untuk menjawab masalah tersebut, tercipta sebuah sarana komunikasi dan informasi berbasis verbal yaitu tape recorder. Pemanfaatan tape recorder oleh tunanetra adalah untuk mempermudah pembelajaran dan proses interaksi dengan merekam dan memutar ulang rekaman informasi. Dalam perkembangannya, banyak dibuat cerita-cerita dan buku pelajaran yang dikemas secara verbal. Walaupun masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan keleluasaan orang awas, adanya sistem informasi berbasis voice dan Braille menjadikan tunanetra lebih leluasa dalam mengakses informasi.
Dari penyempurnaan-penyempurnaan yang terus dilakukan, terdapat suatu permasalahan yang belum terpecahkan, yaitu tunanetra tidak dapat memperoleh berita up to date seperti layaknya orang awas karena tidak ada media massa yang menerbitkan berita dengan huruf braille dan voice.




Teknologi Komunikasi Sebagai Sarana Infomasi yang Semakin Nyaman untuk Tunanetra
Dalam satu dekade terakhir, perkembangan teknologi informasi melebihi akselerasi yang dibayangkan. Internet, satu kata yang mampu membuat dunia serasa ada di depan mata. Saat ini internet dapat dikatakan sebagai salah satu sumber informasi utama, ungkapan tersebut diperkuat dengan adanya data  yang berasal dari www.internetworldstats.com pengguna internet di Indonesia mencapai 30 juta jiwa, atau 12,3 % dari populasi di Indonesia di tahun 2010. Seiring dengan populernya internet, arus  informasi tidak lagi dominan melalui media cetak. Bahkan popularitas antara media online dan media cetak bisa dikatakan seimbang.
Keunggulan yang dimiliki media online adalah kecepatannya dalam menayangkan info-info terkini dan aksesnya sangat mudah. Jika dipandang dari segi finansial, media online lebih bisa dijangkau dibandingkan media lain. Menanggapi hal tersebut, mayoritas industri media cetak juga mengonlinekan berita-berita yang ada. Tujuannya adalah sebagai media promosi untuk menjaga potensi pasar agar tetap stabil. Alhasil dalam perkembangannya hampir semua informasi dapat diakses memalui internet.
Meninjau potensi perkembangan dunia internet, ditemukan banyak pengembangan software yang compatible untuk digunakan tunanetra. Software pembaca layar tersebut dikenal dengan nama software screen reader. Prinsip kerja software ini adalah membaca tulisan dan obyek  yang ada dilayar monitor lalu  ditransfer ke bentuk suara menjadi semacam 'mata telinga'. Dengan demikian, tunanetra bisa mendengar semua yang ada dilayar, baik berupa tulisan, icon maupun simbol-simbol lainnya.
Dengan berbekal komputer atau ponsel yang telah dilengkapi screen reader maka setiap tunanetra dapat mengakses informasi yang ada di internet layaknya orang awas. Lebih dari itu, mereka juga dapat menulis dan berkreasi dalam web ataupun blog.
Fenomena saat ini, sudah banyak tunanetra yang memiliki akun jejaring sosial seperti facebook, tweeter dan sebagainya. Manfaatnya jelas luar biasa, tunanetra dapat merapatkan jarak dengan tunanetra yang lain sehingga dapat saling bertukar informasi.




Teknologi Komunikasi dan Kondisi Finansial

Jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 32,53 Juta atau 14,15%
dari jumlah penduduk Indonesia
(Badan Pusat Statistik, Maret 2009)
Data jumlah penduduk miskin di Indonesia menunjukan bahwa daya beli masyarakat masih tergolong rendah. Dalam kondisi kesejahteraan seperti ini, sandang, pangan, dan papan menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, tidak jarang muncul celotohan “untuk makan saja susah, kok mau beli buku”.
Kondisi ini pun dapat menjadi cerminan kemampuan finansial tunanetra karena populasi tunanetra heterogen jika dipandang dari kemampuan finansialnya. Sayangnya, proporsi tunanetra dengan ekonomi lemah cukup tinggi, kurang lebih setara dengan kondisi data general yang dirilis oleh BPS di atas. Dapat disimpulkan pula bahwa masih banyak tunanetra yang tidak memiliki kemampuan untuk melengkapi fasilitas informasinya.
Untuk membeli suatu PC atau laptop beserta modem seseorang harus mengeluarkan biaya minimal dua juta lima ratus ribu rupiah. Jumlah tersebut tentu bukan merupakan rupiah yang bersahabat dengan kondisi masyarakat, khususnya tunanetra. Solusi lain yang lebih bersahabat adalah ponsel, beberapa ponsel keluaran lama yang sudah dilengkapi dengan OS Symbian 60 sudah support dengan software screen reader. Dipandang dari segi harga pun relatif lebih terjangkau, yaitu dengan uang lima ratus ribu sudah mendapatkan ponsel tersebut.
Namun, sekecil apapun rupiah, jika kondisi finansial keluarga dalam kategori lemah maka akan sangat sulit untuk membeli ponsel, apalagi PC atau laptop. Ditambah dengan pambiayaan pulsa yang relatif mahal untuk kondisi ekonomi yang lemah. Dilema ini membuat fasilitas teknologi yang sangat compatible tidak berfungsi secara optimal karena tidak mampu menjangkau seluruh lapisan sasaran.

Tunanetra Unproductive, Bencana Bangsa
Nasib bangsa berbanding lurus dengan kualitas masyarakatnya. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah formula tunggal untuk menciptakan bangsa yang berkualitas. Formula tersebut sudah merupakan rahasia umum. Akan tetapi, bukti yang ada menunjukan bahwa kondisi masyarakat Indonesia masih jauh dari cakupan rumus bangsa maju. Secara individual, Indonesia memang telah berhasil mendulang prestasi, akan tetapi jika dipandang secara keseluruhan, kondisi masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dari bangsa-bangsa maju.
Berbicara mengenai kualitas masyarakat, dapat kita cermati dari preferensi konsumen. Iklim yang berkembang saat ini menjadikan masyarakat Indonesia semakin konsumtif dengan menggantungkan kebutuhan pada produk-produk luar negeri. Alasannya adalah citra produk luar negeri memiliki kualitas yang lebih unggul. Namun di balik itu, masalah yang lebih mendasar adalah tingkat produktifitas yang masih rendah. Dampaknya adalah adanya kecenderungan impor dalam skala pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena tidak ada produksi yang menunjang.
Mengerucut pada masalah tunanetra sebagai orang dengan kebutuhan khusus. Pertanyaan mendasar, apakah mereka harus menjadi insan produktif? Ataukah cukup menjadi insan konsumtif saja? Jawabannya jelas, tunanetra pun harus berkembang menjadi insan yang produktif. Alasannya adalah jumlah tunanetra di Indonesia sangat banyak, yaitu 1,5% dari keseluruhan jumlah penduduk. Merujuk pada persentase jumlah, jika tunanetra hanya tumbuh menjadi insan konsumtif maka akan membahayakan dirinya sendiri dan perkembangan bangsa.
Dapat dibayangkan jika tunanetra menjadi sosok yang terlena dengan keterbatasannya, mereka akan tumbuh menjadi sosok yang tidak mandiri. Padahal kemandirian merupakan salah satu komponen vital dalam kehidupan manusia. Jika kondisi seperti itu dibiarkan berkembang maka akan banyak sekali tenaga potensial yang terbuang.
Tumbuh menjadi manusia terdidik yang produktif adalah syarat mutlak bagi tunanetra. Fungsinya adalah agar tunanetra dapat mengembangkan segala potensinya. Potensi minimal adalah pemikiran-pemikiran untuk mengembangakan dunia pendidikan tunanetra di mana mereka mampu mengidentifikasi secara detail dengan memberikan gagasan-gagasan yang relevan. Konklusinya bahwa di balik keterbatasan, tunanetra memiliki potensi-potensi yang dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan bangsa. Oleh karena itu, jika tunanetra dibiarkan berkembang menjadi insan unproductive maka negara ini akan sangat merugi.

Tunanetra dan Pertumbuhan Ekonomi
Teori human capital mendefinisikan manusia sebagai salah satu bentuk barang modal yang memegang fungsi strategis dalam memajukan sebuah bangsa. Tak hanya berlaku untuk orang awas, hal itu sekaligus menjadi tantangan bagi tunanetra sebagian bagian integral dari seluruh tatanan kehidupan masyarakat.
Pada tahun 2008, Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 3,5 Juta orang atau 1,5% dari populasi penduduk.
Jumlah tunanetra yang besar ini menjadi hal yang dilematis, di satu sisi hal tersebut dapat menjadi potensi untuk menjadi motivator dan inspirator dalam berbagai segi kehidupan. Namun, di sisi lain kerentanan yang dimiliki berpotensi besar memposisikan tunanetra pada akses yang terbatas, termasuk di dalamnya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perhitungan kasar dari Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) memaparkan bahwa penyandang cacat yang sudah bekerja di sektor informal hanya 0,001 persen saja atau jumlahnya hanya sekitar 300 orang dari keseluruhan total jumlah penduduk. Adanya fakta ini semakin menjadi penguat bahwa sebagian besar warga negara penyandang tunanetra masih berada dalam tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, dengan akses yang terbatas ke bidang pendidikan dan juga pekerjaan baik sektor formal maupun non formal.
Sangat miris sekali, apalagi jika disandingkan dengan kondisi pengangguran yang ada di Indonesia secara umum. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menyampaikan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2011 mencapai 6,8% dari total angkatan kerja atau sekitar 8,12 juta orang. Kondisi ini tentu akan mempunyai dampak bagi keberlangsungan bangsa Indonesia ke depan dan daya saingnya di kancah internasional.
Berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi, tunanetra pun punya andil yang sama dengan orang awas pada umumnya. Mereka merupakan bagian dari faktor produksi asli yang akan menentukan tingkat kenaikan output dan konsumsi agregat yang muaranya akan berdampak pada kenaikan Gross Domestic Product yang merupakan salah satu indikasi adanya pertumbuhan ekonomi. Apabila dicermati lebih jauh, sebagain besar tunanetra ada dalam angkatan kerja aktif  yaitu antara usia 16 sampai dengan 64 tahun, yang mengandung implikasi bahwa tingkat produktivitas masih tinggi untuk ikut andil dalam menyokong kegiatan produksi. Delineasi mengenai komposisi tunanetra dalam angkatan kerja dapat diamati pada tabel berikut:



Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Tunanetra Antara Usia 16 Sampai 64 Tahun 2010


Sumber : Departemen Sosial (dengan pengolahan)

Dari data di atas dapat diamati bahwa angka partisipasi kerja tunanetra hampir mengalami kenaikan tiap triwulan. Tingkat partisipasi kerja merupakan rasio antara angkatan kerja dengan jumlah penduduk usia kerja termasuk di alamnya tunanetra untuk masuk dalam bursa kerja. Pada kenyataannya, hal itu berbanding lurus dengan tingkat pengangguran yang ada, jumlah pengangguran tunanetra meningkat seiring dengan bertambahnya kuantitas usia kerja. Bukan posisi yang membanggakan karena idealnya kenaikan angka partisipasi kerja harus diimbangi dengan penurunan tingkat pengangguran tunanetra.
Seperti yang diketahui bersama bahwa siklus produktivitas akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Menyorot pada tunanetra, apabila di usia produktif mereka masih belum mature dalam kemandirian, sama halnya akan menyumbang dalam deretan pengangguran. Jika hal ini tidak ditangani melalui sinkronisasi stimulus-stimulus pendukung berupa peningkatan skill, maka akan berdampak langsung pada terbentuknya vicious circle of unemployment yang muaranya akan menambah beban biaya sosial pemerintah dan menimbulkan keterlambatan ekonomi.
Berpartisipasi dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia tunanetra, berarti telah berperan membentuk tunanetra menjadi asset masyarakat, dan bukan sebaliknya menjadi beban masyarakat. Potensi besar tunanetra yang selama ini dimarginalkan harus diangkat ke permukaan melalui pelibatan aktif dalam berbagai kegiatan. Agar kelak terwujud satuan tunanetra yang bisa berdiri mandiri dalam keterbatasan dan berperan dalam pembangunan.

“Perusahaan Selular”  Poros Pengembang Intelektual
Keberhasilan adalah hak setiap manusia,
Tidak terkecuali tunanetra, mereka punya hak yang sama

Melihat krusialitas pengembangan potensi tunanetra, seluruh lapisan masyarakat bertanggung jawab atas segala usaha. Orang dengan idera sehat yang lengkap memiliki tekanan tinggi untuk memberikan fasilitas-fasilitas pada tunanetra. Keterbatasan pengelihatan membuat tunanetra tidak leluasa dalam berinovasi dan memproduksi alat bantu yang memudahkannya dalam memecahkan masalah sehari-hari. Ketidakberhasilan orang awas adalah mutlak kesalahannya, akan tetapi ketidakberhasilan tunanetra dalam mengembangkan potensi karena keterbatasan media pendukung adalah tanggung jawab kita sebagai orang awas.
Pengembangan teknologi hingga mencapai tingkat yang paling nyaman digunakan oleh tunanetra bukan merupakan masalah. Merujuk pada akselerasi perkembangan teknologi saat ini, segala sesuatu yang dibutuhkan berkaitan dengan pengembangan perangkat bisa diusahakan. Inti masalah justru ada pada kondisi finansial, penentu apakah tunanetra dapat memanfaatkan segala buah dari perkembangan teknologi.
Berkonsetrasi terhadap potensi internet sebagai poros pengembangan wawasan tunanetra, dapat diambil kesimpulan bahwa industri selular memiliki peran fundamen. Seyogyanya perusahaan selular membuat program-program terobosan yang dapat mendukung kegiatan belajar tunanetra.

Ponsel, Media Pendidikan Tunanetra
Untuk siswa awas, peran ponsel mungkin masih jauh dari nilai edukasi akan tetapi untuk tunanetra peran ponsel dapat dimaksimalkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, ponsel dapat berperan sebagai media pendidikan tunanetra. Ponsel dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran formal di kelas sehingga informasi-informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber yang mendukung.
Nampak ironis memang, ketika di lingkup sekolah biasa ponsel dilarang digunakan, dipandang sebagai media pengganggu proses belajar, akan tetapi ponsel inilah media paling ringkas dan terjangkau untuk dimanfaatkan oleh tunanetra. Untuk siswa awas, seringkali siswa mencuri-curi untuk bermain ponsel pada jam belajar. Hal tersebut dapat dilakukan karena terdapat menu silent sehingga guru tidak akan mengetahui aktifitas tersebut. Untuk tunanetra kasus seperti yang terjadi pada siswa awas 0% untuk dapat terjadi karena siswa tunanetra tidak dapat membaca tanpa suara.

Strategi Perusahaan Selular Sebagai Sahabat Tunanetra
Strategi untuk memaksimalkan proses pendidikan tunanetra adalah dengan terobosan-terobosan bermakna dari industri selular. Terobosan harus dilakukan dengan memperhatikan dua asas yaitu, ketepatan dan kebermanfaatan. Ketepatan yang berarti bahwa program yang didedikasikan untuk tunanetra benar-benar terdistribusi untuk keperluan tunanetra. Kebermanfaatan berarti bahwa program terobosan harus memberikan manfaat, bukan condong kepada perilaku konsumtif diluar kepentingan edukasi.


Agar tujuan tercapai dengan tepat maka diadakan proses perekrutan yang detail dan selektif. Adapun alur proses bantuan adalah sebagai berikut,


Gambar 1. Bagan Alur Bantuan Telekomunikasi Untuk Tunanetra

Proses perekrutan dimulai dengan pendaftaran. Pada tahap pendaftaran tidak berasas pada “siapa yang butuh bantuan” melainkan pihak pemberi bantuan aktif menjemput bola. Untuk mengoptimalkan kerja, pihak pemberi bantuan melakukan kerjasama dengan sekolah dan organisasi terkait. Setelah proses publikasi dilakukan seleksi administrasi dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan, apakah pendaftaran memenuhi persyaratan. Dilakukan identifikasi kondisi siswa yang bertujuan untuk mengkroscek data yang masuk dengan kondisi asli dari pendaftar.
Setelah peserta dinyatakan lolos, siswa diharuskan menempuh tes seleksi yang materi dan ketentuan kelulusan mengacu pada kriteria. Siswa yang memenuhi kriteria akan diberikan hak nya. Dalam beberapa periode akan dilakukan monitoring untuk mengetahui kebermanfaatan bantuan. Proses ini dilakukan bekerjasama dengan sekolah tempat pendapat bantuan bersekolah. Hasil monitoring diolah dan diarsipkan. Pada akhir tahun data hasil monitoring di analisis untuk menentukan keberlanjutan bantuan. Atas hasil analisis tersebut pemberi bantuan mengeluarkan kebijakan mengenai keberlanjutan bantuan.
Program terobosan adalah dengan memberikan bantuan berupa keperluan komunikasi. Bantuan terbagi atas tiga kategori, adapun kategori terpapar dalam bagan dibawah ini,


Gambar 2. Gambar Bagan Jenis Bantuan Telekomunikasi Tunanetra

Adapun penjelasan dari setiap kategori adalah, pertama kategori bantuan siswa tidak mampu. Kategori pertama memiliki sasaran siswa tunanetra dengan kemampuan finansial lemah. Kriteria kondisi finansial tidak mutlak menjadi penentu, dalam proses pemilihan semangat dan prestasi belajar juga menjadi prioritas utama. Dalam katogori ini siswa akan diberikan bantuan handphone dengan dilengkapi screen reader beserta pulsa. Pulsa diberikan secara berkala dengan kuota yang telah ditentukan oleh pihak operator.
Kedua adalah kategori bantuan siswa berprestasi. Bantuan kedua menitik beratkan pada penghargaan kepada siswa tunanetra yang memiliki kemampuan finansial baik dan juga prestasi akademiknya mendapatkan predikat istimewa. Kategori kedua diberikan bantuan pulsa secara berkala dengan kuota yang telah ditentukan oleh operator.
Kategori ketiga adalah bantuan studi perguruan tinggi. Kategori ini membidik siswa tunanetra dengan kemampuan akademik baik dan berkeinginan meneruskan studi di perguruan tinggi. Dalam kategori ini, pemeroleh bantuan akan diberikan laptop dan modem. Pemberian, mempertimbangkan pada keperluan update informasi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Selain itu, penerima bantuan juga akan diberikan bantuan pulsa secara berkala dengan kuota yang telah ditentukan oleh operator untuk mengaktifkan modemnya. Kategori terakhir diharapkan mampu menjadi stimulus lebih banyak lagi siswa tunanetra yang meneruskan sekolah ke jenjang perguruan tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Data Statistik Pengguna Internet di Indonesia hingga tahun 2010. Diunduh dari http://punyaku.web.id/data-statistik-pengguna-internet-di-Indonesia-hingga-tahun-2010.html pada tanggal 16 Desember 2011
Anonim. 2011. Tuna netra menggunakan Komputer dan membaca SMS. Diunduh dari http://prestasikita.com/index.php?option=com_content&task=view &id= 39&Itemid=2 pada tanggal 16 Desember 2011
BPS. 2009. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi, Maret 2009 . Diunduh dari http://www.bps.go.id/tab_sub/ view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=3 pada tanggal 17 Desember 2011

Djunaedi. 2010. Tahun 2020 Jumlah Tunanetra Dunia Menjadi 2x Lipat. Diunduh dari http://rehsos.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid= 1077   pada tanggal 29 Desember 2011

Sunanto, Juang. 2005. Mengembangkan Potensi Anak Berkelainan Pengelihatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

El Hida, Ramdhania. 2011. Jumlah Pengangguran di Indonesia Tersisa 8,12 Juta Orang. Diunduh dari http://finance.detik.com/read/2011/05/05/124514/16 33086/4/jumlah-pengangguran-di-Indonesia-tersisa-812-juta-orang?f99010 1mainnews pada tanggal 29 Desember 2011